Sabtu, 15 Desember 2012

'Jurus Ampuh' Melipatgandandakan Penjualan


Judul:  Disc The Soul of Selling: Melipatgandandakan Penjualan dan meningkatkan Loyalitas dengan Memahami Perilaku Customer
Penulis: Evillin Kumala Warangian
Penerbit: Salima Jakarta
Tahun: 1, Oktober 2012
Tebal: 280 halaman
Harga:Rp. 50.000

Demi menarik simpatik para customer, seorang salesman tidak cukup hanya mengandalkan kecakapan berkata-kata semata. Pasalnya, seorang sales harus siap di uji dengan berbagai sikap dan perkataan yang kurang sedap dari sebagian customernya seperti, cemohan, kritikan pedas, menunggu berjam-jam. Untuk itulah, memiliki beberapa kemampuan lain seperti, skill, intregritas, melobi, dan mentalitas menjadi hal penting. Tahukah Anda, apa strategi paling jitu bagi para salesman untuk menaklukan hati para customernya?


Membekali diri dengan pengetahuan yang mendalam menjadi syarat mutlak bagi seorang salesman. Dengan semikian, pekerjaan menjual/memasarkan produk dapat berhasil. Sesungguhnya, dari perjuangan para saleslah suatu perusahaan dapat meraup keuntungan melimpah. Mengingat, sales merupakan ujung tombak dari suatu perusahaan dalam hal penjualan. Konon, seberapapun skala usahannya dan apapun usahannya tak akan meraih kesuksesan jika tak ada seorang sales. 


Buku ini, memberikan strategi baru untuk melipatgandakan dan meningkatkan penjualan produk. Evilin Kumala, memperkenalkan  metode “Dominant Interaktive Careful Supportive” (DISC) membantu Anda memahami dan mengenali rahasia para customer. Metode  DISC ini, sudah teruji tingkat akurasinya untuk menilai orang pada berbagai lapangan pekerjaan, status sosial, dan struktur masyarakat dari masa ke masa. Bahkan, sudah diakui banyak orang di dunia.  Sehingga, pantas untuk diterapkan dalam konteks penjualan. Lebih  dari 40 juta orang di dunia sukses dengan menggunakan metode ini dan merasakan manfaatnya.


Menurut mantan salesman ini, metode DISC menyimpan beberapa faktor kepribadian manusia yaitu: D(Dominant) tipe prilaku individu yang lebih berorientasi pada tujuan dan tugas.I(Interactive) adalah tipe perilaku individu yang lebih berorientasi pada tujuan dan hubungan dengan orang lain. S(Suportive)adalah tipe perilaku individu yang lebih berorientasi pada orang dan proses.C(Careful) adalah tipe perilaku individu yang lebih berorientasi pada proses dan tugas. Kepribadian manusia pada dasarnya bersifat tetap sepanjang hidup(hal,41)


Berkat, pengalamannya di dunia sales selama dua puluh tahun sekaligus menghantarkannya menjadi orang yang sukses di bidang penjualan. Tentu saja, ia mengetahui dan memahami berbagai macam karakter customer. Dan patut untuk di gali ilmunya. Menurutnya, sebelum menggunakan metode DISC seorang salesman terlebih dahulu mengetahui dua hal paling pokok yakni. Pertama, mengoptimalkan selling skills Anda sebagai salesman. Pasalnya setiap sales memiliki prioritas, kekuatan, kelemahan, dan motifasi yang berbeda. Sama halnya dengan customer Anda yang memiliki prioritas, kebutuhan, dan harapan. 


Kedua, mengungkap rahasia yang tak pernah terungkap dalam dunia sales melalui tekhnik mengenali Customer dengan memperhatikan bahasa vebal dan non verbal, apakah customer termasuk tipe visual, auditori maupun kinestetik. Karena ditopang oleh kemajuan dunia tekhnologi dan informasi, penting bagi para salesman untuk menguasai jurus-jurus yang mampu memukau untuk menaklukan  customer. “Tanpa mengenal customer Anda, semua proses sales yang Anda lakukan akan sia-sia.”(hlm, 38)


Salah satu cara lain untuk memahami karakter dan watak customer yang diperkenalkan buku ini, yakni melalui tulisan tangan. Misalnya, jika customer tulisannya miring, berarti ia lebih mengandalkan komunikasi lisan. Sedangkan, bergaya tulisan tegak, menandakan customer Anda lebih suka mengandalkan komunikasi tertulis. “Melalui karakteristik tulisan tangan yang beragam dari para cusomer Anda para sales dapat mengetahui cara pandang terhadap diri dan lingkungannya hingga orientasi hidup seseorang khususnya customer”.(hlm 205)


 Buku setebal 208 halaman ini, juga akan semakin memudahkan Anda mengetahui karakteristik dari para customer Anda. Sebagaimana dikatakan R. Dwisanti, dari Natinolan District Management Head, perusahaan asuransi asing di Indonesia dalam pengantarnya, buku ini sangat relevan untuk dibaca oleh siapapun yang bekerja dibidang sales, baik para tenaga penjualan dilapangan maupun di tingkat manajerial. 

