Kamis, 11 Desember 2014

Gus Dur: Sang Playmaker Kehidupan


Dimuat Majalah Tebuireng
Judul: Gus Dur dan Sepakbola: Kumpulan Kolom Gus Dur Tentang Sepakbola
Editor: Mustiko Dwipoyono, dkk
Penerbit: Imtiyas Surabaya
Tebal: viiii+183 halaman
ISBN: 97860276611172


Sepakbola tak hanya sebuah permainan yang menampilkan skill dan tekhnik. Nilai-nilai kehidupan termuat dalam dunia kulit bundar. Seperti, sportivitas, kepemimpinan, berpikir cepat dan tepat, kerja tim, dan kerja keras. Sepakbola juga menjadi ajang adu strategi dikalangan para pelatih sepakbola. Dunia politik yang sarat dengan adu kecerdikan dan strategi juga masuk dalam dunia sepakbola.
 Mutaakhir ini, praktek persepakbolaan dan perpolitikan nasional yang di perankan oleh para pemainnya sudah jauh dari nilai-nilai keluhuran. Betapa tidak! Dalam pertandingan liga Indonesia terjadi permainan yang sangat aneh, sepakbola gajah. Dimana sebuah tim tidak mau saling mengalahkan. Gol-gol yang diciptakan sengaja dijebloskan ke gawangnya masing-masing. Tak pelak, dunia sepakbola Indonesia pun mendapat sorotan negatif dari para pegiat sepakbola.
Selanjutnya, dalam arena perpolitikan nasional juga tak kalah buruknya. Para politisi kita banyak yang dalam bekerja kepada bangsa dan rakyat Indonesia diluar batas. Mereka bekerja untuk kepentingan dan kemaslahatan individu dan partainya, dua bulan pasca pelantikan ribut tidak jelas. Mereka tampil sangat individualis atau cenderung demi kepentingan partainya. Selain mengecewakan konstituennya juga menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Mereka menutup mata dan tidak mau melihat dan memperhatikan kepertingan bersama. Wajar, jika banyak dari abdi negara kita mendapatkan cemohon dan kritikan tajam. Mereka seolah juga tak mau bercermin terhadap para pendahulunya yang terjerat beragam kasus.
Buku ini, merupakan kumpulan tulisan analisis sepakbola guru bangsa kita, Gus Dur, yang berserakan di media massa. Cetak semenjak tahun 1982-2000. Gus Dur yang notabene merupakan tokoh terdepan dan sangat getol dalam memperjuangkan demokrasi dan membela wong cilik. Tak disangka, seorang penggemar gila sepakbola. Analisisnya mengenai kehidupan didalam kulit bundar sangat tajam. Lantas, di tuliskan di sejumlah media masa. Bahkan, beliau juga mencerap strategi di dunia sepakbola ke dunia perpolitikan nasional. “Sepak bola itu seperti politik. Seperti politik, bola dimainkan dipanggung terbuka, di mana masing-masing menunjukan kekuatan dan kehebatannya. Sepakbola itu per se politik, karena juga memberikan simbol-simbol tentang siapa yang kuat dan berkuasa.” (hal. 139)

 Menurut Cak Nun, sosok Gus Dur dalam hal apapun selalu menunjukan sebagai seorang playmaker, seorang jenderal dilapangan tengah. Posisi yang sangat sentral, dimana Dialah yang mengatur, memainkan, dan menjadi otak serangan. Bahkan, acapkali juga menjadi sebagai penjaga jantung pertahanan. Jika bola sudah dalam kakinya ia bisa saja membuat lawannya dibuat panik, akankah ia akan segera mengirimkan asist, menggocek kesana-kemari, atau secara mengejutkan malah mencetak gol. Sulit di tebak. Dia hanya konsisten dalam satu hal, yakni memperjuangkan perdamaian, dan mengakui pluralitas dalam berbangsa.
Salah satu analisisnya di buku ini, misalnya, pada perhelatan piala dunia 1986 kesebelasan Prancis harus mengakui keunggualan tim kesebelasan Jerman Barat dalam semifinal, lewat adu penalti. Tidak adil, kesebelasan yang penampilannya jauh lebih baik dan menggairahkan justru dikalahkan  secara demikian. Sebuah pelajaran penting dapat di tarik dari munculnya kecenderungan adu pinalti dalam persepakbolaan dunia itu. Mengakui keunggulan lawan dalam pesta demokrasi seharusnya dilakukan oleh yang kalah. Sportivitas dalam pertandingan semestinya di junjung tinggi. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut sebuah tim. (halaman.105) 
Pada perhelatan pesta demokrasi 2014 lalu muncul fenomena yang sangat menjengkelkan dari dunia perpolitikan kita. Dimana, telah memuculkan dendam yang mendalam dikalangan para elit politik akibat kalah bertanding. Efeknya, persoalan ini lantas menyeret ke pusaran perpecahan konflik internal di tubuh partai-partai besar. Sportifitas dalam berpolitik yang kini mulai ditinggalkan. Menjadikan rakyat marah besar kepada para politisi. Semestinya, jika siap bertanding juga harus siap kalah. Kedewasan dalam berpolitik perlu dilakukan oleh seorang politisi. Untuk  menyehatkan sistem demokrasi yang di junjungtinggi. 
Jalur politik merupakan sarana untuk menciptakan kehidupan yang penuh kemaslahatan. Kerja sama antar eksekutif, yudiktaif, dan legislatif harus dilakukan dalam membangun bangsa. Bukan malah menebarkan saling tidak percaya. Nah, disnilah yang seharusnya dilakukan para politisi kita ketimbang menciptakan suasana yang jauh dari kondusif, seperti perlawanan sana-sani yang dilakukan kubu Koalisi Merah Putih. Sekedar memposting poto presiden di ruang dewan pun masih keberatan. Ironisnya, para pemimpin partai mempeributkan urusan pragmatis seperti rebutan kursi pimpinan yang jauh dari nilai-nilai kemaslahatan untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Dalam dunia demokrasi semuanya memiliki hak yang sama. Siapapun boleh maju menjadi pemimpin. Jika mereka sudah siap bertanding dalam pesta demokrasi seharusnya juga siap menerima kekalahan. Sebagai upaya penguatan demokratisasi di kehidupan berbangsa. Perkembangan keadaan senantiasa harus dihadapi dengan sikap yang dewasa, bukannya secara emosional. (halaman 12.)
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI Ke empat pada tahun 2009 yang lalu mengejutkan banyak pihak. Shindunata, sahabat Gus Dur dalam buku ini mengungkapkan, bahwa strategi sepakbola Gus Dur adalah Cattenacio ala Italia. Sebuah strategi dengan gaya bertahan dan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secapat mungkin menggebuk gawang lawan. Strategi tersebu digunakan saat Gus Dur mengatasi lawan politiknya di DPR.Walaupun toh, diakui kurang ampuh dalam melawan gempuran lawan politiknya, dan akhirnya harus dilengserkan dari tapuk kekuasaan secara ilegal, sosok Gus Dur sudah menunjukan kepada kita semua akan bermain secara sportif dan sesuai aturan.
 Momentum bulan Desember 2014 ini, akan semarak diperingati khaul Gus Dur. Kehadiran buku ini,  menemukan relevansinya, yakni sebagai pengobat rasa rindu kita akan Gus Dur. Selamat membaca!

