Judul buku : Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin
Kota Surabaya 1900-1960an
Penulis :
Purnawan Basundoro
Tahun Terbit :
2013
Penerbit :
Marjin Kiri
Tebal :
337 halaman
Harga :
RP. 69.000
ISBN : 978-979-1260-22-0
Buku
ini mencoba memotret persitiwa perebutan tata ruang kota antara tahun 1900-1960. Kota Surabaya yang
notabene salah satu kota terbesar di Indonesia sekaligus pernah menggeser Batavia,
ibukota Hindia Belanda menjadi bahan objek penelitian. Pada masa kolonial 1906 Surabaya
digunakan untuk tiga kategori, yakni administratif, yaitu keresidenan, kabubaten , dan distrik.
Keresidenan Surabaya terletak di ujung Timur Surabaya, menghadap ke laut Jawa
dan selat Madura. Sebelah barat berbatasan dengan keresidenan Kediri dan
keresidenan Rembang, dan selatan berbatasan dengan Pasuruan. Keresidenan ini membawahi enam kabupaten, yakni Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang,
Lamongan, dan Gresik.
Perlu diketahui bahwa konflik kepentingan mengenai tata
ruang hampir terjadi di kota-kota Besar di Indonesia, seperti Jakarta
dan Surabaya. Pengosongan lahan dengan
cara penggusuran rumah-rumah warga yang menempati tanah negara dan partekelir
sudah sering dilakukan oleh Satpol PP namun hingga kini tak jua menyelesaikan permasalahan.
Surabaya memiliki akar sejarah panjang mengenai persoalan tata ruang. Sekumpulan manusia dari mulai percampuran antara orang-orang
Bumiputra(orang jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi, Ambon, Sasak, dll), para
pendatang dari Eropa, Arab, Cina, dan Timur Asing menghuni kota Surabaya.
Tentu saja, hingga kini jumlah
penduduknya semakin berkembang pesat. Pada tahun 1900 saja jumlah penduduk di
Keresidenan Surabaya mencapai 2.360.909
orang. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Tak pelak, ruang kota pun semakin padat dan
tak tersisa. Tak sedikit diantara rakyat miskin harus bertempat tinggal di
hunian yang bukan selayaknya. Penduduk yang tidak mendapatkan tempat di ruang
privat akhirnya terdesak ke ruang publik.” Semestinya ruang publik di
peruntukan untuk masyarakat yang bersifat temporer, akhirnya banyak digunakan
untuk kepentingan masyarakat yang bersifat permanen.”(hal. 199)
Lahirnya orang-orang miskin dan
terbatasnya ruang kota menjadi problem baru yang rumit yang menyangkut ruang
untuk hidup bagi mereka. Konsep gagasan
ruang kota yang di cetuskan oleh ahli sosial untuk mengklaim bidang-bidang
tanah di perkotaan. Bagi mereka yang memiliki uang lebih dapat memperoleh
tempat tinggal yang layak. Sebaliknya, bagi mereka yang miskin harus hidup dan
tinggal tempat-tempat yang sejatinya bukan diperuntukan untuk dibangun dan didirikan. Misalnya,
kolong jembatan, dan pinggiran
kali. Bahkan juga kuburan. Ketika ruang kota menjadi amat mahal, berbagai hal
tabu seperti kesakralan pemakaman menjadi rontok dengan sendirinya. Makam bisa
menjadi ruang profan dan menjadi kawasan tinggal dan batu nisannya menjadi
pondasi.
Masalah tersebut bermula sejak
liberalisasi ekonomi mengejala di berbagai perkotaan. Liberalisasi ekonomi
pasca di UU Agaria dan UU Gula pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan
dan industri, memperluas administrasi sipil, dan mengakibatkan kenaikan cepat
jumlah penduduk di perkotaan di Jawa. Dalam
kasus perebutan ruang kota, Ramlan
Surbakti membagi beberapa pola. Pertama, pemertintah kota dengan warga yang
timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan.
Kedua, pemerintah kota dengan
perusahaan swasta akibat tindakn menyerobot tanah miliki pemerintah kota.
Ketiga, pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum.
Keempat, warga dengan pengembang berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum di
pemukiman. Persaingan untuk mendapatkan ruang kota melibatkan semua unsur
utamanya mereka yang berkepentingan atas ruang tersebut. ”Penambahan
pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya terjadi karena kenaikan jumlah
penduduk”(hal.15)
Selama tahun 1900-1960 an masyarakat Bumiputera di Surabaya melakukan
perlawanan. Demi untuk mendapatkan tanah mereka. Pertama, ketika para tuan tanah menghendaki
para penghuni tanah partikelir meninggalkan tempat bermukim. Kedua, perlawanan
dalam bentuk perluasan tempat tinggal secara merangkak dan perlahan. Jika pada
masa kolonial negara berkolusi dengan kekuatan modala, maka pada awal
kemerdekaan negara berperan sebagai pemain tunggal karena kekuatan modal belum
bangkitt akibat keterputusan sejarah pada periode Jepang.
Menurut Purnawan Basundoro, penulis
buku ini, secara faktual bahwa perebutan ruang di kota Surabaya yang terjadi
antara tahun 1900-1960 an dibagi menjadi dua macam. Pertama, periode bertahan(defensive
period) bagi rakyat miskin. Yaitu peride yang berlangsung menjelang periode
Jepang. Kedua periode menyerang(Offensive period) bagi rakyat miskin, yang
dimulai sejak awal kemerdekaaan sampai 1960 an.
Kajian sejarah ini, penting untuk
dijadikan rujukan. Sekiranya, kedepan persoalan ini menjadi kajian yang serius
bagi pemerintah kota. Sehingga, persoalaan tata ruang kota tidak kembali
terjadi. Bukan mustahil, jika konflik-konflik di perkotaan yang disebabkan oleh
perebutan ruang berpotensi untuk terus membesar, jika tidak ada upaya
pencegahan yang lebih serius.
Diresensi
Ahmad Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng),
tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.