Kamis, 11 Desember 2014

Gus Dur: Sang Playmaker Kehidupan


Dimuat Majalah Tebuireng
Judul: Gus Dur dan Sepakbola: Kumpulan Kolom Gus Dur Tentang Sepakbola
Editor: Mustiko Dwipoyono, dkk
Penerbit: Imtiyas Surabaya
Tebal: viiii+183 halaman
ISBN: 97860276611172


Sepakbola tak hanya sebuah permainan yang menampilkan skill dan tekhnik. Nilai-nilai kehidupan termuat dalam dunia kulit bundar. Seperti, sportivitas, kepemimpinan, berpikir cepat dan tepat, kerja tim, dan kerja keras. Sepakbola juga menjadi ajang adu strategi dikalangan para pelatih sepakbola. Dunia politik yang sarat dengan adu kecerdikan dan strategi juga masuk dalam dunia sepakbola.
 Mutaakhir ini, praktek persepakbolaan dan perpolitikan nasional yang di perankan oleh para pemainnya sudah jauh dari nilai-nilai keluhuran. Betapa tidak! Dalam pertandingan liga Indonesia terjadi permainan yang sangat aneh, sepakbola gajah. Dimana sebuah tim tidak mau saling mengalahkan. Gol-gol yang diciptakan sengaja dijebloskan ke gawangnya masing-masing. Tak pelak, dunia sepakbola Indonesia pun mendapat sorotan negatif dari para pegiat sepakbola.
Selanjutnya, dalam arena perpolitikan nasional juga tak kalah buruknya. Para politisi kita banyak yang dalam bekerja kepada bangsa dan rakyat Indonesia diluar batas. Mereka bekerja untuk kepentingan dan kemaslahatan individu dan partainya, dua bulan pasca pelantikan ribut tidak jelas. Mereka tampil sangat individualis atau cenderung demi kepentingan partainya. Selain mengecewakan konstituennya juga menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Mereka menutup mata dan tidak mau melihat dan memperhatikan kepertingan bersama. Wajar, jika banyak dari abdi negara kita mendapatkan cemohon dan kritikan tajam. Mereka seolah juga tak mau bercermin terhadap para pendahulunya yang terjerat beragam kasus.
Buku ini, merupakan kumpulan tulisan analisis sepakbola guru bangsa kita, Gus Dur, yang berserakan di media massa. Cetak semenjak tahun 1982-2000. Gus Dur yang notabene merupakan tokoh terdepan dan sangat getol dalam memperjuangkan demokrasi dan membela wong cilik. Tak disangka, seorang penggemar gila sepakbola. Analisisnya mengenai kehidupan didalam kulit bundar sangat tajam. Lantas, di tuliskan di sejumlah media masa. Bahkan, beliau juga mencerap strategi di dunia sepakbola ke dunia perpolitikan nasional. “Sepak bola itu seperti politik. Seperti politik, bola dimainkan dipanggung terbuka, di mana masing-masing menunjukan kekuatan dan kehebatannya. Sepakbola itu per se politik, karena juga memberikan simbol-simbol tentang siapa yang kuat dan berkuasa.” (hal. 139)