Oleh, Ahmad Faozan, aktif di Sanggar Kepoedang, PP. Tebuireng, Jombang


Mengurai Kitab Fiqh Muhammadiyah

Dimuat Majalah Tebuireng edisi Nov-Desember 2014
Penulis           : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit         : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan          : I, Februari 2014
Tebal              : xxii + 310 halaman
ISBN               : 978-602-1306-01-1

Sudah sekian lama Muhammadiyah dan NU berjalan sesuai dengan kepentingan politisnya sendiri. Tak pelak, membuat keduanya acakali perang urat saraf. Misalnya, mengenai masalah penentuan Hari Raya Idul Adha, dll. Meskipun perbedaan merupakan suatu rahmat namun acapkali kurang dimaknai secara bijak, akhirnya nampak di permukaan umat Islam kelihatan tak kompak dan mudah diadu domba.
Sesungguhnya Muhammadiyah dan NU memiliki akar yang sama. Sejarahnya sama, satu saudara, pendirinya seperguruan, dan tunggal ilmu. Merebahnya aliran-aliran keagamaan dasawarsa ini yang menampilkan agama kolot, kaku, dan ekstrem seperti ISIS. Muhammadiyah dan NU memiliki pengikut paling banyak di Indonesia. Keduanya, tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa Indonesia.
Ali Shadiqin lewat buku bertajuk “Muhammadiyah Itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan” ini, mencoba membuka kembali akar sejarah fiqh Muhammadiyah. Yang notabene menjadi landasan kehidupan utama dalam beragama, bersosial, dan bernegara kaum Muhammadiyah pada periode awal. Lantas, mengapa pasca KH. Ahmad Dahlan tiada Muhammadiyah seolah meninggalkan Fiqh yang diajarkan ulama pesantren? Menurut penulis, sebenarnya Muhammadiyah memiliki dasar-dasar yang sama dengan ulama pesantren, NU dalam menjalani kehidupan beragama. Sebagaiamana, termaktub dalam kitab fiqh muhammadiyah 1924. Kitab yang ditertibkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta.
Kiai Dahlan yang notabene pendiri Muhammadiyah ini juga berpaham mahzab Syafi’i.. Beliau sendiri seperguruan dengan Pendiri NU, Hasyim Asy’ari. Keduanya merupakan keturunan Sunan Giri putera Maulana Ishak yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah. Keduanya sama-sama memegang kunci gerakan dakwah. Gerakan dakwah Ahmad Dahlan bertujuan mengajarkan Islam dan menghalaui kristenisasi yang didukung oleh kolonial Belanda. Saat itu, beliau dan warga Muhammadiyah mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan jum’ at dua kali, dan takbiran tiga kali. Mereka shalat id di masjid bukan di lapangan(halaman 14 ).
 Aktualisasi Fiqh
Dalam sejarah Muhammadiyah ada beberapa perubahan dalam berfiqh. Pertama, masa Syafii(1925-1967). Pada masa ini mahzab syafii masih menjadi pegangan. Kedua, masa pembaruan Syafii-wahabi(1925-1967). HPT(1967-1995); dan masa pembauran HPT- Globalisasi (1995-sekarang). Sejak berdiri 1912 hingga tahun 1967 mahzab syafi’i masih digunakan. Lewat Muktamar 1972 di Pekalongan mulai mengalami perubahan, shalat shubuh tak berqunut pada masa orde baru.
Selanjutnya, pada tahun 1972 Muhammadiyah merubah besar-besaran haluan fiqhnya. Tak pelak, Muhammadiyah pun lantas kehilangan ulama, namun berisikan kumpulan para cendekiawan. Salah satu perbedaan Muhammadiyah dengan NU di  masa awal-awal, yakni Kiai Ahmad Dahlan mau menerima cara-cara Belanda yang lebih bersih dan tertib, berupa ruang kelas dengan meja kursi dan papan tulis, serta organisasi berbadan hukum Belanda dan mengajarkan huruf latin yang disertai bahasa belanda sedangkan NU tidak.
Menurut pendiri Muhammadiyah, dasar beragama adalah beramal dengan memedomani Al Qur an dan As Sunnah kemudian disertai pengorbanan harta dan jiwa untuk ridha Allah. ” Dakwah kiai Ahmad Dahlan dalam memberantas tahayul, bid’ah, dan khufarat sama sebagaimana dilakukan ulama nusantara “(halaman 32). Tumbuhnya pergesekan antara Muhammadiyah dan NU dimulai sejak banyaknya kaum pembaharu yang masuk ke tubuh Muhammadiyah. Yang memunculkan pembahasan bab khilafiyah.
Perdebatan masalah khilafiyah yang notabene sudah ditutup sejak ratusan lalu dibuka kembali. Pihak-pihak yang merasa tersakiti oleh fatwa kemudian balik menentang dan berujung pada sikap saling menyalahkan. Padahal sedari awal para ulama pesantren sangat mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah. Pasca dipersalahkan dan dianggap kolot karena tak mau melepas dari mahzab dan khazanah keilmuan lama menimbulkan ketegangan. Siapakah yang diuntungan dalam hal ini?
Tentunya membangun kebersamaan kembali dalam hal ini penting dilakukan. Sehinga, semangat persatuan dan kesatuan sesama umat Islam amat kokoh. Bahkan, semangat kebersamaan ini juga dapat diimplemntasikan dalan tatanan yanag lebih luas, misalnya membangun bangsa. Sebagaiamana perjuangan para pendahulunya mereka dalam mengusir penjajah. Mengguggah kesadaran para elitnya menjadi penting untuk bersatu guna bersama-sama merancang masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena itu, aku akan senantiasa berdoa setiap saat sehingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Ilahi Rabi. Aku juga berdoa berkat dan keridhaan serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberi manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman “(halaman 28 ).
Ikhtiar penulis dalam membuka kembali fiqh lama Muhammadiyah patut sekiranya untuk dijadikan spirit dalam membangun kebersamaan. Jika perbedaan adalah rahmat, kenapa kita mudah emosi membela keegoisan dan arogansi masing-masing. Selamat membaca!
Ahmad Faozan

