Minggu, 16 Februari 2014

Potret Perebutan Ruang Kota di Surabaya


Judul buku      : Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an
Penulis               : Purnawan Basundoro
Tahun Terbit   : 2013
Penerbit            : Marjin Kiri
Tebal                    : 337 halaman
Harga                  : RP. 69.000
ISBN               : 978-979-1260-22-0



 Buku ini mencoba memotret persitiwa perebutan tata ruang kota  antara tahun 1900-1960. Kota Surabaya yang notabene salah satu kota terbesar di Indonesia sekaligus pernah menggeser Batavia, ibukota Hindia Belanda menjadi  bahan objek penelitian. Pada masa kolonial 1906 Surabaya digunakan untuk tiga kategori, yakni administratif,  yaitu keresidenan, kabubaten , dan distrik. Keresidenan Surabaya terletak di ujung Timur Surabaya, menghadap ke laut Jawa dan selat Madura. Sebelah barat berbatasan dengan keresidenan Kediri dan keresidenan Rembang, dan selatan berbatasan dengan Pasuruan. Keresidenan ini membawahi enam kabupaten, yakni Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Lamongan, dan Gresik.

Perlu diketahui bahwa konflik kepentingan mengenai tata ruang hampir terjadi di  kota-kota Besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya. Pengosongan  lahan dengan cara penggusuran rumah-rumah warga yang menempati tanah negara dan partekelir sudah sering dilakukan oleh Satpol PP namun hingga kini tak jua menyelesaikan permasalahan. Surabaya memiliki akar sejarah panjang mengenai persoalan tata ruang.  Sekumpulan manusia dari  mulai percampuran antara orang-orang Bumiputra(orang jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi, Ambon, Sasak, dll), para pendatang dari Eropa, Arab, Cina, dan Timur Asing menghuni kota Surabaya.  

Tentu saja, hingga kini jumlah penduduknya semakin berkembang pesat.  Pada tahun 1900 saja jumlah penduduk di Keresidenan Surabaya mencapai  2.360.909 orang. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu.  Tak pelak, ruang kota pun semakin padat dan tak tersisa. Tak sedikit diantara rakyat miskin harus bertempat tinggal di hunian yang bukan selayaknya. Penduduk yang tidak mendapatkan tempat di ruang privat akhirnya terdesak ke ruang publik.” Semestinya ruang publik di peruntukan untuk masyarakat yang bersifat temporer, akhirnya banyak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang bersifat permanen.”(hal. 199)

Lahirnya orang-orang miskin dan terbatasnya ruang kota menjadi problem baru yang rumit yang menyangkut ruang untuk hidup bagi mereka.  Konsep gagasan ruang kota yang di cetuskan oleh ahli sosial untuk mengklaim bidang-bidang tanah di perkotaan. Bagi mereka yang memiliki uang lebih dapat memperoleh tempat tinggal yang layak. Sebaliknya, bagi mereka yang miskin harus hidup dan tinggal tempat-tempat yang sejatinya bukan diperuntukan  untuk dibangun dan didirikan.  Misalnya,  kolong  jembatan, dan pinggiran kali. Bahkan juga kuburan. Ketika ruang kota menjadi amat mahal, berbagai hal tabu seperti kesakralan pemakaman menjadi rontok dengan sendirinya. Makam bisa menjadi ruang profan dan menjadi kawasan tinggal dan batu nisannya menjadi pondasi.

Masalah tersebut bermula sejak liberalisasi ekonomi mengejala di berbagai perkotaan. Liberalisasi ekonomi pasca di UU Agaria dan UU Gula pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan dan industri, memperluas administrasi sipil, dan mengakibatkan kenaikan cepat jumlah penduduk di perkotaan di Jawa.  Dalam kasus  perebutan ruang kota, Ramlan Surbakti membagi beberapa pola. Pertama, pemertintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan.

