Minggu, 24 Februari 2013

Kiat Memecahkan Masalah Kehidupan


Judul: A Theory of Every Thing: Solusi Menyeluruh atas Masalah-Masalah Kemanusiaan
Penulis: Ken Wilber
Penerbit: Mizan Publika
Tahun: 1 Oktober 2012
Tebal: 299 halaman
Harga:Rp. 58.000


Dewasa ini beragam persoalan kemanusiaan semakin kompleks. Salah satu faktornya yakni, banyak orang bersikap egois dan arogant. Baik karena, merasa paling berjasa, dermawan, dan sudah sukses terlebih dahulu lantas menganggap orang lain rendah. Tentu saja, diri kita harus menjadi orang yang trampil cerdas, tepat, dan cepat dalam memecahkan permasalahan kehidupan.  Sehingga, kita tidak akan mudah terjebak dalam gejolak kehidupan.

Ken Wilber, pria kelahiran Amerika dalam bukunya yang bertajuk, “A Theory of Every Thing: Solusi Menyeluruh atas Masalah-Masalah Kemanusiaan” ini, mencoba memperkenalkan teori intregral dan pengembangan bathin, demi untuk mencapai kesehatan masyarakat khususnya Anda. Dengan teorinya ‘TSH’ teori segala hal, yang notabenya merupakan kombinasi semua hukum semesta ke dalam teori terpadu, yakni materi, raga, pikiran, jiwa dan ruh yang mewujud dalam diri, budaya, dan alam. Membantu Anda melihat berbagai persoalan dengan utuh dan membantu memecahkannya secara tuntas. Tak pelak, rahasia Tuhan, yang konon penuh dengan misteri dapat terlihat oleh mata bathin Anda.

Menurut Ken Wilber, ditengah-tengah kondisi kehidupan sosial yang penuh dengan hiruk pikuk, penting sekiranya menjadikan diri kita menjadi manusia yang mampu tampil konsisten dalam menggapai segala visi dan misi kehidupan dan kematangan diri. Sehingga, diri kita tak mudah terjerumus dalam kehidupan yang penuh kekacauan. Misalnya, salah satu penyakit yang sedang menghidap manusia sekarang ini yakni, budaya narsisme.

Mencuatnya budaya membanggakan diri sendiri dan merendahkan orang lain menjadi ciri utama bagi sebagaian masyarakat yang hidup di dunia modern. Seolah, hanya dirinya sendiri yang mampu menjadi manusia paling unggul dan sempurna. Sedangkan orang lain tak akan mampu bersikap seperti dirinya. Menurut penulis buku ini, salah satu timbul sumbernya narsisme yakni, karena kegagalan seseorang dalam mengembangkan dan bervolusi diri. Bukankah, bersikap narsisme tidak untuk menampakan kepercayaan diri seseorang yang meluap-luap, melainkan hanya meremehkan orang lain. “Sungguh membosankan orang yang seleranya rendah, lebih tertarik pada dirinya sendiri dibandingkan kepada orang lain.” (hal, 47)

 Para psikolog bersepakat, bahwa budaya narsisme merupakan sifat bawaan anak-anak, yang idealnya sudah berubah saat usia seseorang meningkat. Menurut Ken, manusia memiliki 9 spiral pengembangan. Pertama, semangat mempertahankan kelangsungan hidup.( mempertajam insting dan bakat bawaan). Kedua, semangat persaudaraan.(,mencari harmoni dan keselamatan dalam sebuah dunia yang misterius).

 Ketiga, dewa-dewa kekuatan.(mengekpresikan implus, menjadi bebas dan kuat). Keempat, kekuatan kebenaran.( menemukan tujuan, menghadirkan keteraturan, menjamin masa depan). Kelima, dorongan penggerak.(membuat analisis dan strategi pertumbuhan). Keenam, ikatan manusia.(mengekplorasi diri pribadi, menyertakan orang lain). Ketujuh, aliran fleksibel(mengintregrasikan dan menggabungkan sistem). Kedelapan, pandangan menyeluruh(membuat sinergi dan pengelolaan secara makro).

