Selasa, 26 November 2013

Merantau Sebagai Jalan Pengubah Hidup



Judul Buku: Rantau Muara
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pusataka
Cetakan: juni 2012
Tebal: 407 halaman
Harga:75.000
ISBN:978-979-22-9473-6



“Merantaulah. Gapaialah setinggi-tingginya impianmu. Bepergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu. Melipur duka dan memulai penghidupan baru. Memperkaya budi, pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu.” Imam As Syafi’i (767-820 M)

Bagi sebagian orang, menemukan muara kehidupan merupakan suatu hal yang tak mudah. Seseorang harus bekerja keras menghadapi kerasnya kehidupan. Bahkan, tak sedikit orang orang harus rela meninggalkan tempat kelahirannya.. Dunia perantauan memiliki daya magnet tersendiri. Tak sedikit diantara para perantau yang dahulu hidup miskin di tanah kelahirannya menemukan muara hidupnya ditempat lain. Misal saja, urusan seperti jodoh, rizqi, dll tergapai. Sesungguhnya, demi menemukan muara kehidupan memaksa seseorang menjadi manusia petarung. Jika ia mampu menaklukan segala kelemahanya maka harapan hidup yang lebih baik semakin terbuka lebar. Mengingat, hidup di peratauan memaksa seseorang menjadi pribadi yang tangguh.

Novel “Rantau Muara” ini, menceritakan kisah Ahmad Fuadi, semasa berproses berjuang untuk mencari 'muara' kehidupannya di perantauan. Demi masa depan yang lebih baik, ia merantau dari satu daerah ke daerah lainnya. Ia belajar hidup merantau sejak di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jatim. sebelum pindah ke Ibukotauntuk melanjutkan studi S1. Tak berhenti di Jakarta. Bahkan, lintas negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris, Italia, dan Singapura ia singgahi. Menurutnya,“Hidup itu terkadang perlu beradu, bergejolak, dan bergesekan. Dari kesemuanya itu akan membentuk pribadi matang.”(halaman 12)

Selama merantau di Ibukota, ia pernah mengalami situasi dan kondisi hidup yang tak mengenakan. Dimana, ia pernah dikejar-kejar ibu kosnya karena tak mampu membayar kos. Lahir dari keluarga tak mampu, membuatnya sadar untuk berjuang hidup lebih keras. Sebagai kaum intelektual, ia pun mulai menekuni mengolah kata menjadi makna, yakni, tulis-menulis. Tanpa mengenal lelah, ia belajar menulis, akhirnya  mahir. Dan tulisannya sering menghiasi media cetak. Dari honor tulisannya membantu biaya kehidupannya.

Bahkan, menghantarkannya menjadi wartawan pasca studinya usai. Sebelum menjajagi dunia reprotase dan bergabung di majalah Derap. Awalnya, ia sempat tergiur menjadi PNS. Yang menjadi cita-cita terfavorit dilingkungan keluarganya, bahkan dikalangan mahasiswa pasca lulus. Pasalnya, dengan menjadi PNS pasti terjamin di masa tuanya karena meraih dana pensiunan. Buah ketrampilan yang sering ia asah sejak mahasiswa justeru yang mendornganya menjadi penulis.

Setelah lulus dari bangku pendidikan tinggi dikampus ternama ini, Fuadi terjun  ke dunia jurnalistik. Mengingat, hanya modal menulis yang ia punyai dalam dirinya. Menurut alumnus jurusan hubungan internasional UI ini, ”Mungkin, dengan menjadi penulis dan menjadi wartawan, aku bisa merintis jalan untuk bisa awet muda, dengan tulisan dan karya jurnalistik berguna abadi. Bisa mengubah dunia dengan kata-kata.”(halaman 42) Kemampuan menulisnya semakin mahir tatkala ia mulai bergabung dengan majalah Derap. Berkat bantuan para seniornya tempat ia bekerja dan belajar, seperti Mas Aji dan Malaka belajar lbih dalam mengenai ilmu jurnalistik, misalnya menulis wawancara.. Tugas wartawan yang berburu berita secara tak langsung juga ikut serta membangun mentalitasnya.