Kedua, pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakn menyerobot tanah miliki pemerintah kota. Ketiga, pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum. Keempat, warga dengan pengembang berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum di pemukiman. Persaingan untuk mendapatkan ruang kota melibatkan semua unsur utamanya mereka yang berkepentingan atas ruang tersebut. ”Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya terjadi karena kenaikan jumlah penduduk”(hal.15)

Selama tahun 1900-1960 an masyarakat Bumiputera di Surabaya melakukan perlawanan. Demi untuk mendapatkan tanah mereka.  Pertama, ketika para tuan tanah menghendaki para penghuni tanah partikelir meninggalkan tempat bermukim. Kedua, perlawanan dalam bentuk perluasan tempat tinggal secara merangkak dan perlahan. Jika pada masa kolonial negara berkolusi dengan kekuatan modala, maka pada awal kemerdekaan negara berperan sebagai pemain tunggal karena kekuatan modal belum bangkitt akibat keterputusan sejarah pada periode Jepang.   

Menurut Purnawan Basundoro, penulis buku ini, secara faktual bahwa perebutan ruang di kota Surabaya yang terjadi antara tahun 1900-1960 an dibagi menjadi dua macam. Pertama, periode bertahan(defensive period) bagi rakyat miskin. Yaitu peride yang berlangsung menjelang periode Jepang. Kedua periode menyerang(Offensive period) bagi rakyat miskin, yang dimulai sejak awal kemerdekaaan sampai 1960 an.  

Kajian sejarah ini, penting untuk dijadikan rujukan. Sekiranya, kedepan persoalan ini menjadi kajian yang serius bagi pemerintah kota. Sehingga, persoalaan tata ruang kota tidak kembali terjadi. Bukan mustahil, jika konflik-konflik di perkotaan yang disebabkan oleh perebutan ruang berpotensi untuk terus membesar, jika tidak ada upaya pencegahan yang lebih serius.

Diresensi Ahmad Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.



Minggu, 02 Februari 2014

Gus Dur sebagai Laboratorium Kemanusiaan

Judul Buku:Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita: Kenangan, Wawancara Imajiner dan Guyonan Gus Durian
Penulis: As Hikam
Penerbit: Yrama Widya
Cetakan:  2013
Tebal:  312halaman
Harga   : RP. 50.000
ISBN   : 978-602-277-117-3



Gus Dur merupakan salah satu diantara sekian guru bangsa yang tak pernah surut di perbincangkan. Bahkan, sekarang ini, beliau bak laboratorium kemanusiaan. Yang mengundang seseorang untuk meneliti dan menulisnya. Seorang tokoh yang memiliki banyak predikat seperti humaris dan humanis tak cukup hanya di teliti dan dibaca dari satu aspek semata. Kita semua yang sempat menjadi saksi sejarah hidup beliau mengetahui bahwa seluruh hidup Gus Dur didesikasikan untuk perjuangan kemanusiaan.

Sosoknya yang humoris dan bersahabat kepada siapa saja. Pengikutnya yang berbasis di masyarakat bawah sangat setia kepadanya. Sikap dan perlakuan Gus Dur yang baik menjadikannya dapat diterima oleh semua kalangan. Dari mulai agamawan, rakyat kecil, tekhnokrat, ilmuan, dan wartawan. Bahkan, pasca kepergiannya ke alam barzah orang yang datang berduyun-duyun mendoakannya tiada henti saban harinya. Menjadi sebuah bukti bahwa ia mendapatakan penghormatan yang tinggi utamanya bagi masyarakat bawah bukan?

 Buku ini, merupakan kisah kenangan hidup As Hikam bersama Gus Dur. As Hikam, seorang mitra kerja Gus Dur di rezim pemerintahannya, yakni menjadi Menristeknya. Menurutnya, Gus Dur berposisi tidak saja sebagai presiden semata, namun juga sebagai orangtua dan guru dalam kehidupannya. Diantara pengalaman yang berharga, misal kisah saat bercanda mengenai masalah izin penggunaan nama Gus Dur untuk menjadi nama institusi perguruan tinggi. Kala itu, ia duduk bersama Gus Dur, Ghofar, dan jamaah NU.  “Gus, nanti nama panjenengan boleh enggak untuk nama sekolah atau universitas?”