Kesembilan, intregral-holonik(muncul secara perlahan). Dengan melihat aspek spiral diatas, diri kita akan mampu menjadi pribadi unggul dan kuat dalam mengadapi kehidupan. Dengan cara yang sederhana, nampaknya penulis juga secara sengaja merujuk kepada pendapatnya seorang manusia Genius, yakni Albert Einstein, bahwa buatlah segala sesuatu itu sesedarhana mungkin, tetapi tidak lebih sederhana.

Melalui pemetaan yang sederhana tersebut, segala persoalan menjadi ringan dan mudah di selesaikan. Bukankah, selama ini yang menjadi berat dalam setiap permasalahan dalam hidup karena diri kita selalu membesar-besarkannya. Dan mempersulit diri. Bukankah, melihat jawaban-jawaban permasalahan yang kita hadapi diketahui sangat sederhana dan praktis.

Dengan begitu, diri kita tidak akan mudah galau karena banyak tersandera dengan permasalahan hidup. Tak dapat kita bayangkan, jika masalah menumpuk dan tak mampu terpecahkan, gelombang kehidupan akan semakin mudah mengombang-ambingkan kita, lantas membuat diri kita terjatuh. Sudahkah, Anda menemukan teori pemecah kehidupan yang ampuh?

Buku ini,  menawarkan teori praktis dan mudah dicerna. Membantu Anda meemecahkan problematika kehidupan. Temukan teori pemecah permasalahan kehidupan Anda di buku ini. Selamat membaca! 

Oleh Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di Yogyakarta 

Jumat, 22 Februari 2013

Lampu Kuning Untuk Para Pemimpin Kita



Judul:  Republik Galau: Presiden Bimbang Negara Terancam Gagal
Penulis: Bambang Soesatyo
Penerbit: Ufuk Press
Tahun: 1, 2012
Tebal: 358 halaman
Harga:Rp. 59.000


Siapa yang tak gelisah, melihat para pemimpin bangsa ini galau, khususnya Presiden SBY selaku kepala pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, seperti kasus korupsi, kemiskinan, konflik antar umat beragama, dll yang tak kunjung berakhir hingga hari ini. Padahal mereka yang menentukan maju mundurnya bangsa ini. Merebahnya kasus korupsi khususnya yang menjerat kepala daerah, politisi, aparat penegak hukum membuat kita semakin prihatin. 

Seharusnya, seorang pemimpin bangsa tahu betul terhadap apa yang sudah menjadi kewajibannya. Bukankah, para pemimpin kita dahulu telah berjanji, jika mereka terpilih menjadi pemimpin, akan memperjuangkan nasib bangsa dan rakyatnya. Tak pelak, rakyat pun resah dan menaruh ketidakpercayaan kepada para pemimpinnya. Wajar jika, persoalan kekerasan antar umat beragama, tawuran antar pelajar, perpecahan antar lembaga penegak hukum dll meningkat tajam.

Sesungguhnya, beragam persoalan seperti sekarang ini, yang konon dianggap sulit untuk diatasi oleh para pemimpin kita, bukanlah suatu alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Semestinya, dalam perjalanan setiap negeri, seperti apapun tujuan yang dicapai, itu sangat bergantung pada kepemimpinan dan institusi negara. 

Jadi, apabila indikator pencapaian Indonesia belum mencapai tujuannya, yang bertanggungjawab pasti pemimpin negara dengan institusinya. Padahal, seorang yang dipilih menjadi pemimpin negara selain harus amanah dan bertanggungjawab juga mampu menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh kesejahteraan. Sebaliknya, kalau berhasil, tentu yang sukses adalah pemimpinnya.