Oleh  Ahmad Faozan, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta.          

Senin, 10 Desember 2012

Dua Kepribadian Pangeran Kajiro

Dimuat Suara Merdeka
16, Desember 2012


Judul Buku: Taira no Masakado
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Oktober 2012
Tebal: 635 Halaman


Dalam sejarah Jepang Timur, pada abad ke-10 menyisakan sebuah cerita hidup pangeran Shimosa yang fenomenal. Kojiro pangilan Masakado, sang pangeran dari Bando memiliki pengalaman hidup yang banyak membuat penasaran sebagaian orang. Sosok pangeran yang dikenal baik hati, gagah, dan perkasa menjadi tokoh legenda di Jepang sepanjang masa. Pasalnya, sebagai orang yang memiliki hubungan darah dari Kaisar Kanmu harus mengalami derita hidup. Kebahagiaan hidup pangeran muda ini, direnggut oleh pamannya pasca ayahnya meninggal dunia, ketika itu ia baru berusia 14 tahun, atau sekitar tahun 916 Masehi.

Peristiwa tersebut telah merubah jalan hidup Kojiro secara drastis, dari seorang pangeran muda kaya raya menjadi sosok yatim piatu yang miskin dan kerdil. Pangeran muda akhirnya dikirim pamannya ke Kyoto untuk menimba pengalaman hidup. Maka, berangkatlah Kojiro ke Kyoto, sebuah kota yang menjadi wujud nyata kebanggan klan Fujiwara yang saat itu tengah berkuasa. Demi untuk menopang kehidupannya, Ia bekerja menjadi pelayan kelas rendah di tempat kediaman Fujiwara no Tadahira, menteri kiri di pemerintahan.

Hidup di ibukota,  membuat Kojiro banyak memahami seluk beluk kehidupan kota dan mengetahui apa yang yang harus ia kerjakan.  Berada di kota, selama tiga belas tahun lamanya, banyak pelajaran hidup yang ia petik. Sekaligus, mengantarkan Masakado berkenalan dan bersahabat dekat dengan Yasaka no Fujito, pemimpin dari gerobolan pengacau Ibukota serta Fujiwara no Sumitomo, si penguasa Laut Selatan. Selain itu, ia juga bertemu dengan saudaranya dari Kunika, pamannya, Shigemori dan Tadamori.

 Setelah merasa cukup hidup di Ibukota, Kojiro merasa tak nyaman. Ia pun lantas memutuskan untuk kembali ke Toyoda, kampung halamannya di Bando. Sosok pangeran muda gagah perkasa siap untuk meneruskan pengabdiannya di kampung halamannya.  Tentu saja, kepulangannya menjadi pewaris bagi di wilayah Bando. Sesampainya dikampung halaman ia melihat dan merasakan kondisi yang telah banyak perubahan.

Terlebih, setelah ia mengetahui seluruh harta beserta keluarga,  dikuasai oleh ketiga pamannya; Kunika, Yoshikane, dan Yoshimasa yang mendapat wasiat untuk menjaga Kojiro dan adik-adiknya hingga dewasa kelak. Usaha mengembalikan kejayaan keluarga pun mulai dilakukan. Menurutnya, tugas pokok yang paling berat dalam hidup adalah bertanggungjawab kepada keluarga.”(hlm, 181) 

Bencana alam tidak seberapa justeru bencana perbuatan manusalah yang tak boleh dibiarkan, keadaan ini tidak boleh dibiarkan. Demi mempertahankan wilayah dan kehormatannya, lantas spirit dalam jiwannya mulai dikibarkan. Ia pun menuntut, pamannya untuk mengembalikan semua harta peninggalanan ayahnya. Tak pelak, pamananya pun menudingnya tidak tahu berterimakasih. Ketegasan dan tak kenal kompromi Masakado terhadap pamannya memunculkan babak baru yakni,  Perang paman dengan keponakan pun akhirnya tak terhindarkan.