Mengurai Sejarah Tebuireng

Dilansir dari Tebuireng org.
Judul buku      : Profil Tebuireng
Penyusun        : A. Mubarak Yasin dan Fathurahman Karyadi
Tebal                : 242 halaman
Penerbit          : Pustaka Tebuireng
Harga             : RP. 160. 000

Perhatikan sejarahmu untuk hari esok”(Qs: Al- Hasyr ( 59) :18)
Sejak berdirinya pesantren Tebuireng pada 28 Rabiul Awal 1317 H( bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M) hingga sekarang ini telah mencetak ribuan ulama. Bahkan, santrinya juga tak hanya menjadi tokoh agamawan saja, namun juga dibidang lainnya. Ikut serta mengubah peradaban masyarakat berbasis santri. Kehadiran Pesantren ditengah-tengah masyarakat sempat mendapatkan respon kurang baik. Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat justru bangga akan kehadiran Pesantren Tebuireng.
Kesemua itu tidak terlepas dari kesungguhan, kegiggihan, dan perjuangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng dalam perkembangannya telah menjadi pusat pendidikan keagamaan dan politik yang menentang penjajah. Dari Pesantren Tebuirenglah lahir partai-partai besar Islam di Indonesia. Misalnya,  Nahdlatu Ulama( NU), Majelis Islam A’la Indonesia(MIAI), dan lasykar-lasykar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabililah. Menunjukan betapa Tebuireng memilih pengaruh cukup besar. Tidak hanya bagi masyarakat sekitar, namun juga bangsa Indonesia.
Merujuk data dari Pemerintah Jepang, tepatnya pada tahun 1942, jumlah santri dan ulama di Pulau Jawa sebanyak 25.000 orang. Kesemuanya pernah menyantri di Tebuireng. Menunjukan betapa Tebuireng  pada awal abad 20 yang di pimpin Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang besar. Diantara santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dikemudian hari menjadi ulama besar, pendiri, dan pengasuh pondok, misal, KH. Wahab Hasbullah(juga pernah menjadi lurah di Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Bisri Syansuri, Pendiri PP. Denayar, KH. Chudori, Pendiri PP. Tegalrejo, KH. Abdul Karim, Pendiri PP Lirboyo, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Maksum Ali, Pendiri Pesantren Seblak, KH. Adlan Ali, pendiri PP. Walisanga Cukir, dll.
Lewat buku “Profil Sejarah Tebuireng” ini, Mubarak Yasin, dan Fathurahman Karyadi, mencoba mengurai sejarah Pesantren Tebuireng. Dari mulai awal berdiri hingga masa sekarang ini. Pada masa awal keberadaan Pesantren Tebuireng kemudian dianggap menebar ancaman oleh pihak Belanda. Belanda pun kemudian memata-matai santri dan kiainya Tebuireng, dan menebar fitnah. Pada tahun 1913 lewat provokasi Belanda dengan cara menyusupkan pencuri akhirnya tewas ditangan santri. Peristiwa tersebut berbuntut panjang. Dimana Pondok Pesantren Tebuireng harus diluluhlantakan oleh Belanda. Banyak kitab yang dirampas dan dimusnahkan. Walaupun tak sampai memakan korban jiwa namun, hal ini sangat merugikan. Dari peristiwa ini Pesantren Tebuireng menjadi lebih dikenal. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pun bahu membahu membangunnya kembali.
Semula jumlah santri yang belajar ke Tebuireng hanya 28 orang. Pada tahun 1899, bertambah menjadi  200 orang pada tahun 1910, dan sepuluh tahun kemudian meningkat sekitar 2000 ribuan sastri. Para santrinya tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia melainkan juga Singapura dan Malaysia. Kebesaran Pesantren Tebuireng selalu melekat dengan pengasuh pertamanya, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau yang dikenal luas ilmunya atas kepakarannya dalam bidang hadis membuat nama Tebuireng semakin moncer dan banyak diminati. Guru Besar Tanah Jawa KH. Kholil Bangkalan pun mengakuinya dan ikut mengaji hadis kepada Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari  di Pesantren Tebuireng.
Pada akhir tahun 1920 jumlah santri mencapai seribu orang dan 1930 bertambah menjadi 2000 orang. Kala itu memecahkan rekor. Pasalnya belum ada pesantren yang memiliki santri sebanyak Pesantren Tebuireng. Model pembelajaran yang diadopsi oleh pesantren Tebuireng, yakni sistem sorogan dan bandongan. Kemudian ditambah dengan sistim musyawarah. Seiring berjalannya waktu kemudian sistim pendidikan tersebut mengalami perkembangan lagi dalam bentuk madrasah yang dikepalai langsung oleh KH. Maksum Ali, suami dari Nyai Khairiyah Hasyim. Madrasah tersebut dinamakan dengan Madrasah Salafiah Syafiiyah. Menyediakan dua kelas. pertama sifir awal dan sifir tsani. Serta sekolah persiapan selama lima tahun. Inovasi tersebut berjalan dengan baik.
Percontohan Pesantren
Setelah Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berhasil mempersiapkan putranya KH. A. Wahid Hasyim. Maka majulah KH. A. Wahid Hasyim melakukan perubahan akan sistem pondok. Beliau berduet dengan KH. M. Ilyas(dikemudian hari menjadi Menteri Agama) yang menggantikan kepala madrasah sebelumnya di pimpin KH. Masum Aly. Tebuireng pun kemudian beradaptasi dengan cepat dan tepat. Lewat pendirian Madrasah Nizamiyah menjadi sarana menumpahkan ide KH. A. Wahid Hasyim.
Setidaknya ada tiga strategi khusus yang diimplementasikan. Pertama, memperluas pengetahuan santri. Kedua, memasukan pengetahuan modern. Ketiga, meningkatkan pengajaran secara aktif. Dalam berupaya mendukung proyek besar tersebut. Pesantren Tebuireng mulai berlangganan sejumlah surat kabar, buku, dan majalah berbaga bahasa. Santri pun kemudian banyak mendapatkan kesempatan untuk menambah wawasan secara luas. Menjadi nilai tambahan yang tepat. Pasalanya jika santri hanya mendalami kitab fiqh saja misalnya akan ketinggalan dengan penetahuan dibidang pengetahuan lain.
Misalnya, filsafat, politik, agaria, sosiologi dll. Terlebih kehidupan modern menuntut seseorang memiliki pengetahuan luas tentunya akan keteteran jika tidak mampu menyeimbangkan. Ide yang progresif dari seorang KH. A. Wahid Hasyim kala itu. Berani  menerapkan sistem pondok pesantren yang sesuai dengan zamannya. Walaupun toh awalnya banyak mendapatkan penolakan karena dianggap tak sesuai berkat dukungan ayahdanya sistem tersebut dapat bejalan dengan baik.
 Bahkan  menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai representasi pondok pesantren yang mampu mengintregrasikan nilai budaya pesantren dengan budaya lain. Sehingga kader kader pesantren dapat tersalurkan dalam berbagai bidang. Artinya  alumnus pesantren Tebuireng tidak hanya menjadi kiai yang hanya lihai dalam masalah fiqh semata namun juga luas dalam berbagai pengetahuan. manakala negara membutuhkan Pesantren Tebuireng sudah mempersiakan. Tak sedikit, dari lembaga pesantren lain yang merujuk kepada Pesantren Tebuireng
Menjaga Spirit Perubahan
Pesantren Tebuireng sebagai pondok pesantren yang adaptif dan dinamis, dituntut untuk mampu mengaktualisasikan diri secara cepat dan tepat. Terlebih di era modern seperti sekarang ini, dimana lembaga pendidikan sudah menjamur. Jika lembaga pendidikan klasik seperti Pesantren Tebuireng tak mampu meningkatkan kualitas akan tertinggal dan mengalami kemunduran. Salahuddin Wahid, putra KH. Abdul Wahid Hasyim, sebagai generasi penerus Pengasuh Tebuireng berusaha memoles Tebuireng dengan lebi baik lagi. Misalnya, mendirikan Lembaga Penerbitan(Majalah, Pustaka, dan Website), Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng, LSPT, pengembangan kampus UNHASY, kesehatan, puskestren, lembaga Penelitian, PKPM, dll. Bahkan, kini Pesantren Tebuireng juga melebarkan sayapnya, yakni membuka cabang di sejumlah tempat seperti, Pesantren Sains Tebuireng II didaerah Jombok. Menunjukan bahwa Pesantren Tebuireng selalu adaptif dan dinamis.
Buku  ini penting untuk dibaca. Baik oleh santri dan alumni maupun masyarakat luas yang hendak mengetahui secara mendalam mengenai sejarah Pesantren Tebuireng. Selamat membaca!
Peresensi Ahmad Fao, Pengelola Sanggar Kepoedang, komunitas penulis muda Tebuireng.


