Judul Buku:
Berguru Ke Kiai Bule: Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat
Penulis :Sumanto, dkk
Penerbit:Naura Books
Tebal: 275 halaman
Tahun: 2013
Harga: Rp. 45.900
ISBN:978-602-7816-06-0
Selama
berabad-abad pesantren menjadi miniatur bagi lembaga pendidikan Islam di
Indonesia. Terlebih pesantren yang memiliki predikat Salafiyah, yang masih
kental dengan pengajaran kitab kuningnya, ia memiliki posisi yang unggul dan
selalu memiliki pengaruh besar bagi sebagian masyarakat Indonesia. Meskipun
gelombang modernisasi tak dapat dibendung masuk ke negeri ini, lembaga
pendidikan seperti pesantren dianggap sebagai salah satu lembaga pendidikan
Islam yang masih tetap berdiri kokoh.
Seiring
dengan beralihnya peradaban keilmuan dari negeri Timur ke Barat, kini banyak
lulusan kaum sarungan ”santri” yang berlomba-lomba mencari beasiswa untuk
memperdalam keilmuan keislaman di negeri Barat. Mereka tidak lagi mengaji kitab
kuning kepada para kiainya untuk memperdalam kelimuaan keislaman, melainkan
kepada mereka para kiai bule dari negera-negara sekuler. Tentu saja, hal itu
menerobos keluar ke kultur masyarakat tradisional. Konon, lembaga pendidikan di
Barat seperti kampus tidak saja menarik simpatik para pelajar di belahan dunia,
namun juga para dosen-dosen muslim dari Asia dan Afrika.
Buku
bertajuk “Berguru Ke Kiai Bule: Serba-serbi Kehidupan Santri di
Barat” karya Sumanto Al-Qurtuby dkk, yang dulunya jebolan
pesantren-pesantren Salafi di Jawa mencoba menuliskan pengalamannya selama
belajar di Barat. Merasa tak cukup ilmu dan pengalamannya, lantas mereka
melakukan rihlah ilmiah untuk memperdalam keilmuan keislamannya di Barat
seperti Amerika, Kanada, Meksiko, Jerman, Belanda, dll.
Menurut kontributor penulis buku ini, meskipun
bukan di negeri kaum muslim, banyak para profesor dan pakar ilmu kesilaman yang
mengajar di kampus-kampus top dunia. Seperti Prof. Boner, ahli sejarah Islam
dan mahir berbahasa Arab. Intregritasnya tak dapat diragukan, khususnya kitab-kitab
fiqh klasik yang selama ini menjadi bahan ajar di seluruh pesantren-pesantren.
Kemudian, Prof. Jakson, ahli fiqih dan ushul fiqh. (hlm. 9)
Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat saat ini, menjadikan salah satu
alasan bagi para pelajar untuk berhijrah ilmiah ke Barat. Bahkan, demi untuk
memperoleh pendidikan yang berkualitas mereka harus bersaing dengan ribuan
orang. Padahal, jika kita kembali memutar roda sejarah, pada abad pertengahan
(4 Hijriyah) dan melihat bagaimana peradaban yang berkembang di dunia
Eropa saat itu masih primitif. Semangat keilmuan dari para kaum sekuler
patut untuk diberikan apresiasi, mengingat kini peradaban Islam yang dulu
pernah berjaya sedang mengalami kemunduran.
Ditengah
kondisi umat Islam Indonesia yang kini sedang di gempur dengan gerakan Islam
radikal, yang menggembor-gemborkan hidup harus Islami dan memeluk Islam harus
secara kaffah(kesempurnaan), menjadikan Al-Qura’an dan hadis sesuai
dengan penafsirannya sendiri-sendiri dan tidak mau melihat tafsir orang lain.
Tak pelak, Islam yang mereka praktikan kaum radikal tidak ramah dan toleran.
Mereka juga rajin berdalil berbuih-buih, mengabaikan nalar sehat, menolak
sejarah, dan mengabaikan literatur serta logika yang runut.
Ironisnya, mereka juga menyerang para santri
lama (NU dan Muhammadiyah), yang dianggap kurang islami dan tidak sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan hadist. Padahal salah satu ibadah yang paling diutamakan
dalam Islam adalah menuntut ilmu tanpa memandang agama maupun guru. Mereka juga
meninggalkan ilmu lainnya seperti, tafsir, fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, ilmu nahwu-shorof, dan mantiq.
Ahmad Faozan, alumnus
PP. Tebuireng Jombang