 Menurut Cak Nun, sosok Gus Dur dalam hal apapun selalu menunjukan sebagai seorang playmaker, seorang jenderal dilapangan tengah. Posisi yang sangat sentral, dimana Dialah yang mengatur, memainkan, dan menjadi otak serangan. Bahkan, acapkali juga menjadi sebagai penjaga jantung pertahanan. Jika bola sudah dalam kakinya ia bisa saja membuat lawannya dibuat panik, akankah ia akan segera mengirimkan asist, menggocek kesana-kemari, atau secara mengejutkan malah mencetak gol. Sulit di tebak. Dia hanya konsisten dalam satu hal, yakni memperjuangkan perdamaian, dan mengakui pluralitas dalam berbangsa.
Salah satu analisisnya di buku ini, misalnya, pada perhelatan piala dunia 1986 kesebelasan Prancis harus mengakui keunggualan tim kesebelasan Jerman Barat dalam semifinal, lewat adu penalti. Tidak adil, kesebelasan yang penampilannya jauh lebih baik dan menggairahkan justru dikalahkan  secara demikian. Sebuah pelajaran penting dapat di tarik dari munculnya kecenderungan adu pinalti dalam persepakbolaan dunia itu. Mengakui keunggulan lawan dalam pesta demokrasi seharusnya dilakukan oleh yang kalah. Sportivitas dalam pertandingan semestinya di junjung tinggi. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut sebuah tim. (halaman.105) 
Pada perhelatan pesta demokrasi 2014 lalu muncul fenomena yang sangat menjengkelkan dari dunia perpolitikan kita. Dimana, telah memuculkan dendam yang mendalam dikalangan para elit politik akibat kalah bertanding. Efeknya, persoalan ini lantas menyeret ke pusaran perpecahan konflik internal di tubuh partai-partai besar. Sportifitas dalam berpolitik yang kini mulai ditinggalkan. Menjadikan rakyat marah besar kepada para politisi. Semestinya, jika siap bertanding juga harus siap kalah. Kedewasan dalam berpolitik perlu dilakukan oleh seorang politisi. Untuk  menyehatkan sistem demokrasi yang di junjungtinggi. 
Jalur politik merupakan sarana untuk menciptakan kehidupan yang penuh kemaslahatan. Kerja sama antar eksekutif, yudiktaif, dan legislatif harus dilakukan dalam membangun bangsa. Bukan malah menebarkan saling tidak percaya. Nah, disnilah yang seharusnya dilakukan para politisi kita ketimbang menciptakan suasana yang jauh dari kondusif, seperti perlawanan sana-sani yang dilakukan kubu Koalisi Merah Putih. Sekedar memposting poto presiden di ruang dewan pun masih keberatan. Ironisnya, para pemimpin partai mempeributkan urusan pragmatis seperti rebutan kursi pimpinan yang jauh dari nilai-nilai kemaslahatan untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Dalam dunia demokrasi semuanya memiliki hak yang sama. Siapapun boleh maju menjadi pemimpin. Jika mereka sudah siap bertanding dalam pesta demokrasi seharusnya juga siap menerima kekalahan. Sebagai upaya penguatan demokratisasi di kehidupan berbangsa. Perkembangan keadaan senantiasa harus dihadapi dengan sikap yang dewasa, bukannya secara emosional. (halaman 12.)
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI Ke empat pada tahun 2009 yang lalu mengejutkan banyak pihak. Shindunata, sahabat Gus Dur dalam buku ini mengungkapkan, bahwa strategi sepakbola Gus Dur adalah Cattenacio ala Italia. Sebuah strategi dengan gaya bertahan dan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secapat mungkin menggebuk gawang lawan. Strategi tersebu digunakan saat Gus Dur mengatasi lawan politiknya di DPR.Walaupun toh, diakui kurang ampuh dalam melawan gempuran lawan politiknya, dan akhirnya harus dilengserkan dari tapuk kekuasaan secara ilegal, sosok Gus Dur sudah menunjukan kepada kita semua akan bermain secara sportif dan sesuai aturan.
 Momentum bulan Desember 2014 ini, akan semarak diperingati khaul Gus Dur. Kehadiran buku ini,  menemukan relevansinya, yakni sebagai pengobat rasa rindu kita akan Gus Dur. Selamat membaca!

Oleh, Ahmad Faozan, aktif di Sanggar Kepoedang, PP. Tebuireng, Jombang


Mengurai Kitab Fiqh Muhammadiyah

Dimuat Majalah Tebuireng edisi Nov-Desember 2014
Penulis           : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit         : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan          : I, Februari 2014
Tebal              : xxii + 310 halaman
ISBN               : 978-602-1306-01-1