Minggu, 03 Agustus 2014

Meraih Kebahagiaan dengan Psikologi Positif

Judul Buku      : Beyond Authentic Happiness
Penulis               : Martin Seligman
Penerbit            : Kaifa
Tahun Terbit   : 2013
Halaman            : 432 Halaman


Trauma acapkali membawa seseorang kedalam suasana yang tidak menyenangkan. Tak hanya menjadi antipati dan alergi terhadap sesuatu yang telah dialaminya namun membawa pengaruh yang amat dahsyat. Tak sedikit orang yang trauma kemudian berputus asa dalam hidupnya bahkan juga mengorbankan nyawanya. Peyakikt kejiwaan seperti trauma, jika tidak segera diobati dapat menjatuhkan dalam keterpurukan.

Padahal sebagai manusia kita tak boleh mengalami kemunduran. Dalam ajaran agama disebutkan bahwa hari esok harus lebih baik dari hari kemarin.Ironisnya, ketika seseorang sudah mulai tergeser nilai kesejahteraannya, mudah tergeser nilai kebahagiaannya. Ketika dibandingkan seorang pengemis yang dengan seribu rupiah nilai bahagianya 10, sedangkan bagi kaum atas seribu rupiah tidak bernilai sama sekali. Pemahaman yang demikian amatlah keliru.

Buku Beyond Authentic Happinessini  menjelaskan tentang berbagai tips dan trik untuk meraih kebahagiaan ala psikologi positif. Martin Seligman, penulis buku ini, memperkenalkan teori psikologi positif. Dimulai dengan arti kesejahteraan dan unsur-unsur yang memenuhi nilai kesejahteraan. Pada awalnya, topik utama psikologi positif adalah nilai kesejahteraan untuk kemakmuran. Keberadaaan kebahagiaan autentik untuk menaikkan kepuasan dalam hidup. 

Dalam hal ini terdapat tiga kelemahan, yaitu kebahagiaan yang cenderung pada perasaan senang, kepuasan hidup yang terlalu dimuliakan, dan emosi positif yang tidak terlibat secara langsung dalam pilihan-pilihan hidup itu sendiri. Kesejahteraan tidak hanya melibatkan perasaan atau nilai kemakmuran. Kesejahteraan itu sendiri dapat diubah salah satunya dengan melakukan hal-hal baik. Dan adanya psikoterapi positif. 

Menurutnya, Psikoterapi positif adalah serangkaian teknik yang efektif untuk diterapkan dengan esensi terapi dasar seperti kehangatan, empati, kepercayaan mendasar, hingga hubungan. Hasil penelitian beliau, hal demikian memungkinkan adanya kesesuaian individu klien yang depresi. Kesejahteraan juga harus dipupuk sejak dini, kepada kaum muda. Hal ini dapat dilakukan melalui sekolah, dengan bantuan teknologi. 

Belajar menghargai dan mencapai kemakmuran harus dimulai pada tahun-tahun sekolah, dan kemakmuran baru inilah yang dikembangkan oleh pendidikan positif yang bisa dipilih dunia sekarang. Salah satunya adalah dengan prestasi denga orientasi positif. Kecerdasan pun dapat berbanding lurus dengan kesejahteraan.  Disebutkan bahwa indeks prestasi semakin tinggi dibarengi dengan kedisiplinan dapat meningkatkan nilai kesejahteraan seorang siswa. Hal ini juga harus diseimbangkan dengan pengendalian diri. 