Sebagai pemimpin  yang dekat dengan rakyatnya membuat ia banyak  dicintai dan dihormati.  Kehiduapannya terasa sepi tanpa keberadaan wanita di sampingnya.  Lantas,  membuat Masakado jatuh cinta kepada Kikyo, putri perajin baju zirah yang pernah ditolong ayahnya. Cinta bersambut dan mendapat persetujuan kedua orangtua Kikyo. Ironisnya, tragedi baru terus mengintip. Dua putra Minamoto no Mamoru dari klan Hitachi Genji, tuan tanah di Dataran Bando, juga menginginkan Kikyo.

Dua putra Minamoto dibakar cemburu buta. Hasutan ketiga paman Masakado mendorong mereka untuk membuat gerakan yang memunculkan perang antarklan berkepanjangan yang selalu dimenangi Masakado. Tek pelak, perang antarklan pun berkembang menjadi pemberontakan, diiringi hembusan isu yang menyebut Masakado sebagai kaisar baru. Akhirnya, Soma no Kojiro Masakado meninggal dalam perang pada 14 Februari 940 M.

Menurut Eji Yoshikawa, masakado memiliki dua kepribadian, mirip sisi depan dan belakang perisai. Pada sisi yang satu sebagai pemimpin yang dengan ganas menaklukan kedelapan negeri Bando. Pada sisi yang lain, ia selalu dikuasai kegelesihan. Kehadirian buku  setebal 635 halaman ini,  membantu Anda mengenal jejak perjalanan hidup Taira no Masakado, sedari kecil hingga kematian menjemput. Selamat membaca!

Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di Yogyakarta


Kamis, 06 Desember 2012

Menata Jiwa Membangun Bangsa



Judul Buku: Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa
Penulis:  Deny Thong et al
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Jakarta
Tahun:  2011
Tebal: 429 halaman
Harga:Rp,75.000



Dewasa ini, masyarakat di suguhkaan dengan berbagai hal yang kurang menyenangkan seperti kasus penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, kenakalan remaja, korupsi, demonstrasi yang anarkisme dll. Mencerminkan, bangsa ini sedang sedang mengalami gangguan jiwa. Tentunya  membuat kerugian besar bagi bangsa ini, baik dari segi ekonomi, moral dan budaya. 

Padahal kesehatan jiwa merupakan pondasi utama dalam membangun manusia seutuhnya. Memang benar, masalah kesehatan jiwa tidak langsung dapat menyebabkan kematian seseorang terkecuali bunuh diri. Bukankah, melalui menata jiwa sama halnya dengan membangun bangsa?

Buku biografi Kusumanto(Bapak Psikiatri Indoneisa) ini, mencoba mengulas ide dan pemikirannya mengenai dunia Psikiatri. Sekaligus, membantu memahamkan masyarakat terhadap masalah-masalah gangguan jiwa. “Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang tak jauh beda dengan gangguan fisik. Hanya saja gangguan jiwa menyerang psikologis atau perilaku seseorang pada fungsi sosial, psikologis, genetik, fisik/kimiawi atau biologis.”(hal, 11)

Masih rendahnya pemahaman sebagian masyarakat awam mengenai peran psikiatri dalam menyembuhkan penyakit jiwa membuat masyarakat lebih memercayai dukun ataupun paranormal. Bahkan hal itu juga menjurus kepada pemahaman yang kliru yakni jika seseorang kurang sehat jiwanya kerap kali dikaitkan dengan hal-hal ghaib seperti, kerasukan setan atau di guna-guna. Sehingga tidak mungkin akan tertangani oleh tenaga ahli profesional seperti dokter Psikiatri. Semestinya, masalah kesehatan jiwa perlu dipahami, dicegah, dikenali sejak dini dan ditangani secara tepat.

 Ironisnya, hingga kini stigma dan perlakuan yang kurang manusiawi masih diperagkan oleh sebagian masyarakat kepada para penderita gangguan jiwa seperti pemasungan dan pengasingan. Mereka “para penderita gangguan jiwa” sering di asosiasikan sebagai orang gila serta menambah beban malu keluarga. Bahkan harus di asingkan dari kehidupan sosial masyarakat. Tidak sedikit diantara mereka diperlakukan dengan cara-cara kurang manusiawi seperi, pemasungan. Dengan anggapan untuk menyembuhkan kesehatan jiwanya. Bukankah, sebagai makhluk sosial siapapun pasti membutuhkan interaksi sosial?