Memang, bekerja sebagai wartawan tak seberapa besar gajinya. Mengingat, tugas utama wartawan yakni mencari dan mengungkap kebenaran. Namun, tersingkap tugas yang mulia.Untuk membentengi dirinya supaya tidak tergoda rayuan dan sogokan, ia memegang erat nasihat Mas Aji, wartawan senior di Derap,” kita tidak perlu mengharapkan tepuk tangan dan pertemanan yang bersengkongkol, lebih baik kita sendiri di jalan yang terang”.(halaman 78)

Selama bekerja sebagai wartawan gaji yang ia dapatkan tak seberapa. Dari kesungguhannya belajar berproses di Majalah Derap, membuatnya mendapatkan kesempatan emas mengembangkan ilmu jurnalistiknya di luar negeri.  Tahun 1992, ia studi S-2 di School Of Media and Public Affair, George Washington, University, USA jurusan jurnalistisk di Amerika dengan Beasiswa penuh dari fulbright. Tak pelak, kegiatan merantaunya kini semakin jauh.Semasa berada di Amerika, ia tinggal bersama teman sekaligus saudara sebangsa setanah airnya, mas Garuda, mba Hilda, dan keluarganya.

Buku ini, merupakan salah satu buku dari “Trilogi Negeri 5 Menara”yang notabene sebuah pengalaman anak rantau. Pada tahun 2011 karya tersebut telah diangkat ke layar lebar. Bahkan, berbagai penghargaan seperti, Nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010 di raih Fuadi, Pria asal Minang. Selamat Membaca!

Oleh Ahmad Faozan, Redaktur Pustaka Tebuireng, Tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Sabtu, 23 November 2013

Pendangkalan Agama



Judul Buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerbit: Mizan
Cetakan: 1 Juni 2013
Tebal: 471 halaman
Harga: Rp. 62.900
ISBAN:978-979-433-752-3


Krisis spiritualitas dikalangan umat beragama menjadi penanda abad ke 21. Ajaran agama semakin ditinggalkan. Bahkan, kini juga banyak orang yang dikendalikan oleh tekhnologi. Para tokoh agamawan seolah tak mampu memberikan pencerahan kepada umatnya. Jika manusia hendak menjadikan agama sebagai penuntun kehidupan, maka membangun kedewasan dalam kehidupan sosial berbangsa dan beragama penting ditunjukan para pemeluknya. Memasuki awal milienium baru, memetik spirit ajaran agama, untuk mendorong pemeluknya menuju harapan positif bagi kehidupan manusia modern menjadi sangat penting. Bukankah, lewat jalur agama menjadi satu-satunya jalan mencari keselamatan hidup? 

Memang benar, sekarang ini banyak orang dari pemeluk agama berjuang menjaga kesucian agama dan bersemangat berdakwah. Namun, mereka hanya sukses menampakan”agama” secara kaku, kolot, dan tak mampu berdialektika dengan kehidupan kontemporer.  Padahal ajaran agama senantiasa relevan sesuai dengan zamannya. Tentu saja melalui pemahaman yang tepat. Mengingat, berbagai persoalan kontemporer semakin kompleks. Agama harus mampu memberikan jawaban aktual. Nah, peran tokoh agamawan dalam hal ini amat dibutuhkan.

Charles Kimbal, Pendeta Kristen Baptis lulusan Harvad, mengkaji masalah keagamaan secara komprehensif dalam buku ini. Ia mengulas secara kritis beberapa persoalan utama yang berkaitan agama, yang menimbulkan bencana kemanusiaan baik di tingkat lokal maupun global. Diantaranya, Klaim Kebenaran Mutlak, Kepatuhan Buta, Tujuan Menghalalkan Segala Cara, Menyerukan Perang Suci, dll. Kajian ini tentu membantu kita mencairkan berbagai persoalan. Terlebih, masalah kehidupaan beragama khususnya di Indoneisa yang sekarang ini mudah membara. Membangun pemahaman yang mendasar penting dilakukan.