Jawab GD. Ah, nama saya paling untuk TK saja.. sembari tertawa”. Kenapa Gus,? Si orang ini bertanya lagi.”tanya aja ke pak Ghofar(Rahman) ini..Dia kan Ketua PP Maarif NU. Kata Gus Dur dengan senyam-senyum”. Hehehe..” kata pak Ghofar sebelum melanjutkan.  Kata Gus Dur, kalau nama universitas, itu sudah jadi milik Mbah Hasyim, makanya ada UNHAS(Universitas Hasyim Asy’ari), seperti yang di jombang itu. Kalau untuk SMA dan Aliyah sudah menjadi milik Kiyai Wahid Hasyim(makanya banyak SMA Wahid Hasyim), kalau SMP dan Tsanawiyah pakai nama Mbah Bisri atau Mualimat Wahab Hasbullah). 

Kalau pak Ud nanti wafat, paman GD dipakai untuk nama SD, kan GD kebagian TK, TK Abduramhan Wahid, hehehe.”(Semua orang tertawa ngakak). GD lalu menyambung, kasihan nama-nama beliau yang begitu besar kita pasang universitasnya ternyata Cuma untuk tombo pengen saja, alias UTP. Semestinya kalau membawa nama besar, harus mutunya sama besarnya.” NU Tidak penting menciptakan banyak sekolah atau universitas, selama belum menunjukan kualitas.  (hal. 29)

Bagi As Hikam, Gus Dur banyak mengajarkan dan mendorong supaya dirinya memiliki  pengalaman dan pengetahuan luas dalam kehidupan. Sebagaimana dukungannya, yakni keikutsertaannya mengikuti pelatihan yang dilakukan sahabatnya. Alkisah, pada suatu kesempatan, ia pernah mengikuti pelatihan di Ashram Ajarn Sulak Sivakarsa (tokoh LSM yang bergerak dalam masalah advokasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, kebebasan berpolitik dan perlindungan HAM, di Thailand) yang notabene juga seorang sahabat GD. Sebelum berangkat, ia menghadap GD untuk meminta izin terlebih dahulu. GD pun merestuinya, “datang saja kang biar kamu mendapatkan pengalaman dan pengetahuan”. Sesampainya di India, ia tinggal di Ashram Budhis selama 7 hari. 

Tempat kegiatan yang diselenggarakan penuh sederhana, dimana ia harus bermandikan air hujan yang ditampung dalam gentong dikamar mandi, dan makan nasi sayur(vegetarian), dan tidurnya penuh gangguan nyamuk selama seminggu. Merasa tak diberitahu sejak awal oleh GD bahwa kegiatan tersebut sangat menyusahkan para peserta, sempat memunculkan rasa kejengkelan di dalam diri Hikam. Walaupun begitu, ia segera sadar bahwa pelatihan tersebut penting baginya. Ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yakni konsep hidup sederhana. Hidup sederhana justeru menjadi senjata ampuh untuk melawan budaya konsumurisme.  “yang penting kamu lulus, karena tidak semua orang yang baru dan sudah lama tinggal di Barta, tahan tinggal di Ajran Sulak”(hal. 87)

Apresiasi patut kita haturkan kepada As Hikam, yang telah membagikan kisah bersama Gus Dur dalam bentuk buku. Dan tentu menjadi sesuatu yang berharga utamanya bagi GusDurian.  Buku setebal 312 halaman ini, menjadi sarana mengobati kerinduan kita akan Gus Dur. Semoga kita dapat meneladani dan memperjuangkan warisan agungnya. Baik dalam wilayah pemikiran maupun perjuangan sosialnya, membela kaum tertindas dan wong cilik.  Selamat Membaca!


Oleh Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis Muda Tebuireng, tinggal di Jombang, Jatim. 