Selain adanya teori baru tentang kecerdasan, ada hal lain yang menarik dari buku ini. Yaitu teori untuk mengubah trauma menjadi pertumbuhan. Trauma adalah sesuatu di masa lalu yang cenderung memiliki kesan buruk dan meningkatkan nilai ketakutan diri. Namun, Seligman mempelajari trauma untuk meningkatkan sebuah arti kesejahteraan. Hal ini adalah sebuah pengembangan positif paska trauma, yang tidak hanya focus pada gangguan jiwa setelah trauma. Banyak orang yang mengalami depresi dan kecemasan yang mengkhawatirkan paskatrauma ini. Buku ini, juga menjelaskan tentang program positif setelah trauma. Dan dapat disimpulkan bahwa trauma sering menciptakan awal dari perkembangan positif dan kita harus mengajarkan orang lain kondisi dimana perkembangan itu dapat terjadi. Selamat Membaca!*

Kamis, 12 Juni 2014

Menjadi Hamba Sejati

Judul Buku: Enslikopedia Akhlak Muslim: Berakhlak terhadap Sang Pencipta
Penulis: Wahbah Az Zuhaili
Penerbit: Naura Books
Cetakan: 1 Desember 2013
Tebal: 607 halaman
Harga: 129 000



Islam sebagai agama memperkenalkan ajaran budi pakerti yang luhur utamanya mengenai masalah pendidikan etika. Baik etika seorang hamba kepada Tuhan, sesama hamba, dan alam. Hubungan manusia dengan dirinya bertujuan untuk melatih dan membina diri sendiri sehingga mencapai puncak kesempurnaan jiwa dan etika. Hubungan dengan Tuhan bertujuan mengembangkan dan memperkuat rasa keimanan serta sikap tawakal kepada Tuhan. Selanjutnya adalah manusia dengan masyarakat yang bertujuan menciptakan masyarakat ideal dan melindungi segala campur orang lain.

Buku karya ulama besar, Wahbah Az Zuhaili ini, merupakan pedoman etika bagi seorang hamba terhadap Tuhannya. Dengan menjaga hubungan baik dengan Tuhan akan berdampak positif terhadap segala urusan yang hendak di capainya. Manusia sebagai seorang hamba berkewajiban untuk menampilkan kualitas terbaiknya dalam memberikan penghormatan kepada Sang Tuhan. Mengingat, Tuhan Yang Maha Suci tidak sudi terhadap setiap perbuatan manusia yang dikerjakan dengan dipenuhi kemunafikan, riya, pencitraan, berbangga diri, dan sombong.

Ketidakmampuan seseorang dalam menghadirkan Tuhan dalam diri membuat seseorang mudah menuruti hawa nafsunya. Sudah tentu, jika seseorang sudah dikuasai nafsu akan tak sadar mengerjakan perbuatan tercela seperti korupsi. Walaupun toh sudah di sumpah dengan kitab suci seperti Al-Qur’an tetap saja tak mengurangi sedikit pun untuk tidak berkorupsi. Realitas tersebut benar-benar terjadi dalam sebuah negara berpenduduk bermayoritaskan Islam, Indonesia. Tentu saja menjadi suatu pemandangan yang tak sedap bukan?

Padahal para pejabat negara kita sudah mendapatkan gaji dan fasilitas kehidupannya yang sempurna. Bila dibandingkan dengan rakyat biasa tiada tara. Mengapa mereka masih saja berkorupsi? Bukankah, seorang pejabat negara di negara religius seperti Indonesia mejadi teladan dalam kebaikan, dan jangan sampai menjadi contoh buruk dalam kebatilan dan kemungkaran. Ketidakhadiran Tuhan dalam diri seseorang menghamba kepada hawa nafsunya. Akhirnya, korupsi dan tak amanah menghidap. 

Seharusnya bilamana dibarengi dengan niat ketulusan dan tanggungjawab juga akan mendapat pahala Tuhan. Bahkan, akan dijaga dari segala godaan seperti korupsi dan pemalsuan. Sesungguhnya ajaran agama dapat menjadi rem bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya dimanapun dan kapanpun. Dengan demikian, segala perbuatan yang menjurus pada larangan Tuhan dapat dijauhinya. Sebuah kesempatan, kesehatan, dan limpahan nikmat dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Bukankah, sudah menjadi kodrat seorang Muslim untuk senantiasa bergegas melaksanakan atau bergegas menuju jalan kebaikan?

Tak pelak, Agama tak lagi menjadi penyejuk bagi pemeluknya. Padahal melalui instusi agama menjadi petunjuk bagi seseorang dalam kehidupannya. Kembali kepada ajaran agama membawa dampak positif bagi kehidupan seseorang. Baik dalam mensikapi berbagai persoalan maupun menjalani kehidupan. Hilangnya kontak batin seorang hamba dengan Sang Pencipta menimbulkan banyak dampak yang cukup dahsyat.

Sulit menemukan seseorang yang benar-benar melandaskan niat ikhlas dan semata mengharap Ridha Tuhan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.  Hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Padahal hal tersebut harus dilakukan oleh setiap abdi Tuhan. Sehingga, apa yang dikerjakannya menjadi berkah. Bahkan, terhindar dari segala nafsu yang pada akhirnya menjerumuskannya dalam keterpurukan. 

Selain ajakan untuk berbuat ikhlas dalam segala perbuatan baik. Wahbah Zuhaili, penulis buku ini juga mengajak kepada kita untuk berjihad melawan hawa nafsu. Menurutnya, manusia memiliki kecenderungan untuk santai dan malas, enggan untuk segera berbuat kebajikan, sering dikuasai sifat kikir, segan berbuat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kendati demikian, sifat demikian seseorang tak boleh memeliharanya. Selain akan menjadi kebiasaan buruk juga menumbuhkan karakter yang negatif. Jihad melawan hawa nafsu inilah yang penting dilakukan. Dengan berjihad akan membantu membawa seseorang taat dan selalu ingat Tuhannya. Sehingga akan membantu menyelematkan manusia pada kesesatan. (halaman 55)

Nasihat pakar Fiqh, lulusan Al Azhar ini, menemukan relevansinya dalam hal ini. Buku yang merujuk pada kitab Riyadu Shalihin ini, sudah tidak diragukan lagi kandungan isinya. Pada setiap pembahasan didahului pengantar ringkas, diikuti ayat-ayat yang relevan serta hadis-hadis sahih yang sesuai pembahasan. Jadi, layak untuk dijadikan refrensi utama dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta. Selamat membaca!


Diresensi Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis Muda Tebuireng, tinggal di PP Tebuireng Jombang Jawa Timur.

Sabtu, 10 Mei 2014

Potret Kekerasan Budaya Pasca 1965

Judul Buku: Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film
Penulis: Wijaya Herlambang
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: 1 November 2013
Tebal: xii+ 334 halaman
Harga: Rp. 70.00
ISBAN: 978-979126026-8



Semasa Orde Baru menguasai panggung sejarah Indonesia. Beragam cara dilakukan guna melanggengkan kekuasaan. Tidak hanya itu, berbagai propaganda guna memanipulasi suatu kebenaran. Baik melalui jalur politik maupun kebudayaan. Diantara agen kebudayaan yang paling kental dengan selera Orde Baru, yakni pembuatan Film G30S/PKI. Yang digunakan sebagai senjata paling ampuh untuk mengelabuhi rakyat Indonesia.