Menurut Kimbal, dalam lintasan sejarah kehidupan manusia, agama sudah mampu menjadi salah satu kekuatan superdahsyat dan berpengaruh dimuka bumi ini. Mendorong  manusia berbuat apa saja atas nama agama yang diikutinya. Misal saja, karena agama, seseorang bisa saling mencintai, berkorban, dan melakukan pengabdian kepada orang lain. Bahkan, juga bisa menjadi manusia jahat. Sebagaimana peritiwa 11 September 2001. Karena agama, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan.(halaman 1)

Hakikat beragama sejatinya menghantarkan seseorang menjadi pribadi mulia dan mewujudkan terciptanya kehidupan masyarakat yang harmoni. Sudah pasti setiap agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka memiliki kesamaan dalam mengajarkan orientasi Tuhan dan hubungan trasenden, konstruktif, dan selaing menghargai antarsesama di dunia ini. Semua agama dunia harus mawas diri terhadap penghayatan imannya dan ajaran agamannya, lalu bersana-sama mencari pemecahannya.(halaman xxxix)

Salah satu persoalan yang seringkali menjadi pemicu adalah sikap mengklaim bahwa atas nama agama mereka beraksi. Seperti, berjihad. Jika sedemikian sempitnya pemahaman seseorang mengenai kata jihad tentu saja menjadikan agama nampak kaku, keras, dan tertutup.  Lantas, memunculkan berbagai tindakan yang rancu. Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks suci yang sepotong-potong menyebabkan berbagai penyelewengan agama. Dalam hal ini, Kimbal menawarkan sebuah transformasi dalam kehidupan beragama, yakni mendorong umat Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Sikh, dan penganut agama lain untuk mencoba melakukan sesuatu yang lebih besar penting dilakukan.

Kimbal mengajak kita untuk menafsirkan secara intelektual semua iman manusia, baik iman diri sendiri maupun iman orang lain, secara komprehensif dan seadil-adilnya. Dengan demikian, bencana atas nama agama dapat terhindarkan dalam kehidupan manusia. Setiap agama memiliki solusi untuk membawa umatnya menuju jalan kehidupan penuh kedamaian. Setiap agama pula bisa menyumbangkan apa yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa, yakni perdamaian dan kesatuan antar warga negara.  Perwujudan dari kemawaspadaan diri amat penting.

Masih mudahnya umat beragama kehilangan pemahaman atas ajaran yang paling mendasar dalam satu agama, khususnya ketika kondisi ekonomi, sosial, dan politik represif serta begitu dominan mendorong tribalisme yang mengakibatkan orang-orang tulus ikut terlibat dalam dihumanisasi pola perilaku, bahkan perang. Tentu saja membuat kita yang beragam semakin miris bukan? ”Orang beragama harus meninggalkan kepentingan pribadi yang sempit dan berusaha menemukan cara baru untuk melaksanakan apa yang terbaik dan mulia menurut tradisi iman mereka.”(halaman 322) mengingat dalam setiap agama ada kesaman-kesamaan, yang tidak hanya dalam hal penghayatan, tetapi uga dalam ajarannya.

Menurut anggapan saya, lewat buku ini, penulis mencoba mengajak untuk bersemangat melakukan perubahan. Sudah tidak relevan, jika kita yang beragama menodai kesucian agama-agama Tuhan. Shindunata dalam pengantar buku ini, mengajak kita untuk belajar kepada Mahatama Gandhi, dalam merealisasikan suatu tujuan, ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain untuk membantu kelompoknya untuk mengejar tujuannya. Dengan demikian, ia tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakan saran menjadi tujuan.

Oleh FAO, Intelektual Muda SALIK(Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme), Tebuireng, Jombang, Jatim



Mengoptimalkan Kekuatan Energi



Dimuat Majalah Tebuireng, 
Edisi November-Desember
Judul Buku: Muda Mulia: Cahayai Gelapmu, Kuatkan Langkahmu, Muliakan Mudamu
Penulis: Rendy Saputra
Penerbit: Mizania
Cetakan: I, Februari 2013
Tebal: 250 halaman
Harga:58.000


Kehidupan ini bak sebuah taman labirin. Kita diminta untuk mencari jalan keluar. Yang terkadang kita diberi pilihan untuk melangkah ke kiri atau ke kanan. Dan tak jarang pilihan kita membawa kita ke jalan buntu sehingga kita pun terpaksa mencari jalan lain. Sesungguhnya, seseorang yang memiliki masalah berat dalam hidupnya akan mengalami dua kemungkinan. Apakah dia akan terus kokoh menerobos masalah atau lari dari masalah, lalu menjadi pecundang seumur hidupnya.