Dari NU untuk NKRI

Judul buku      : Agama NU untuk NKRI
Penulis               : Ahmad Baso
Tahun Terbit   : 1 Oktober 2013
Penerbit            :  Putaka Afid Jakarta
Tebal                    : 325 halaman
Harga                  : 45.000




Nu merupakan salah satu organisasi keagamaan yang baru saja menginjak usia ke 80 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi keagamaan terbesar di tanah air bahkan se Asia Tenggara. Dalam panggung sejarah Indonesia, Jamiiyah Nahdlatul ulama(NU) juga tercatat memiliki sumbangsih besar bagi bangsa Indonesia. Didirikan oleh para ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah pada 31 Januari 1926. Lewat NU para ulama memainkan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  ideologi NU sangat diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Sebagai ormas keagamaan yang memiliki basis pendukung di masyarakat bawah kini sudah melebarkan sayap jaringan organiasasi di seluruh penjuru benua. Menunjukan betapa NU kini semakin luas dan berkembang.

Buku Agama NU untuk NKRI ini, mengugah kesadaran bersama akan pentingnya konsistensi NU dalam berperan membangun masa depan bangsa Indonesia. Ahmad Baso, intelektual muda NU dalam hal ini, tak henti-hentinya menggali khazanah NU. Ia menawarkan pemikirannya, dari mulai agama NU dan masa depan NKRI, NU di era penjajahan Ekonomi Baru, dan Dinamisasi ide-ide modern untuk kepentingan orang-orang desa. Sebuah gagasan yang penting untuk merefleksikan kembali semangat juang para pengurus dan jamaah NU.

NKRI yang kini sedang dijanggit pelbagai persoalan seperti penyakit korupsi, kemiskinan, penjarahan kekayaan alam oleh perusahaan asing, dll. Membutuhkan solusi ampuh untuk menanggulangi semua itu. Dan mengelorakan semangat berjuang dikalangan NU. Sebagaimana perjuangan yang telah dilakukan para faundhing fathers dahulu. Terbukti tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, Gus Dur, dan KH. Sahal Mahfud yang terklebih dahulu mengukir sejarah kesuksesan. Baik perjuangan lewat gerakan sosial, pemikiran, dan politik.

Mencuatnya aliran-aliran keagamaan di era kontemporer yang radikal dan fundamental sangat meresahkan kita semua. Nah, dalam konteks inilah peran NU amat dibutuhkan. Semestinya, masyarakat dapat hidup tenang dan damai. Semakin buruknya bangsa Indonesia juga ikut menjadi preseden buruk bagi citra NU. Pengurus NU harus dekat dan menyatu dengan masyarakatnya. Agar nantinya komunikasi soal-soal mereka hadapi dalam kehidupan di era penjajahan baru ekonomi bisa mudah disalurkan. (Hal. 49) 

Selain itu, NU juga memiliki kewajiban untuk terus mengawal NKRI dari berbagai ancaman kekuatan asing. Semakin masifnya perjuangan tokoh-tokoh NU menjadikan bangsa ini tersandera oleh negara-negara asing. Seperti dialami dari kalangan petani, yang di gempur habis-habisan oleh produk impor. Hasil buah-buahan, beras, kedelai, pun lantas membanjiri NKRI sekarang ini. Tak pelak, warga NU yang notabene dari kaum tani keteteran menghadapi kehidupannya. Padahal negara ini sangat subur dan melimpah kekayaan alamnya. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil hanya membuat bangsa ini istiqamah dalam penderitaan.

Aset-aset ekonomi strategis yang dimiliki NKRI telah dilepas ke pasar, lalu dimangsa pihak asing yang memiliki modal besar. Tak pelak, liberalisasi, swastanisasi, pencabutan subsid, hingga rezim neoliberal. Negara pun berlutut dibawah ketiak penguasa-penguasa ekonomi global seperti IMF. Sebagaimana penuturan Ahmad Baso dalam buku ini, bahwa di desa pesisir Gresik, basis peradaban Sunan Giri, seorang kepala desa menjual tepi lautan ke  investor asing. Demi untuk melancarkan investinya, ia mengajak kerja sama elit masyarakatnya.  Setelah kawasan itu di lego, barulah di urug tanah. Dan pihak investor pun sudah mengantongi surat resmi.

