Jumat, 22 April 2011

Menguak Kontroversi Perempuan menjadi Hakim

Judul Buku: Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-Negara Muslim
Penulis: Dr. Hj. Djazimah, SH,. M. Hum
Penerbit: LKIS Yogyakarta
Cetakan: Maret, 2011
Tebal:xxx + 298 halaman


Di negara-negara Muslim Sepeti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Sudan penempatan perempuan menjadi Hakim menuai kontroversi. Hal itu, di sebabkan oleh kuatnya pengaruh budaya patriakhi serta mengikuti pendapat para imam mahzab Malikiyah, Hanafiyah, Syfiiyah, dan Hanbilah. Kalaupun boleh, seperti pendapatnya mahzab Hanbilah hanya pada lingkup perdata dan keluarga saja. Sedangkan wilayah pidana tidak di perkenankan.
Namun begitu, para ulama kontemporer seperti Aisyah biti Syati, Muhamad Abduh, Hasan Hanafi, Qurais Shihab, Nasarudin Umar dll mencoba menafsirkan kembali wahyu yang berkaitan erat masalah status wanita. Dengan cara, yakni merekonstruksi tafsir hukum dengan memperhatikan kesetaraan derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan sebagai mahkluk Allah”.
Dalam upaya membangun peradaban umat manusia di butuhkan suatu pemikiran-pemikiran implementatif yang progresif. Sehingga wahyu akan bersifat dinamis tidak statis. Sebab, kondisi waktu itu (masa imam mahzab) mereka menafsirkan seperti itu berbeda dengan era kontemporer yang dimana tabir bagi perempuan sudah terbuka lebar-lebar tinggal perempuan mau atau tidak. Maka dari itu, kini sangat perlu bagi kita semua untuk membangun kultur dan memecahkan persoalan tersebut dengan cara memperlihatkan realitas fenomena kehidupan yang terjadi di masyarakat. Sehingga persamaan hak dan kesetaraan dapat terwujudkan.
Nah, disinilah Buku berjudul “Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-Negara Muslim” hadir di hadapan pembaca. Djazimah Muqoddas, mencoba menguak permasalahan kenapa wanita di kancah publik (kehakiman) menurut pandangan para intelektual muslim (Imam mahzab) perempuan haram menjadi hakim. Dan, dimana letak keharamannya. Buku ini sarat gagasan progresif dan menarik untuk dibaca oleh siapa saja. Kepiwaian penulis dalam mensinergikan silang pendapat-pendapat para ulama klasik dan kontemporer membuat diri kita akan semakin tahu mengenai sebab-sebab pembolehan dan pelarangannya perempuan menjadi hakim.
Perempuan bukanlah sub-kordinat dari kaum laki-laki, tetapi keduannya memang di ciptakan oleh Allah, agar keduanya saling mengisi dan bertanggung jawab dengan tugas dan kewajiban yang di embannya.Menurut Djazimah, hal yang semestinya di lakukan sekarang adalah bagaimana melakukan reintreprestasi terhadap posisi dan citra perempuan dalam fiqh Islam. Sehingga implementasi pemahaman mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dapat tercapai. Ada tiga poin penting yang pelu kita ketahui sebagaimana penulis uraikan dalam buku ini terkait pandangan para ulama klasik, modern, dan kontemporer dalam masalah boleh atau tidak bolehnya seorang perempuan menjadi hakim yaitu; Pertama, pelarangan perempuan menjadi hakim untuk semua kasus. Kedua, membolehkan perempuan menjadi hakim untuk semua kasus. Ketiga, kebolehan perempuan menjadi hakim dalam lingkup kasus perdata saja.
Proses rekrutmen kaum lelaki yang cenderung memperketat perempuan memasuki kepemimpinan Hakim, dinilai menjadi salah satu faktror penyebab kaum perempuan kalah bersaing dan tak mempunyai hasrat untuk menjadi Hakim. Semisal, formasi hakim perempuan yang tidak terlalu banyak. Hal ini, yang kemudian menurut Djazimah semakin membesarkan kesenjangan jumlah hakim laki-laki di bandingkan dengan hakim perempuan. Seharusnya, segala bentuk diskriminatif terhadap kaum perempuan dihilangkan. Bukankah? Menjadi hakim yang di jadikan parameter adalah soal kemampuan? Bahkan, Al Qur’an sendiri telah mengabadikan kesuksesan dan kesejahteraan negeri yang kala itu pernah di pimpin oleh perempuan, yakni Ratu Bilqis atau Ratu Sheba.
Buku ini, menjadi angin segar bagi kita terlebih mereka kaum perempuan. Sebab, Djazimah Muqodas menawarkan gagasan baru yang mencerdaskan. Dalam berupaya ikut memperjuangkan hak-hak perempuan di berbagai wilayah publik yang strategis seperti, hakim. sehingga kedepan di harapkan buku ini menjadi sumber inspirasi bagi perempuan. Dan, dapat menggugah kesadaran serta semangat berkarya untuk mencapai karier menjadi hakim. Dan, layaklah buku ini untuk dijadikan pegangan oleh para akademisi, peneliti, dan pemerhati hukum.