Semua itu bergantung pada kekuatan akar kehidupan, yakni kesalihannya. Jika seseorang memiliki akar yang kokoh, tiada yang dapat menggentarkan harapannya. Ia akan selalu menyakini bahwa setiap masalah pastilah sudah diukur, pasti ada jalan keluarnya, pasti sudah ada desain terbaiknya. Terus berusaha menyelesaikan labirin, pasti mampu keluar. Namun, orang yang berputus asa mencari jalan, hanya mampu terduduk diam di dalam labirin untuk selama-lamanya. Bukankah, proses seseorang dalam menghadapi masalah sangat membantu menjadi pribadi yang tangguh, kuat dan lebih baik dari sebelumnya?

Dalam konteks ini, buku karya Rendy Saputra hadir dihadapan pembaca. Ia mencoba untuk membangkitkan semangat  hidup khususnya bagi kaum muda. Jangan sampai generasi muda mlempem menghadapi proses kehidupannya. Menurutnya, jika seseorang hidup di masa kecil, dilahirkan dengan kondisi lemah, memasuki masa muda mengalami perubahan super dahsyat yakni, memiliki energi penuh. Sedangkan, pada masa tua, seseorang kembali seperti masa kecil, yaitu lemah kembali.

Tentunya amat merugi, jika menjalani masa mudanya hanya dengan menuruti hawa nafsunya semata.  Masa muda merupakan masa berproses berkehidupan. Yang juga pembuka takbir kehidupan seseorang, yang menentukan masalah nasib, karier, dan kebahagiaan di masa mendatang. Perlu didayagunakan energinya untuk sesuatu yang positif.  Ironisnya, seringkali masa-masa muda sebagai awal berproses kehidupan banyak dijalani dengan foya-foya yang. Misalnya, puas-puasin nakalnya, habiskan harta orangtuanya, dan bergaul bebas beserta teman-temannya tanpa aturan. 

Ketidakmampuan kaum muda dalam mengendalikan ‘nafsu’ berakhir pada kehancuran dan kehancuran, seperti dunia hitam. “Jika bisa bermakna sejak muda, mengapa menunggu saat tua.” Jika bisa cemerlang sejak muda, mengapa menunggu saat tua.”jika bisa berhasil sejak muda, mengapa menunggu saat tua.” Jika bisa sadar sejak muda, mengapa menunggu saat tua.” Jika bisa menjadi baik sejak muda, mengapa menunggu saat tua.” Jika bisa produktif sejak muda, mengapa menunggu saat tua.” Jika bisa mulia sejak muda, mengaoa menunggu saat tua.”(halaman 33)

Sekiranya, penting membangun pola pikir yang tepat penting. Pasalnya energi kaum muda penuh energi, ibarat baterai super penuh, alias on fire tentunya akan menyala terus. Jika digunakan dan dioptimalkan sesuatu hal yang positif, misalnya mengejar cita-cita tentunya akan berhasil. Ditengah kondisi kehidupan modern, dimana dunia persaingan semakin ketat, seperti perdagangan bebas, tekhnologi, persaingan dunia kerja dan bisnis, dan isu lainnya. Kaum muda harus mempersiapkan diri dengan penuh kematangan. Logika berpikirnya kaum muda yang pragmatis, tentu perlu diluruskan. “Masa muda merupakan masa ketika energi sedang memuncak, maka perbuatan baik atau buruk yang dilakukan pastilah bernergi.”(halaman 27)

Menurut pemaparan pria pendiri lembaga muda mulia ini, juga berprofesi sebagai busines consultan, gerakan menciptakan generasi muda sadar akan dirinya amat berarti. Mencuatnya  fenomena sosial yang memotret pemuda-pemudi bangsa ini, galau, putus asa, dan terjerembab dalam dunia hitam tentu membuat kita prihatin. Tak lain disebabkan oleh ketidakpahaman mereka akan pengetahuan dasar khususnya yang menyangkut dirinya. Tentu membutuhkan bimbingan dan dorongan dari seseorang yang lebih tua, utamanya dari orangtua. 

Sehingga,segala hal yang berujung pada penyesalan di masa tua tak terjadi. Kehadiran buku setebal 250 halaman ini, menggugah generasi muda bangsa ini untuk mampu bangkit dan menunjukan perjuangan yang gigih dan mulia. Baik untuk pribadi, keluarga, dan orang lain. Dengan semangat memperbaiki masa muda, membantu menghantarkan seseorang menjadi pribadi sukses dalam segala hal kelak. Temukan, inspirasi kehidupanmu pada buku ini!

Oleh Ahmad Faozan, Redaktur Pustaka Tebuireng, Tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.