Buku ini, merupakan catatan kritis Bambang Soesatnya akan kiprah SBY selama menjadi pemimpin di negeri ini. Konon, selama  tujuh tahun lebih kepemimpinannya, negara Indonesia selalu berada dalam ketegori negara”dalam peringatan” (warming). Menurut Bambang Soesatyo, sudah saatnya, kita menyalakan lampu peringatan kepada para pemimpin kita. Sehingga, mereka tidak melenceng dari jalur kebenaran. Pasalnya, sudah terlalu banyak keringat darah, keringat, air mata, dan pengorbanan para pendiri bangsa serta pemimpin dan rakyat di masa silam demi untuk tegaknya Indonesia.

Sebenarnya, peringatan dini pun dari para kaum agamawan kepada pemimpin bangsa khususnya Presiden sebagai kepala pemerintahannnya berserta jajarannya, tak dihiraukan. Padahal, niat mereka sekadar mengingatkan, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan. Ironis memang,  para pemimpin kita justeru lebih sibuk melakukan pencitraan, ketimbang mengubah situasi dan kondisi bangsa dan rakyatnya menuju yang lebih baik. 

Bahkan, mereka ’para pemimpin kita’ justeru terus mencari aneka pembenaran, manakala pihak luar ikut memberikan peringatan, bahwa negara ini terancam tergelincir ke dalam negara gagal. Anggota komisi III ini, menuturkan, bahwa negara ini butuh pemimpin tegas dan kuat untuk membawa perubahan bangsa. 

Pasalnya, negara kita sudah benar-benar diambang kegagalan. Ia mencirikan dengan beberapa hal yakni, pemerintah pusat yang lemah, atau tidak efektif dalam mengendalikan kabinet dan pemerintah daerah kelumpuhan pelayanan publik, merajalelanya korupsi dan kriminalitas, serta memburuknya kesenjangan ekonomi. Merujuk hasil  publikasi The Found For Peace 2012, yang dimana posisi Indonesia dalam Failed States Indeks terus memburuk, dari urutan ke-64 tahun lalu menjadi peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh dunia tahun ini.

 Menurut penulis buku ini, Presiden sebagai kepala negara acapkali bimbang dalam mengambil sikap dalam memutuskan berbagai perosalan. Kata-katanya ‘bersayap’ kurang lugas dan tegas. Misalnya,  dalam masalah pemberantasan korupsi yang sedang mengemuka. Dimulai dari keragu-raguan dalam melaksanakan proses hukum skandal Bank Century, mafia pajak, kasus wisma Atlet SEA Games, dan kasus Sport Center Hambalang. Memang, sang panglima perang’SBY’ nampak sunguh-sungguh ingin menuntaskan setiap kasus hukum. Namun pada saat bersamaan dia, seperti membiarkan saja sikap setengah hati para penegak hukum.

Semestinya, para pemimpin kita bertindak sesuai dengan fitrahnya sebagai pemimpin yakni, memberikan teladan, arahan, serta sikap yang tegas dan jelas untuk mengantarkan bangsa ini menuju kejayaaan. Menjadi pemimpin di negeri ini, memang bukan pekerjaan ringan. Menjadi pemimpin negara berarti harus siap mengangkat kesejahteraan rakyat, jujur, dan amanah.

Menurut Sayafii Maarif, dalam pengantar buku ini, salah faktor kenapa bangsa ini terus merosot, tidak lain yakni karena masalah kepemimpinan yang lemah. Tidak ada tindakan yang berarti dari pemimpin bangsa ini karena perencanaan aksinya juga sangat lemah. Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, dan berani bertindak walaupun toh tidak populer. Wajar jika negara ini berada dalam kondisi kritis.” Pemerintah seharusnya memerintah, bukan sekadar memberikan imbauan”.(hal,xxxiv) 

 Lewat buku setebal 358 halaman ini, menjadi sebuah catatan kegelisahan kita bersama. Sekaligus memberikan peringatan kepada kepala pemerintah, Presiden SBY, yang sudah memasuki periode akhir untuk menunjukan komitmennya dalam memimpin bangsa ini. Penting, sekiranya meluruskan para pemimpin kita untuk tidak salah langkah dan arah dalam menjalankan roda pemerintahan. Selamat membaca!
 Oleh  Ahmad Faozan, Pembaca buku tinggal di Yogyakarta.