Lewat film tersebut kesucian dari nilai kebudayaan sangat ternodai. Pasalnya mengaburkan nilai-nilai kebenaran. Dalam film tersebut hanya melukiskan Soeharto sebagai tokoh terpenting dalam proses berdirinya bangsa Indonesia semasa Revolusi. Mengutip Graeme Turner, bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni melainkan sebagai medium praktik sosial dimana ideologi dan praktik kebudyaan beriteraksi..

Pemerintah Orde Baru dan para agen kebudayaan, termasuk para penulis liberal pro-Barat, memperluas upaya dan sumber-sumber kekuatan mereka untuk meligitimasi pembangunan rezim fasis-kapitalistik diatas darah kaum komunis. Melalui produk-produk budaya seperti ideologi negara(pancasila), museum, monumen, hari-hari peringatan, penataran, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan karya sastra, muatan ideologis narasi utama di transformasikan ke dalam bentuk-bentuk seni.

Terbukti, jurus tersebut sangat jitu untuk menebarkan kebencian terhadap ideologi komunisme di kalangan masyarakat Indonesia hingga sekarang. Ideologi dan produksi kebudayaan, di masa sebelum maupun selama Orde Baru, telah berkontribusi besar dalam membentuk pandangan umum seluruh lapisan masyarakat Indonesia bahwa PKI, komunisme, dan praktik kebudayaan kiri seperti pendekatan yang dilakukan oleh Lekra adalah entitas iblis.

Dalam buku ini, Wijaya Herlambang, menguak agen-agen kebudayaan yang di ciptakan pemerintah Orde Baru. Misalnya, klaim kebenaran dalam Film dan novel penghianatan G30S PKI merupakan dokumen sosial yang dianggap kebenaran faktual dengan dalih sebuah upaya kreatif. Kemudian melalui berbagai program pemerintah seperti kurikulum pendidikan dan penatar Pancasila dan antikomunisme dijadikan landasan penting untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Pada saat yang sama, praktik kebudayaan juga telah dibentuk dalam kerangka ideologis ini dimana gagasan kiri, yang menonjolkan komitmen politik di dalam berkesenian, di tolak.

Pada masa puncak ketegangan perang dingin 1950an dan 1960, kekuatan-kekuatan politik dan kebudayaan pro-Barat, dengan dukungan pemerintah AS, berupaya menciptakan medan pertempuran ideologis untuk menantang laju komunisme di Indonesia. Demi meraih simpatik pemerintah Indonesia, pemerintah AS bersikap bermurah hati. Misalnya, bantuan militer dan ekonomi, memperluas pengaruhnya dengan membantu aktivitas pendidikan’ antara Tahun 1951-1955 saja, sekitar 900 mahasiswa Indonesia dari berbagai disiplin menerima beasiswa pelatihan tekhnik di As’ dan kebudayaan melalui institusi-institusi filantropi dan kebudayaan untuk membangun aliansi antikomunisme dikalangan intelektual Indonesia. 

Buku ini semakin menarik, karena mampu membongkar misi politik dalam bungkusan kebudayaan. Dimana, pemerintah AS berhasil menyusup melalui institusi-instusi kebudayaan, filantrofi, dan pemerintahannya seperti CIA, yang sangat berperan dalam menginfiltrasi dan membentuk perkembangan politik dan kebudayaan di Indonesia sejak masa Revolusi 1945 hingga berdirinya Orde Baru menyusul penghancuran PKI1965-1966.” Penggunaan produk-produk kebudayaan sebagai instrumen propaganda, secara khusu terlihat pada masa pembentukan ideologi anti komunis baik di dalam domain kebudayan yaitu sendiri maupun di dalam politik, baik sebelum maupun sesudah 1965 terjadi”.(hal.45)

Pembentukan ideologi kebudayaan anti-komunis yang secara bersamaan dengan bangkitnya rezim orde baru pada 1965-1966, memainkan peranan besar dalam mendukung pandangan pemerintah terhadap komunisme. Situasi dan kondisi saat itu, dimana kebangkitan kekuataan nasionalis dan komunis di Asia pada akhir perang Dunia II telah memaksa AS untuk bersiaga memperluas pengaruhnya di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Sukarno presiden pertama Indonesia yang kian dekat dengan blok komunisme membuat negara-negara Barat seperti AS geram dan sinis.

Dalam hal ini, setidaknya ada dua misi pemerintah AS di Indonesia. Pertama, kesadaran pemerintah AS tentang masalah kekayaan Indonesia yang berpengaruh pada kepentingannya(misalnya Indonesia saat itu berpotensi memproduksi 20 miliar barel minyak). Kedua, kewaspadaan pemerintah AS akan bangkitnya PKI sejak 1950 partai komunis terbesar di Asia di luar Cina.

 Liberalisme Kebudayaan

Pendeklrasian Manifest Kebudayaan pada Tahun 1963 merupakan bentuk nyata dari aktivis liberal yang melakukan perlawanan secara langsung terhadap kebudayaan kiri. Para penulis dan seniman anti komunis seperti H.B Jasin, Wiratmo Soekito, Goenawan Muhammad, Arif Budiman, dan Taufik Ismai secara tegas membela keyakinan mereka menentang anti komunis.   Mereka memetik inspirasi dari ide-ide CCF tentang kebebasan intelektual dan artistik yang secara efektif menyentuh titik saraf doktrin kiri:politik sebagai pangllima. Menurutnya, kebudayaan hanya ada di dalam kebebasan. Merujuk kepada Deklrasi CCF “Manifestaso of Intellectual Liberty”, bahwa “Kami..berpendirian bahwa tidak ada ras, bangsa, kelas atau agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya yang berhak untuk mewakili gagasan kebebsan, tidak juga berhak untuk menafikan kebebasan kelompok lain atau kredo atas nama cita-cita yang paling agung atau tujuan tertinggi.”(hal85)

Kampanye kebudayaan ini merupakan bagian dari agresi simbolik yang digunakan untuk menyerang, bukan terhadap bentuk fisik dari produksi kebudayaan kiri, namun terhadap pengertian atas ide-ide dibelakang pendekatan kebudayaan kiri yang dianggap oleh lawan-lawannya sebagai bahaya untuk kehidupan kebudyaan secara demokratis. Pada titik inlah gagasan kebebesan berekspresi menjadi konsep mujarab untuk melawan kecenderungan totalirianisme pemerintahan Soekarno dan partai pendukunganya, yakni partai PKI(dengan LEKRA sebagai sayap kebudyaan) dan PNI(dengan LKN sebagai sayap kebudayaan). Ideologi tersebut digunakan sebagai slogan dan rumusan untuk menghujat, menghantam, menjatuhkan, ide-ide kebudayaan kiri, dengan berpihak kepada ide-ide Barat tentang liberalisme dan demokrasi.

Buku setebal 334 halaman ini membantu kita memotretmengenai pembangunan politik dan kebudayaan, baik sebelum maupun setelah peristiwa 30 September 1965 yang menunjukan bahwa hal itu merupakan hasil pergulatan panjang di era Perang Dingin. Elemen-elemen sayap kanan seperti kaum intelektual, politisi, ekonom dan angkatan Darat pro-Barat melakukan konsolidasi dan agresi politik serta kebudayaan, politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, para intelektual Indonesia pro-Barat telah memanipulasi gagasa”kebebasan berekspresi” dan”demokrasi” dengan cara mencitrakan komunisme sebagai gerakan politik dan kebudayaan upaling berbahaya yang mengancam demokrasi.


Diresensi Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Menziarahi Peradaban Tebuireng Tempo Doeloe

Dimuat Koran Duta Masyarakat 11 Mei 2014

Judul buku      : Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren  yang mengaklhiri era kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak
Penulis               : Masyamsul Huda
Tahun Terbit   : 1 Maret 2014
Penerbit            : Pustaka Inspira
Tebal                    : 267 halaman
Harga                  : RP. 50.000


 Novel  ini, mencoba menguraikan mengenai sejarah pra Tebuireng. Lewat hasil penelitiannya, Masyamsul, penulis mencoba menepis pemahaman lama mengenai asal usul Tebuireng yang sebelumnya diambil dari nama hewan kerbau yang masuk kubangan di perkebunan tebu, dimana didalamnya penuh lintah. Menurutnya, nama Kebo Ireng diadopsi dari simbol kebrobokan masyarakat. Yang ditinjau dari agama Islam kotor dan menjijikan. Pasalnya kebiasaan masyarakat Jahiliah, yakni, Mabok, Madon, Berjudi melekat kuat dikalangan masyarakat.

Surontanu seorang Kiai kampung dan santri-santrinya dari pesantren Sumoyono yang notabene wilayahnya berdekatan, tak bisa membiarkan segala kemaksiatan didaerah sekitar Pabrik. Sejak awal sudah aktif menolak pembangunan Pabrik. Semakin geram semenjak berdirinya pabarik gula dan wilayah sekitarnya diracuni hal-hal negatif.”Kerajaan Kebo Kicak telah merusak akidah dan mental masyarakat yang dampaknya semakin meluas.”(halaman 117) 

Joko Tulus mantan santri Surontanu yang semula santri juga jago silat memilih jalan sesat. Matanya dibutakan oleh kemewahan dan kesenangan duniawi. Akhirnya, masyarakat yang jijik melihat ulah bejatnya menjulukinya Kebo Kicak.  Ia dikendalikan oleh Wiro alias Joko Rumpun, seorang Dalang masyhur dan Joyo Rumpun. Sedangkan Sang Dalang sangat menuruti Sartini. Seorang penari terkenal. Karena acapkali membawa perempuan-perempuan muda yang dibawa dari berbagai daerah untuk dijual dilkoasi Kebo Ireng. 

Kebo Kicak, panggilan akrab Joko Tulus menjadi raja kecil di Kebo Ireng, amat tersohor dikalangan masyarakat. Ia tak pernah tersentuh oleh hukum Belanda. Ia direkrut oleh Belanda untuk menjadi kepala keamanan. Surantanu dan santri-santrinya merasa tertantang dengan ulah Joko Tulus dkk dikawasan Kebo Ireng. Perang antar pendekar silat pun ditabuh. Wilayah Kebo Ireng di grebeg oleh Surontanu dan santri-santrinya. Hukum. Dengan dalih melalukan tindak kekerasan, Pemerintah Belanda lantas menangkapi para santri pesantren Sumoyono. 

Sang Kiainya berhasil kabur begitupun Joko Tulus, alias Kebo Kicak melarikan diri melihat tak kuas dengan kesaktian Surontanu.  Kebo Kicak, Wiro, dan Joyo Rumpun yang sejak awal di cetak oleh pemerintah Belanda mampu menyingkirkan Surantanu dan santri-santrinya. Tak pelak, perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan terhenti ditengah jalan. Belanda pun lantas memenangkan strategi politiknya. Ketiadaanya penentang seperti Surantanu membuat Belanda mampu menanamkan berbagai macam aksinya. 

Masyarakat yang masih awam pun mengadopsi budaya luar yang jauh dari nilai-nilai Islami.  Nah, inilah yang kemudian menggugah Hasyim Asy’ari, dari Keras berdakwah, mengubah peradaban gelap, jauh dari pancaran sinar agama menuju peradaban religius. Nama Tebuireng yang dipilihnya merupakan sebuah nama yang tepat.  Tebu yang paling baik jenisnya adalah tebu ireng, batang tebu yang berwarna hitam. Dari tebu jenis yang paling baik inilah kita berharap dan atas izin Allah akan menghasilkan gula yang paling bermutu dan bernilai jual tinggi.

Beliau bekerja sama dengan masyarakat sekitar menjalankan tugas sesuai jobdisnya. ”kita harus sepakat, mempunyai pemikiran dan tindakan yang sama agar peradaban gelap disini diubah menjadi peradaban yang berlandaskan etika moral sesuai ajaran Al Qur’an dan Sunnah yang di contohkan Rasulullah”(halaman 145) Ia pun kemudian dibantu dengan warga masyarakat Cukir yang sama-sama memiliki misi dan visi sama, yakni menegakan amar maruf nahi munkarKang Muridan membantu mengurus masalah operasional pembangunan pesantren. 

Sedangkan Dulhadi urusan pengorganisasian ke luar. Muridan, Amir, Amin, dan Saridin menyiapkan segala kebutuhan pesantren. Syakiban  yang membantu menemukan lokasi yang akan digunakan mendirikan bangunan. Setelah siap semuanya, tepat pada 5 Agustus 1889 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren.  Strategi ‘mangan dan waras’ perlu digunakan untuk mengajak masyarakat ke jalan yang benar. Jika masalah ‘mangan dan waras’ sudah selesai masyarakat akan lebih mudah di didik dan diarahkan, seperti pemahaman agama. Tidak ada salahnya kita mencontoh metode yang baik. Yang penting bukan meniru akidahnya.(halaman 168)
Belanda pun semakin menaruh curiga kepada Hasyim Asy’ari, karena secara perlahan-lahan mampu menarik simpatik masyarakat luas. Berbagai cara dilakukan oleh Belanda termasuk ancama untuk membubarkan dakwahnya. Terbukti, ancaman tersebut sangat serius. Pasukan  Belanda mulai meneror, membakar pondok, dan menembaki siapa saja yang berusaha menghalangi. Meskipun berjuang dalam tekanan Belanda tak membuat Hasyim Asy’ari surut untuk berjuang tanpa kekerasan. Justeru membuatnya semakin disegani dan dikenal oleh kalangan luas. 