 Tak pelak, komunitas pesantren yang berada di situ pun terancam. Mengingat, tidak jauh dari wilayah tersebut sudah terdapat pengeboran minyak lepas pantai yang dikelola Amerika. Nah, inilah yang semestinya menggugah tokoh NU untuk berjuang menyelematakan bangsa  dan rakyat Indonesia dari orang-orang yang berkhianat terhadap NKRI.  KH. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur pernah mengingatkan, kalau kita sebagai bangsa jangan seperti anak kecil; baru dikasih permen saja oleh bangsa asing senangnya luar biasa; padahal mereka lebih banyak mengambil dari bumi kita.( hal. 61)

 Nampaknya, kegelisahan intelektual muda, Ahmad Baso, dapat dibaca sebagai sebuah refleksi akan komitmennya membela dan mengawal NKRI. Dalam karya terbarunya ini, juga mengkritik orang-orang yang ada berada dilingkaran NU untuk sadarkan diri. Orang NU tidak boleh berpuas diri akan perjuangan sosial. Sebagaimana dalam kaidah fiqh, agama ini dibangun atas dasar kemaslahatan dalam penetapan syariatnya dan untuik menolak kerusakan. Buku ini kaya akan sumber data, namun masih miskin pengembangan lebih mendalam. Sungguh pun demikian, penting untuk dibaca utamanya bagi para kader muda NU. 


Diresensi oleh Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.


Menguliti Tradisi Penghancuran Buku

Dimuat Media 02/02/2014 
http://www.rimanews.com/
Judul buku      : Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa
Penulis               : Fernando Baez
Tahun Terbit   : 1, September 2013
Penerbit            : Marjin Kiri
Tebal                    : 339 Halaman
Harga                  : RP 73.000
Issbn                    : 978-979-126024-4


Buku pertama kali muncul di daerah Sumeria,(Mesopotamia), Irak selatan. Hingga kini usiannya sudah mencapai 5.300 tahun. Buku memberikan sumbangsih besar bagi sejarah peradaban umat manusia. Meskipun demikian, kehadiran buku dalam perjalan umat manusia tak berjalan secara mulus. Banyak buku dimusnahkan dan dihanyutkan. Bahkan, kaum penghancur buku tidak saja dari kalangan tentara saja melainkan juga kaum intelektual, yang notabene melek pengetahuan.


Uniknya, penghancuran dan pemusnahan buku dalam sejarah manusia sudah berlangsung sepanjang abad. Penyebabnya tak pernah jelas terungkap. Bahkan, ancaman penghancuran buku masih akan terus berlangsung kedepan. Menunjukan, penghancuran buku telah menjadi ritual abadi bagi umat manusia. Lantas, sampai kapan hal ini terus dilestarikan. Mungkinkah, hal ini bisa dihentikan?


Buku  “Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa”, karya Fernando Baez ini, menguliti secara mendalam setiap peristiwa pembakaran buku. Mulai dari abad klasik hingga modern. Fernando Baez, merangkumnya dengan lengkap. Dari hasil rangkumannya, ia menemukan kesimpulan mengenai sejarah pembakaran buku, diantaranya semakin terpelajar suatu bangsa atau seseorang, semakin besar keinginannya untuk menyingkirkan buku-buku dibawah tekanan mito-mitos apokaliptis.(hal 17)


Dalam hal ini, ia membagibeberapa hal yang dapat dijumpai dalam konteks pembakaran buku. Pertama,zaman pergolakan(sebagaimana aksi pembakaran perpustakaan Baghdad pada abad 455 SM yang notabene berada dalam abad kebebasan dan posmodernisme). Kedua, penanda sebuah rezim baru. Ketiga,kebencian terhadap buku. Seperti halnya, di ujung Revolusi Perancis, dimana empat juta buku termasuk 25 ribu manuskrip dimusnahkan. Keempat, ulah para bibioklase modern dan penghancuran buku yang mendapat sponsor dari negara dalam situasi normal. Seseorang yang menghancurkan buku, berarti ia sedang membunuh rasionanya sendiri. Buku menjilid memori manusia. Setiap buku yang dihancurkan adalah paspor menuju neraka. (Hal. 8)


Hasil penelitian Arkeolog pada 1924 mengungkapkan, ada 100.000 ribu bangkai buku tua.Para penghancur buku adalah orang yang dogmatis, karena melekat padanya suatu pandangan dunia yang seragam, tak terbantahkan, bersifat autarkis, ada dengan sendirinya, serba tak cukup, tak terbatas, bebas dari batasan waktu, dan sederhana, yang tampil sebagai aktualitas murni dan abadi. (halaman 15) Dalam konteks Indonesia, aksi penghancuran dan penghangusan buku juga terjadi. Sebagaimana yang dilakukan salah satu penerbit terbesar di negeri ini,pada Juni 2012, melakukan aksi pembakaran secara sukarela.