Sudah sekian lama Muhammadiyah dan NU berjalan sesuai dengan kepentingan politisnya sendiri. Tak pelak, membuat keduanya acakali perang urat saraf. Misalnya, mengenai masalah penentuan Hari Raya Idul Adha, dll. Meskipun perbedaan merupakan suatu rahmat namun acapkali kurang dimaknai secara bijak, akhirnya nampak di permukaan umat Islam kelihatan tak kompak dan mudah diadu domba.
Sesungguhnya Muhammadiyah dan NU memiliki akar yang sama. Sejarahnya sama, satu saudara, pendirinya seperguruan, dan tunggal ilmu. Merebahnya aliran-aliran keagamaan dasawarsa ini yang menampilkan agama kolot, kaku, dan ekstrem seperti ISIS. Muhammadiyah dan NU memiliki pengikut paling banyak di Indonesia. Keduanya, tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa Indonesia.
Ali Shadiqin lewat buku bertajuk “Muhammadiyah Itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan” ini, mencoba membuka kembali akar sejarah fiqh Muhammadiyah. Yang notabene menjadi landasan kehidupan utama dalam beragama, bersosial, dan bernegara kaum Muhammadiyah pada periode awal. Lantas, mengapa pasca KH. Ahmad Dahlan tiada Muhammadiyah seolah meninggalkan Fiqh yang diajarkan ulama pesantren? Menurut penulis, sebenarnya Muhammadiyah memiliki dasar-dasar yang sama dengan ulama pesantren, NU dalam menjalani kehidupan beragama. Sebagaiamana, termaktub dalam kitab fiqh muhammadiyah 1924. Kitab yang ditertibkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta.
Kiai Dahlan yang notabene pendiri Muhammadiyah ini juga berpaham mahzab Syafi’i.. Beliau sendiri seperguruan dengan Pendiri NU, Hasyim Asy’ari. Keduanya merupakan keturunan Sunan Giri putera Maulana Ishak yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah. Keduanya sama-sama memegang kunci gerakan dakwah. Gerakan dakwah Ahmad Dahlan bertujuan mengajarkan Islam dan menghalaui kristenisasi yang didukung oleh kolonial Belanda. Saat itu, beliau dan warga Muhammadiyah mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan jum’ at dua kali, dan takbiran tiga kali. Mereka shalat id di masjid bukan di lapangan(halaman 14 ).
 Aktualisasi Fiqh
Dalam sejarah Muhammadiyah ada beberapa perubahan dalam berfiqh. Pertama, masa Syafii(1925-1967). Pada masa ini mahzab syafii masih menjadi pegangan. Kedua, masa pembaruan Syafii-wahabi(1925-1967). HPT(1967-1995); dan masa pembauran HPT- Globalisasi (1995-sekarang). Sejak berdiri 1912 hingga tahun 1967 mahzab syafi’i masih digunakan. Lewat Muktamar 1972 di Pekalongan mulai mengalami perubahan, shalat shubuh tak berqunut pada masa orde baru.
Selanjutnya, pada tahun 1972 Muhammadiyah merubah besar-besaran haluan fiqhnya. Tak pelak, Muhammadiyah pun lantas kehilangan ulama, namun berisikan kumpulan para cendekiawan. Salah satu perbedaan Muhammadiyah dengan NU di  masa awal-awal, yakni Kiai Ahmad Dahlan mau menerima cara-cara Belanda yang lebih bersih dan tertib, berupa ruang kelas dengan meja kursi dan papan tulis, serta organisasi berbadan hukum Belanda dan mengajarkan huruf latin yang disertai bahasa belanda sedangkan NU tidak.
Menurut pendiri Muhammadiyah, dasar beragama adalah beramal dengan memedomani Al Qur an dan As Sunnah kemudian disertai pengorbanan harta dan jiwa untuk ridha Allah. ” Dakwah kiai Ahmad Dahlan dalam memberantas tahayul, bid’ah, dan khufarat sama sebagaimana dilakukan ulama nusantara “(halaman 32). Tumbuhnya pergesekan antara Muhammadiyah dan NU dimulai sejak banyaknya kaum pembaharu yang masuk ke tubuh Muhammadiyah. Yang memunculkan pembahasan bab khilafiyah.
Perdebatan masalah khilafiyah yang notabene sudah ditutup sejak ratusan lalu dibuka kembali. Pihak-pihak yang merasa tersakiti oleh fatwa kemudian balik menentang dan berujung pada sikap saling menyalahkan. Padahal sedari awal para ulama pesantren sangat mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah. Pasca dipersalahkan dan dianggap kolot karena tak mau melepas dari mahzab dan khazanah keilmuan lama menimbulkan ketegangan. Siapakah yang diuntungan dalam hal ini?
Tentunya membangun kebersamaan kembali dalam hal ini penting dilakukan. Sehinga, semangat persatuan dan kesatuan sesama umat Islam amat kokoh. Bahkan, semangat kebersamaan ini juga dapat diimplemntasikan dalan tatanan yanag lebih luas, misalnya membangun bangsa. Sebagaiamana perjuangan para pendahulunya mereka dalam mengusir penjajah. Mengguggah kesadaran para elitnya menjadi penting untuk bersatu guna bersama-sama merancang masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena itu, aku akan senantiasa berdoa setiap saat sehingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Ilahi Rabi. Aku juga berdoa berkat dan keridhaan serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberi manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman “(halaman 28 ).
Ikhtiar penulis dalam membuka kembali fiqh lama Muhammadiyah patut sekiranya untuk dijadikan spirit dalam membangun kebersamaan. Jika perbedaan adalah rahmat, kenapa kita mudah emosi membela keegoisan dan arogansi masing-masing. Selamat membaca!
Ahmad Faozan

Mengurai Sejarah Tebuireng

Dilansir dari Tebuireng org.
Judul buku      : Profil Tebuireng
Penyusun        : A. Mubarak Yasin dan Fathurahman Karyadi
Tebal                : 242 halaman
Penerbit          : Pustaka Tebuireng
Harga             : RP. 160. 000

Perhatikan sejarahmu untuk hari esok”(Qs: Al- Hasyr ( 59) :18)
Sejak berdirinya pesantren Tebuireng pada 28 Rabiul Awal 1317 H( bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M) hingga sekarang ini telah mencetak ribuan ulama. Bahkan, santrinya juga tak hanya menjadi tokoh agamawan saja, namun juga dibidang lainnya. Ikut serta mengubah peradaban masyarakat berbasis santri. Kehadiran Pesantren ditengah-tengah masyarakat sempat mendapatkan respon kurang baik. Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat justru bangga akan kehadiran Pesantren Tebuireng.
Kesemua itu tidak terlepas dari kesungguhan, kegiggihan, dan perjuangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng dalam perkembangannya telah menjadi pusat pendidikan keagamaan dan politik yang menentang penjajah. Dari Pesantren Tebuirenglah lahir partai-partai besar Islam di Indonesia. Misalnya,  Nahdlatu Ulama( NU), Majelis Islam A’la Indonesia(MIAI), dan lasykar-lasykar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabililah. Menunjukan betapa Tebuireng memilih pengaruh cukup besar. Tidak hanya bagi masyarakat sekitar, namun juga bangsa Indonesia.
Merujuk data dari Pemerintah Jepang, tepatnya pada tahun 1942, jumlah santri dan ulama di Pulau Jawa sebanyak 25.000 orang. Kesemuanya pernah menyantri di Tebuireng. Menunjukan betapa Tebuireng  pada awal abad 20 yang di pimpin Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang besar. Diantara santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dikemudian hari menjadi ulama besar, pendiri, dan pengasuh pondok, misal, KH. Wahab Hasbullah(juga pernah menjadi lurah di Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Bisri Syansuri, Pendiri PP. Denayar, KH. Chudori, Pendiri PP. Tegalrejo, KH. Abdul Karim, Pendiri PP Lirboyo, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Maksum Ali, Pendiri Pesantren Seblak, KH. Adlan Ali, pendiri PP. Walisanga Cukir, dll.
Lewat buku “Profil Sejarah Tebuireng” ini, Mubarak Yasin, dan Fathurahman Karyadi, mencoba mengurai sejarah Pesantren Tebuireng. Dari mulai awal berdiri hingga masa sekarang ini. Pada masa awal keberadaan Pesantren Tebuireng kemudian dianggap menebar ancaman oleh pihak Belanda. Belanda pun kemudian memata-matai santri dan kiainya Tebuireng, dan menebar fitnah. Pada tahun 1913 lewat provokasi Belanda dengan cara menyusupkan pencuri akhirnya tewas ditangan santri. Peristiwa tersebut berbuntut panjang. Dimana Pondok Pesantren Tebuireng harus diluluhlantakan oleh Belanda. Banyak kitab yang dirampas dan dimusnahkan. Walaupun tak sampai memakan korban jiwa namun, hal ini sangat merugikan. Dari peristiwa ini Pesantren Tebuireng menjadi lebih dikenal. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pun bahu membahu membangunnya kembali.
Semula jumlah santri yang belajar ke Tebuireng hanya 28 orang. Pada tahun 1899, bertambah menjadi  200 orang pada tahun 1910, dan sepuluh tahun kemudian meningkat sekitar 2000 ribuan sastri. Para santrinya tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia melainkan juga Singapura dan Malaysia. Kebesaran Pesantren Tebuireng selalu melekat dengan pengasuh pertamanya, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau yang dikenal luas ilmunya atas kepakarannya dalam bidang hadis membuat nama Tebuireng semakin moncer dan banyak diminati. Guru Besar Tanah Jawa KH. Kholil Bangkalan pun mengakuinya dan ikut mengaji hadis kepada Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari  di Pesantren Tebuireng.