Sesungguhnya, pemasungan adalah buah dari ketidakmampuan masyarakat mengakses pelayanan kesehatan jiwa dan kurangnya pengetahuan masyarakat. Ditengah kondisi kehidupan seperti sekarang ini, banyak sekali orang galau karena tidak tahan menghadapi gejolak dan tantangan kehidupan. Akhirnya, masalah kesehatan jiwa tidak tertangani dengan baik. Salah satu dampak gangguan kesehatan jiwa yakni, membuat seseorang tidak mampu menghadapi kehidupannya. Padahal, hal itu bisa di sembuhkan oleh dokter Psikiatri.

Semestinya peran psikiatri dalam kehidupan ini memiliki andil. Sehingga, berbagai penyakit kejiwaan manusia di dunia ini khusunya yang ada di Indonesia dapat tetangani. Konon, dalam catatan WHO lebih dari 40% negara di dunia tidak memiliki undang-undang mengenai kesehatan jiwa. Bahkan, 30% nya lagi negara-negar didunia tidak mempunyai program kesehatn jiwa.(hal,13) Penting sekiranya dalam jangka panjang UU kesehatan jiwa dan lembaga nasional dimiliki bangsa ini.

Kini, sungguh bangsa Indonesia membutuhkan pribadi-pribadi berjiwa pemimpin sejati yang mampu memberikan kontribusi nyata. Sekiranya penting  memajukan Psikiatri dan kesehatn jiwa. Bukankah, salah satu faktor masalah kesehatan jiwa tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah yakni kurangnya kesadaran pemerintah? Pemerintah lebih berkonsentrasi pada cara menekan angka kematian ibu dan anak.

Hemat penulis, buku ini membantu memberikan sosialisasi dan edukasi mutlak kepada masyarakat mengenai masalah kesehatan jiwa. Sehingga, kedepan bagi penderita kesehatan jiwa tidak lagi menjadi korban sosial masyarakat seperti, pemasungan.  Selain itu, buku setebal 429 halaman ini juga merekomendasikan kepada para pemangku kebijakan, kalangan akademisi, psikiater praktisi di lapangan, baik dalam maupun lura negeri untuk mendukung perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu psikiatri dan ilmu yang terkait.

Oleh  Ahmad Faozan, Pembaca buku tinggal di Yogyakarta

Ulama Ditengah Modernitas



Judul:  Ulama dan Kekuasaan: Pengumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
Penulis: Jajat Burhanudin
Penerbit: Naura Book
Tahun: 1, Juni 2012
Tebal: 481 halaman
Harga:Rp. 75.000



Dalam lintasan sejarah, ulama memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Selain menjadi juru dakwah ajaran Islam dan menuntun umat, ulama juga ikut serta dalam membangun satu kekuatan sosial-politik yang menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan, sebelum bangsa”Indonesia” ini terlahir  pada zaman kerajaan, ulama menjadi kelompok sosial utama yang terlibat dalam kehidupan istana kerajaan. Wajar, jika para raja memberikan jabatan tertinggi kepada para ulama seperti, sebagai penasihat kerajaan.

 Dibawah bendera Islam tradisional, ulama mampu mengetangahkan dan memberi rumusan baru yang relevan terhadap pemikiran dan praktik Islam, khusunya dikalangan kaum santri untuk di sesuaikan dengan situasi dan kondisi.Sehingga ulama mampu mempertahankan posisi penting dalam sendi kehidupan masyarakat, politik Indonesia, dan menjaga perannya dalam masyarakat Indonesia modern. Tentunya, melalui perjuangan panjang para ulama dalam melewati berbagai proses perubahan sosial politik dalam sejarah Indonesia bukan?

Buku yang merupakan Disertasi Jajat Burhanudin di Universitas Leiden, Belanda  ini, berusaha menelusuri upaya para ulama dalam membangun peran dan legitimasi sosi-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Menurut penulis, ulama memiliki fondasi kuat, baik secara kultural maupun sosial, yang membuat mereka mampu merespon berbagai perubahan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 hingga sekarang ini.