Padahal semua mengetahui, pembakaran dilakukan atas tekanan ormas. Menegakan pengadilan bukumenjadi penting untukditegakan sebelum sebuah buku dianggap sesat dan tak senonok. Menegakan pengadilan buku merupakan langkah yang tepat untuk meminimalisir terjadinya aksi brutalisme.Nah, inilah yang nampaknya belum ditegakan. Dan menjadi tanggungjawab kaum intelektual dan penerbit. Menurut Fernando Baes, budaya menghacurkan buku menjangkit suatu kelompok atau setiap bangsa, manakala ingin menguasai kelompok atau bangsa lain.  Semakin terpelajar suatu bangsa atau seseorang semakin besar pula keinginannya untuk menyingkirkan buku-buku dibawah tekanan apokolatis.(hal. 17)


Pada 14 April 2003 sejuta buku di perpustakaan Nasional  Baghdad dibakar. Bahkan, arsip nasional juga ikut dibakar, lebih dari sepuluh juta entri dari zaman Utsmaniyah dan Republik tak ter sisa. Selanjutnya pembakaran di perpustakan-perpustakaan Baghdad, Awqaf, dan lainnya. Tentu saja, membuat kita merinding mendengarnya. Seolah buku menjadi makhluk Tuhan paling sial. Padahal karya seseorang yang berbentuk buku merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, suatu bentuk tanggungjawab seseorang yang berpendidikan.


Pada dasarnya aksi penghancuranbukusudah pasti menjadikan keterkaitan buku dengan produks intelektual dan kaum terpelajar termasuk sejarawan menjadi terputus. Semestinya, penulis maupun penerbit berhak untuk melakukan pembaruan, tanpa melakukan penghancuran total. Menurut penasehat UNESCO ini, aktor pembakar buku masuk kategori orang yang dogmatis. Mereka tak ingin berada dalam dunia yang beragaam, absolut, autarkis, terbatas, dll.


Buku setebal 373 halaman ini, menggugah kesadaran bersama mengenai masa depan peradaban manusia. Setidaknya, lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi, pasal 1 ayat I UU No.4 PNPS/1963 menjadi suatu langkah yang maju bagi bangsa Indonesia.  Membantu mencegah aksi-aksi kaum bibioklas secara brutal dan berkelanjutan. Pengadilan buku memang harus ditegakan.  Selamat membaca!

Peresensi Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, (Komunitas Penulis Muda Tebuireng) Jombang, Jatim

Sabtu, 01 Februari 2014

Sunan Abdurahman Wahid

Judul buku: Bukti Gus Dur Itu Wali: 99 Kesaksian Tak Terbantahkan dari Sahabat, Orang Terdekat, Kolega dan Keluarga
Penulis: Achmad Mukhafi Niam dan Syaifullah Amin
Tahun Terbit: 1 Oktober 2013
Penerbit:  renebook Jakarta
Tebal    :  halaman
Harga  : 45.000



Pada zaman Walisanga setiap wali memiliki teritorial sendiri. Sunan Giri hanya berdakwah di Gresik, Sunan Kudus di Kudus, Sunan Gunung Jati di Cirebon, dan seterusnya. Sedangkan Gus Dur mempunya pengaruhnya mencakup seluruh wilayah Nusantra, yang jangkauan wilayahnya berlipat-lipat dibandingkan walisanga. Banyaknya peziarah yang mengunjungi makam Gus Dur saban harinya menunjukan, betapa ia memiliki karamah. Meski sudah wafat, Gus Dur bahkan masih”menghidupi” orang yang masih hidup, yaitu mereka yang menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar makamnya tersebut, mulai dari sektor transportasi, penjual suvenir dan makanan. Demikian salah satu penuturan  Prof. Dr. Yudian Wahyudi, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, yang menilai bahwa Gus Dur itu wali kesepuluh. (hal.8)