Pada akhir tahun 1920 jumlah santri mencapai seribu orang dan 1930 bertambah menjadi 2000 orang. Kala itu memecahkan rekor. Pasalnya belum ada pesantren yang memiliki santri sebanyak Pesantren Tebuireng. Model pembelajaran yang diadopsi oleh pesantren Tebuireng, yakni sistem sorogan dan bandongan. Kemudian ditambah dengan sistim musyawarah. Seiring berjalannya waktu kemudian sistim pendidikan tersebut mengalami perkembangan lagi dalam bentuk madrasah yang dikepalai langsung oleh KH. Maksum Ali, suami dari Nyai Khairiyah Hasyim. Madrasah tersebut dinamakan dengan Madrasah Salafiah Syafiiyah. Menyediakan dua kelas. pertama sifir awal dan sifir tsani. Serta sekolah persiapan selama lima tahun. Inovasi tersebut berjalan dengan baik.
Percontohan Pesantren
Setelah Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berhasil mempersiapkan putranya KH. A. Wahid Hasyim. Maka majulah KH. A. Wahid Hasyim melakukan perubahan akan sistem pondok. Beliau berduet dengan KH. M. Ilyas(dikemudian hari menjadi Menteri Agama) yang menggantikan kepala madrasah sebelumnya di pimpin KH. Masum Aly. Tebuireng pun kemudian beradaptasi dengan cepat dan tepat. Lewat pendirian Madrasah Nizamiyah menjadi sarana menumpahkan ide KH. A. Wahid Hasyim.
Setidaknya ada tiga strategi khusus yang diimplementasikan. Pertama, memperluas pengetahuan santri. Kedua, memasukan pengetahuan modern. Ketiga, meningkatkan pengajaran secara aktif. Dalam berupaya mendukung proyek besar tersebut. Pesantren Tebuireng mulai berlangganan sejumlah surat kabar, buku, dan majalah berbaga bahasa. Santri pun kemudian banyak mendapatkan kesempatan untuk menambah wawasan secara luas. Menjadi nilai tambahan yang tepat. Pasalanya jika santri hanya mendalami kitab fiqh saja misalnya akan ketinggalan dengan penetahuan dibidang pengetahuan lain.
Misalnya, filsafat, politik, agaria, sosiologi dll. Terlebih kehidupan modern menuntut seseorang memiliki pengetahuan luas tentunya akan keteteran jika tidak mampu menyeimbangkan. Ide yang progresif dari seorang KH. A. Wahid Hasyim kala itu. Berani  menerapkan sistem pondok pesantren yang sesuai dengan zamannya. Walaupun toh awalnya banyak mendapatkan penolakan karena dianggap tak sesuai berkat dukungan ayahdanya sistem tersebut dapat bejalan dengan baik.
 Bahkan  menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai representasi pondok pesantren yang mampu mengintregrasikan nilai budaya pesantren dengan budaya lain. Sehingga kader kader pesantren dapat tersalurkan dalam berbagai bidang. Artinya  alumnus pesantren Tebuireng tidak hanya menjadi kiai yang hanya lihai dalam masalah fiqh semata namun juga luas dalam berbagai pengetahuan. manakala negara membutuhkan Pesantren Tebuireng sudah mempersiakan. Tak sedikit, dari lembaga pesantren lain yang merujuk kepada Pesantren Tebuireng
Menjaga Spirit Perubahan
Pesantren Tebuireng sebagai pondok pesantren yang adaptif dan dinamis, dituntut untuk mampu mengaktualisasikan diri secara cepat dan tepat. Terlebih di era modern seperti sekarang ini, dimana lembaga pendidikan sudah menjamur. Jika lembaga pendidikan klasik seperti Pesantren Tebuireng tak mampu meningkatkan kualitas akan tertinggal dan mengalami kemunduran. Salahuddin Wahid, putra KH. Abdul Wahid Hasyim, sebagai generasi penerus Pengasuh Tebuireng berusaha memoles Tebuireng dengan lebi baik lagi. Misalnya, mendirikan Lembaga Penerbitan(Majalah, Pustaka, dan Website), Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng, LSPT, pengembangan kampus UNHASY, kesehatan, puskestren, lembaga Penelitian, PKPM, dll. Bahkan, kini Pesantren Tebuireng juga melebarkan sayapnya, yakni membuka cabang di sejumlah tempat seperti, Pesantren Sains Tebuireng II didaerah Jombok. Menunjukan bahwa Pesantren Tebuireng selalu adaptif dan dinamis.
Buku  ini penting untuk dibaca. Baik oleh santri dan alumni maupun masyarakat luas yang hendak mengetahui secara mendalam mengenai sejarah Pesantren Tebuireng. Selamat membaca!
Peresensi Ahmad Fao, Pengelola Sanggar Kepoedang, komunitas penulis muda Tebuireng.