Misalnya, pada masa ketika Islam baru muncul sebagai sebuah ideologi politik yang mapan di kerajaan, dan ulama dilembagakan ke dalam kadi dan Syaikhul Islam, absolutisme raja memperoleh momentumnya dalam sejaah Indonesia. Pola hubungan ulama dan raja ini tetap terpelihara hingga panorama politik Nusantara berubah. Dalam konsep politik, ulama mampu menunjukan otoritas politik raja berbasiskan agama. Konsep  kedaulatan yang notabenya berasal dari bahasa Arab, “D, W, L,” dengan makna bergilir dan berganti. Kemudian, berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti dan akhirnya sebuah kerajaan.(halaman 25) 

Salah satu ulama yang memiliki peran dan sumbangsih besar bagi umat, agama, dan bangsa Indonesia yakni, sosok KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Tebuireng. Selain dikenal sebagai Mahagurunya para ulama Nusantara, beliau juga memiliki jaringan intelektual Muslim di kancah internasional yang sangat luas. Mantan pendiri NU itu,  telah mempelopori pembentukan komunitas ulama yang sadar akan dirinya, diatas landasan yang memungkinkan mereka memasuki panggung intelektual dan sosial Hindia Belanda yang modern di awal abad ke-20. 

Konon, Hasyim Asy’ari sudah melahirkan 20.000  ulama lewat pesantrennya”Tebuireng”. Beliau juga mampu melibatkan ulama pesantren dalam kondisi modernitas Indonesia masa itu. Pasca, ketiadaan Hasyim Asy’ari perjuangan sosial politiknya dianjutkan kembali oleh keturunannya seperti Wahid Hasyim”Puteranya” dan Gus Dur”Cucunya”. Ditengah mencuatnya tokoh-tokoh pembaharu Muslim baru, “Intelektual Muslim” yang mempunyai agenda berbeda dengan para ulama, tentunya menjadi tantangan atas kepemimpinan para ulama sekarang ini. 

Pasalnya, para pemuka Muslim baru diakui maupun tidak kini telah mengambil peran aktifis dengan mengatasnamakan berbagai istilah keislmanan. Bahkan, juga telah memegang peranan penting dalam pembentukan wacana keIslaman di Indonesia kontemporer. Mengapa para ulama yang dikenal memiliki pengaruh sosial yang sangat kuat di masyarakat justeru menjadi tokoh dibalik layar saat ini?

Masuknya beberapa gerakan Islam radikal pasca jatuhnya Orde Baru pada Tahun 1998 seperti, di wakili oleh Fron Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad( LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Yang memperjuangkan Islam radikal dan mencita-citakan penerapan hukum Islam(syari’ah) di lingkungan sosial-politik Indonesia bertolak belakang dengan visi para ulama . Ironisnya, dakwah mereka banyak di gambarkan  masyarakat dengan wajah sangar dan garang, bukan melainkan dengan wajah Islam yang santun "Rahmatan lil alamin"sebagaimana yang di dakwahkan para ulama.

Selain itu, meskipun para pemuka Muslim kontemporer saat ini berhasil merebut  peran dan posisi penting dari para ulama, namun ulama masih memiliki kekuatan sosial politik yang tak bisa dikalahakan. Merujuk hasil hasil survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat(PPIM) UIN Jakarta(2004-2006) membuktikan, bahwa ulama masih memiliki kedudukan yang penting di masyarakat.

Dari survei tahun 2004 dengan 1.880 responden hampir di seluruh wilayah Indonesia sekitar 44,6 persen responden masih sering mendatangi ulama untuk meminta nasihat. Dan hanya 12, 8 persen responden yang tak mendatangi ulama.  Sedangkan, Tahun 2006 jumlahnya meningkat, dengan 850 responden di seluruh wilayah yang bermayoritas Muslim Indonesia 63,9 persen responden diantarnya mengatakan sering meminta nasihat keagamaan kepada para ulama. 

Dengan demikian, ulama masih memegang peranan strategis dalam pembentukan religiositas umat Muslim Indonesia.  Tentu, menjadi sebuah gambaran sosial-politik Indonesia di masa depan bagi mayoritas penduduk Muslim Indonesia. Ditengah modernasi seperti sekarang ini, mengapa para ulama kini semakin meredup baik dalam dunia politik maupun akademis dalam menggulirkan wacana keIslaman modern?

Buku setebal 481 halaman ini, menggugah kembali para ulama untuk ikut serta menyelematkan bangsa ini, dari ancaman para pendatang baru yang berkoar-koar bersikeras mendirikan negara Islam. Dan, membimbing umatnya menuju kesalihan sosial. Bukankah, saat ini  juga dunia politik tanpa peran ulama sudah semakin berjalan tanpa arah? Selamat membaca!
  
Oleh  Ahmad Faozan, Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta.