Dimuat Majalah Tebuireng
Judul: Gus Dur dan
Sepakbola: Kumpulan Kolom Gus Dur Tentang Sepakbola
Editor: Mustiko
Dwipoyono, dkk
Penerbit: Imtiyas
Surabaya
Tebal: viiii+183
halaman
ISBN: 97860276611172
Sepakbola
tak hanya sebuah permainan yang menampilkan skill dan tekhnik. Nilai-nilai
kehidupan termuat dalam dunia kulit bundar. Seperti, sportivitas, kepemimpinan,
berpikir cepat dan tepat, kerja tim, dan kerja keras. Sepakbola juga menjadi
ajang adu strategi dikalangan para pelatih sepakbola. Dunia politik yang sarat
dengan adu kecerdikan dan strategi juga masuk dalam dunia sepakbola.
Mutaakhir ini, praktek persepakbolaan dan perpolitikan
nasional yang di perankan oleh para pemainnya sudah jauh dari nilai-nilai
keluhuran. Betapa tidak! Dalam pertandingan liga Indonesia terjadi permainan
yang sangat aneh, sepakbola gajah. Dimana sebuah tim tidak mau saling
mengalahkan. Gol-gol yang diciptakan sengaja dijebloskan ke gawangnya
masing-masing. Tak pelak, dunia sepakbola Indonesia pun mendapat sorotan negatif
dari para pegiat sepakbola.
Selanjutnya,
dalam arena perpolitikan nasional juga tak kalah buruknya. Para politisi kita
banyak yang dalam bekerja kepada bangsa dan rakyat Indonesia diluar batas.
Mereka bekerja untuk kepentingan dan kemaslahatan individu dan partainya, dua
bulan pasca pelantikan ribut tidak jelas. Mereka tampil sangat individualis
atau cenderung demi kepentingan partainya. Selain mengecewakan konstituennya
juga menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Mereka menutup mata dan tidak
mau melihat dan memperhatikan kepertingan bersama. Wajar, jika banyak dari abdi
negara kita mendapatkan cemohon dan kritikan tajam. Mereka seolah juga tak mau
bercermin terhadap para pendahulunya yang terjerat beragam kasus.
Buku
ini, merupakan kumpulan tulisan analisis sepakbola guru bangsa kita, Gus Dur,
yang berserakan di media massa. Cetak semenjak tahun 1982-2000. Gus Dur yang
notabene merupakan tokoh terdepan dan sangat getol dalam memperjuangkan
demokrasi dan membela wong cilik. Tak disangka, seorang penggemar gila
sepakbola. Analisisnya mengenai kehidupan didalam kulit bundar sangat tajam.
Lantas, di tuliskan di sejumlah media masa. Bahkan, beliau juga mencerap
strategi di dunia sepakbola ke dunia perpolitikan nasional. “Sepak bola itu
seperti politik. Seperti politik, bola dimainkan dipanggung terbuka, di mana
masing-masing menunjukan kekuatan dan kehebatannya. Sepakbola itu per se
politik, karena juga memberikan simbol-simbol tentang siapa yang kuat dan
berkuasa.” (hal. 139)
Menurut Cak Nun, sosok Gus Dur dalam hal
apapun selalu menunjukan sebagai seorang playmaker, seorang jenderal dilapangan
tengah. Posisi yang sangat sentral, dimana Dialah yang mengatur, memainkan, dan
menjadi otak serangan. Bahkan, acapkali juga menjadi sebagai penjaga jantung
pertahanan. Jika bola sudah dalam kakinya ia bisa saja membuat lawannya dibuat
panik, akankah ia akan segera mengirimkan asist, menggocek kesana-kemari, atau
secara mengejutkan malah mencetak gol. Sulit di tebak. Dia hanya konsisten
dalam satu hal, yakni memperjuangkan perdamaian, dan mengakui pluralitas dalam
berbangsa.
Salah
satu analisisnya di buku ini, misalnya, pada perhelatan piala dunia 1986
kesebelasan Prancis harus mengakui keunggualan tim kesebelasan Jerman Barat
dalam semifinal, lewat adu penalti. Tidak adil, kesebelasan yang penampilannya
jauh lebih baik dan menggairahkan justru dikalahkan secara demikian. Sebuah pelajaran penting
dapat di tarik dari munculnya kecenderungan adu pinalti dalam persepakbolaan
dunia itu. Mengakui keunggulan lawan dalam pesta demokrasi seharusnya dilakukan
oleh yang kalah. Sportivitas dalam pertandingan semestinya di junjung tinggi.
Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan
dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut sebuah tim.
(halaman.105)
Pada
perhelatan pesta demokrasi 2014 lalu muncul fenomena yang sangat menjengkelkan
dari dunia perpolitikan kita. Dimana, telah memuculkan dendam yang mendalam
dikalangan para elit politik akibat kalah bertanding. Efeknya, persoalan ini
lantas menyeret ke pusaran perpecahan konflik internal di tubuh partai-partai
besar. Sportifitas dalam berpolitik yang kini mulai ditinggalkan. Menjadikan
rakyat marah besar kepada para politisi. Semestinya, jika siap bertanding juga
harus siap kalah. Kedewasan dalam berpolitik perlu dilakukan oleh seorang
politisi. Untuk menyehatkan sistem
demokrasi yang di junjungtinggi.
Jalur
politik merupakan sarana untuk menciptakan kehidupan yang penuh kemaslahatan.
Kerja sama antar eksekutif, yudiktaif, dan legislatif harus dilakukan dalam
membangun bangsa. Bukan malah menebarkan saling tidak percaya. Nah, disnilah
yang seharusnya dilakukan para politisi kita ketimbang menciptakan suasana yang
jauh dari kondusif, seperti perlawanan sana-sani yang dilakukan kubu Koalisi
Merah Putih. Sekedar memposting poto presiden di ruang dewan pun masih
keberatan. Ironisnya, para pemimpin partai mempeributkan urusan pragmatis
seperti rebutan kursi pimpinan yang jauh dari nilai-nilai kemaslahatan untuk
bangsa dan rakyat Indonesia.
Dalam
dunia demokrasi semuanya memiliki hak yang sama. Siapapun boleh maju menjadi
pemimpin. Jika mereka sudah siap bertanding dalam pesta demokrasi seharusnya
juga siap menerima kekalahan. Sebagai upaya penguatan demokratisasi di kehidupan
berbangsa. Perkembangan keadaan senantiasa harus dihadapi dengan sikap yang
dewasa, bukannya secara emosional. (halaman 12.)
Terpilihnya
Gus Dur sebagai Presiden RI Ke empat pada tahun 2009 yang lalu mengejutkan
banyak pihak. Shindunata, sahabat Gus Dur dalam buku ini mengungkapkan, bahwa
strategi sepakbola Gus Dur adalah Cattenacio ala Italia. Sebuah strategi dengan
gaya bertahan dan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secapat
mungkin menggebuk gawang lawan. Strategi tersebu digunakan saat Gus Dur
mengatasi lawan politiknya di DPR.Walaupun
toh, diakui kurang ampuh dalam melawan gempuran lawan politiknya, dan akhirnya
harus dilengserkan dari tapuk kekuasaan secara ilegal, sosok Gus Dur sudah
menunjukan kepada kita semua akan bermain secara sportif dan sesuai aturan.
Momentum bulan Desember 2014 ini, akan semarak diperingati khaul Gus Dur.
Kehadiran buku ini, menemukan relevansinya, yakni sebagai pengobat rasa rindu kita akan Gus Dur. Selamat membaca!
Oleh,
Ahmad Faozan, aktif di Sanggar Kepoedang, PP. Tebuireng, Jombang