Menurut Hasyim Asy’ari, menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi dari padanya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan”. “Kita tidak boleh surut akibat kejadian ini”(halaman 265)

Buku setebal 167 halaman ini, menawarkan pemahaman yang berbeda mengenai sejarah asal usul Tebuireng. Lewat buku ini pula kita dapat belajar akan perjuangan Sang Pendiri NU yang telah sukses mengubah peradaban masyarakat gelap menuju masyarakat Religius berbasiskan santri hingga sekarang ini. Selamat membaca!


Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis Muda Tebuireng, tinggal di Jombang, Jatim.

Sabtu, 29 Maret 2014

Menjaga Wibawa Sastrawan



Judul buku      : PESAN AL-QURAN UNTUK SASTRAWAN: Esai-Esai Budaya dan Agama
Penulis               :  Aguk Irawan
Tahun Terbit   : 2013
Penerbit            :  Jalasutera Yogyakarta
Tebal                    : 434 halaman
Harga                  : RP68.000



Seorang Sastrawan memiliki keistimewaan dalam Islam. Mengingat dunia sastra di dataran Arab kala itu sangat digandrungi oleh masyarakat. Dimana kaum Arab saat itu menggantungkan karya-karya terbaik seperti puisi di dinding Ka'bah. Sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku atau ras yang mengalir pada darah mereka. Bahkan, saat itu juga seorang sastrawan amat disegani, melebihi hartawan, agamawan, maupun filusuf.

Mengutip Muhammad bin Sulam al-Jumahi, pengamat sastra Arab, peran penyair semakin menjadi-jadi manakala kitab suci Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad. Al Qur'an yang mengandung nilai estetika yang luar biasa membuat para sastrawan kala itu berjuang menandinginya. Padahal Al Qur an sendiri merupakan kitab suci Mahakarya Tuhan, bukan sebuah kitab sastra.Setidaknya  kata penyair disebutkan secara khusus 10 kali dan 60 kali secara istimewa oleh Al Qur an.

Ironisnya, sekarang ini dunia sastra sedang digemparkan dengan sesuatu hal yang miring, yakni mengabaikan nilai-nilai etika. Aroma kebebasan dalam menciptakan karya lebih dikedepankan. Dari mulai perilaku sastrawan yang tak bermoral karena berbuat asusila dan liberalisme karya-karya sastra. Dimana karya sastra berisikan cerita-certi seksual, yang jauh dari nilai edukasi. Aguk Irawan, penulis buku ini mencoba menggugah kesadaran kaum sastrawan untuk mengedepankan nilai-nilai etika. Pasalnya dalam kitab suci Al Qur'an sudah banyak.

 Al Qur’ an sebagai kitab suci umat Islam, tidak menginginkan sebuah karya sastra seperti puisi hanya untuk menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan atau mengumbar hawa nafsu dan sejenisnya. Sudah selayaknya seorang sastrawan mementingkan ideologi(tentunya dengan tidak melupakan estetika ), bagaiamana karya sastra harus memberikan pencerahan, hikmah, kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa, demi sebuah kebudayaan.

Teguran tersebut termaktub dalam Al Qur’ an. “Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesar. Tidakah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mebgujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali bagi mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaab ketika didzalimi.”( Qs As Sy'ura, 224-227)

Kualitas karya sastra yang baik tidak hanya terlukiskan dalam sebuah pilihan kata-kata semata. Namun, juga menyiratkan pesan moral yang positif bagi pembacanya. Prasayarat tersebut yang sejatinya diperhatikan oleh para sastrawan. Sehingga, kesucian sastra dapat terjaga. Memang pada hakikatnya sastra adalah dunia rekaan. Ia frasa atau kalimat yang berbalutkan daya imajinatif dan estetis. Karena mengandung intensi, baik berupa pikiran, perasaan, pandangan, gagasan atau segenap pengalaman kejiwaan. 

Merujuk pendapatnya Profesor A. Teeuw, karya sastra tidaklah terlahir dari kehampaan budaya. Ia adalah sesuatu yang terkait antara tradisi, agama, dan filsafat ilmu sebagai cermin atas realitas sosial. Karya sastra bukan kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni.( halaman 52 )


Sekarang ini, karya satra banyak yang dibuat sedemikain pornonya. Dengan dalil kebebasan mewujudkan ekspresi kebebasan berkarya.  Misalnya, berbau seksual sekarang ini melimpah ruah.  Misalnya karya sastrawan perempuan seperti,  Oka Rusmini, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Clara Ng, Dinar Rahayu, Nova Riyanti dan Herlinaties. Seks yang semula tabu dibicarakan mengemuka dalam bentuk-bentuk sastra menjadi suatu hal yang biasa saja. Karya sastra tersebut di populerkan sebagai bagaian dari bentuk perjuangan sastra perempuan yang selama ini terpinggirkan. Walaupun toh cara demikian sah-sah saja, namun tidak mengedepankan etika.Jika terus memunculkan karya sastra yang telanjang dan vulgar, jelas berpengaruh meliarkan syahwat masyarakat dan tentu berdampak negatif.


Buku karya Aguk Irawan ini, merupakan sebuah kumpulan tulisan yang sudah lama mendekam di sebuah folder. Penulis kemudian, membumbuinya kembali dan dijadikan buku. Terlepas dari kekurangan buku ini, yakni masih sebatas tulisan reflektif. Sebagai buku kumpulan tulisan ini belum mencerminkan sebuah karya yang utuh. Akan lebih menarik, jika penulis menghadirkan pesan suci ini, yang diambil dari kitab suci semua agama. Kendati demikian, buku setebal 430 halaman ini amatlah penting. Ajakan menggugah kesadaran para sastrawan untuk tidak seenaknya sendiri dalam menciptakan sebuah karya sastra patut diapresiasi. 

 Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca Dharama, sastrawan seharusnya dapat mengambil posisi untuk juga berpesan meluaskan pemahaman manusia, karena dalam hal-hal tertentu ia juga menyimpan'kebenaran ' dalam isi dan bentuknya, sebagai penyeimbang, dan sebagai solusi alternatif acuan-acuan budaya modern yang terasa kian tak mencukupi.

Ahmad Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.