Dalam Al-Qur'an disebutkan,“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”(QS. Yunus 10:62). Wali merupakan salah satu tokoh penyebar Islam Jawa maupun Nusantara. Mereka menjadi pemimpin sekaligus pembimbing masyarakat dalam menghadapi problem kemasyarakatan. Kedekatannya dengan Tuhan kemudian dianggap sebagai manusia suci. Dan pemeberi solusi kepada umat manusia.

Wali yang memiliki tugas menyebarkan pesan-pesan kebajikan dan mengajak manusia menuju jalan kebenaran yang diridhai Tuhan. Sebagaimana para Walisangsa dalam berdakwah, melalui akulturasi budaya Islam dan Jawa dapat di terima dengan baik. Bahkan, menjadi salah satu gerakan tersukses dalam berdakwah. Adakah sosok wali di era modern? Buku ini mencoba memberikan jawaban. Achmad Mukhafi Niam dan Syaifullah Amin, penulis buku ini menghadirkan 99 kisah tentang bukti kewalian Gus Dur. 

 Tercover dalam 9 bab, yakni Fenomena Kewalian Gus Dur, Komunikasi deangan Para Wali, Karamah Gus Dur, Weurh sak durunge winarah, Keistimewaan Gus Dur, Dekat dengan umat dan merakyat, Menjadi Presiden RI, Gus Dur dimata Keluarga, dan Dipuji dan dimusuhi. Salah satu tanda-tanda kewalian pada diri Gus Dur adalah sikap keberanianya dalam memperjuangkan kebenaran tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan manapun. Beliau tidak memiliki rasa takut dan susah.(halaman 3) 

Tradisi dan kepercayaan wali dikalangan warga Nahdliyin hingga sekarang ini masih mengakar kuat. Buku ini, menghadirkan bukti-bukti tanda kewalian Gus Dur. Yang disaksikan para sahabat, keluarga, orang terdekat, dan koleganya.  Said Aqil Siradj dalam buku ini, membagi wali menjadi beberapa tingkatan. Pertama, wali aqtab(penghulungny para wali). Merupakan tingkatan tertinggi dalam derajat kewalian. Jumlah wali aqtab ini pada setiap abad (100 tahun) hanya muncul satu. Kedua, wali aimmah(pemimpin para wali). Derajat kewaliannya hanya dicapai oleh dua orang dalam setiap abad.

 Ketiga, wali autad yang berarti pasak bumi. Wali ini diyakini sebagai penyeimbang bumi agar tidak mengalami keguncangan. Dan hanya deberikan kepada empat orang dalam setiap abadnya. Keempat, wali abdal(pengganti). Wali ini selalu ada yang menyandangnya setiap zaman. Kelima, rijalul ghaib. Derajat kewalian ini yang didapatkan oleh merek yang selalu khusuk beribadah dan halus budi pakertinya. Serta tidak banyak diketahui oleh masyarakat biasa. Mereka selalu bersikap rendah hati dan tidak mementingkan kesenangan duniawi. Adapun derajat kewalian dibagi menjadi dua bagian. Pertama waliyullah dan wali huquqillah.

Buku ini, menjadi sebuah pengukuhan akan kewalian Gus Dur dikalangan kaum nahdliyin. Sebagai penghormatan tertinggi dan kecintaannya kepada Gus Dur. Walaupun toh Gus Dur sendiri tidak membutuhkan berbagai macam predikat apapun. Mengingat, tanpa predikat Wali semua orang tetap akan mengenang jasa-jasanya semasa hidupnya. Mengingat perjuangan sosialnya yang ia berikan kepada sesamanya. Penting bagi kita semua untuk mengambil sari teladan dari seorang Gus Dur.


Diresensi oleh, Ahmad Fao, Pengelola Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.