Jumat, 15 April 2011


Dimuat di Koran Jakarta
Obituari bersama Orang Tua

Judul : Berkah Kehidupan: 32 Kisah Inspiratif Tentang Orang Tua
Editor : Baskara T. Wardaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Jakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : 408 halaman
Harga : Rp75.000

Sebagian besar, anak memunyai kesamaan dengan orang tuanya, baik dari segi fisik maupun sifat-sifatnya. Hal itu bersifat alamiah. Beruntung sekali apabila kita memunyai orang tua secara fisik bagus kemudian memiliki kebiasaan yang baik, yakni gemar belajar, bekerja keras, dan banyak berprestasi. Sebab, nantinya orang tua tersebut akan menjadi inspirasi bagi anaknya. Spirit orang tua, harus bekerja dari siang hingga larut malam. Harapannya adalah supaya apa yang menjadi kebutuhan keluarga, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok bagi anak, dapat tercukupi.
Hal itu memang berat namun sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua, suka atau tidak suka mereka jalani dengan semangat. Sebagai orang tua, tentu dalam lubuk hatinya ikhlas dan tulus memberi yang terbaik kepada anaknya tanpa berharap atau menagihnya suatu saat nanti. Kasih sayang orang tua terhadap anak tak ternilai harganya. Di tengah merosotnya perilaku publik dan etika politik di negeri ini, buku berjudul Berkah Kehidupan: 32 Kisah Inspiratif Tentang Orang Tua hadir di hadapan pembaca.
Dengan harapan dapat menjadi sumbangsih bagi pembangunan keluarga yang kokoh. Membangun bangsa dari lingkungan keluarga merupakan cara terbaik guna mempersiapkan generasi-generasi muda yang unggul. Buku ini memotret pengalaman sejarah para tokoh dengan orang tuanya. Misalnya, Syafii Maarif, Franz Magniz Suseno, George J Adijtondro, Benedict Anderson, dan Imam Aziz.
Syafii Marif yang kita kenal sebagai mantan ketua Muhammadiyah dan pemuka agama, menuturkan sewaktu kecil ayahnya sama sekali tidak mengenyam pendidikan tinggi tetapi hanya sampai pada tingkatan SR (Sekolah Rakyat-red), namun pengetahuannya di atas rata-rata karena memang orang tuanya gemar sekali membaca buku. Hal itu kemudian menghantarkan Syafi i Maarif menjadi seorang pengembara ilmu.
Beliau menimba ilmu hingga ke Chicago, Amerika Serikat. Membaca buku ini hati kita akan tergugah. Kemudian, terangsang untuk segera membuka memori sejarah bersama keluarga, terutama saat bersama orang tua kita. Rasa haru dan gelisah menyelimuti jiwa kita. Sebab, kita merasa sudah begitu banyak melakukan kesalahan-kesalahan, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja. Kemudian timbul dalam diri kita, apa yang dapat kita perbuat supaya kesalahan-kesalahan kepada orang tua termaafkan.
Dalam konteks inilah, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dihayati oleh kita. Kisahnya sangat inspiratif bagi siapa pun yang membacanya. Dengan membacanya, kita dapat memetik pelajaran yang berharga, yakni sadar untuk berusaha menghargai jasa-jasa kedua orang tua setelah kita menjadi orang sukses, serta harus menempatkan orang tua sebagaimana mestinya.