Wawasan, 09 Mei 2013
Judul Buku : Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Naoura Book
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : 213 Halaman
Harga :45.900
Salah satu tujuan hidup manusia
di dunia ini adalah meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Demi kebahagiaan,
seseorang rela berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Ironisnya, kebanyakan
orang saat ini mengukur kebahagiaan serba material. Seolah, tanpa harta,
kebahagiaan sulit terwujudkan. Sesungguhnya, penyebab manusia
modern yang acapkali galau dan cepat putus asa yakni, karena faktor krisis
spiritual.
Konon, krisis yang sedang melanda umat manusia saat ini karena sikap
menjauh diri dari nilai ajaran agama. Padahal, agama merupakan sumber pembuka
kebahagiaan bagi siapa saja. Dengan agama, manusia mampu mengendalikan nafsu
serba keduniaan.
William James, seorang filsuf
dan psikolog Amerika awal abad 20 pernah menuturkan dalam bukunya yang sangat
terkenal, Varieties of Relogion Experience, yakni, betapapun kehidupan
akan menarik manusia ke arah yang bertentangan (materialistik), dan betapapun
dikerumuni banyak orang, manusia tak akan pernah berbahagia sebelum ia
bersahabat dengan The Great Socius (Sang Kawan Agung) Tuhan. Artinya, manusia tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari Tuhan.
Buku bertajuk “Islam Risalah
Cinta dan Kebahagiaan” karya Haidar Bagir ini, menuntun pembaca untuk
menyelami ajaran tasawuf. Pasalnya, melalui ajaran tasawuflah sumber-sumber
kebahagian mudah diraih. “Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada
kesenjangan antara apa yang kita dambakan dan hasil, atau keadaan aktual kita”.
(hlm.13).
Sesungguhnya berawal dari sikap
kesedihan diri yang menjadikan seseorang mampu mengidentifikasi dan merasakan
kebahagiaan. Dengan begitu seseorang akan selalu tampil bersemangat dan
bergairah dalam menjalani segala hal yang ia cita-citakan dalam hidupnya.
Penting kiranya mengaktualkan dan merawat kebahagiaan dalam diri. Bukankah, Syaidina Ali, sahabat
Nabi Muhammad Saw pernah mengingatkan kepada kita bahwa, seseorang tidak akan
merasakan manisnya kebahagiaan (sa’adah), sebelum dia merasakan pahitnya
kesedihan (syaqawah)”.
Ironisnya,
saat ini banyak orang yang mengingkari fitrahnya sebagai manusia. Tak pelak,
jiwa dan pikiran seseorang menjadi kacau balau. Hidupnya pun menjadi semrawut.
Wajar, jika manusia selalu merasa tak bahagia, tak puas dan tak cukup dengan
apa yang telah diberikan Tuhan. Baik pemberian bersifat materi maupun non
materi. Bukankah, sejatinya manusia sudah bisa bernafas dan hidup sehat saja
dalam kehidupan sehari-hari sudah amat berharga nilainya.
Menurut CEO Penerbit Mizan ini,
ada tiga hal yang harus diperjuangkan seseorang untuk mencapai hidup yang penuh
bahagia. Pertama, bekerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja
yang kita dambakan dalam hidup ini. Meskipun dalam hal ini, terdapat kelemahan,
yakni tidak akan pernah mampu mewujudkannya.
Kedua, mengurangi atau menekan
kebutuhan. Dengan berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinya
kebutuhan kita menjadi kecil. Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian
rupa sehingga apapun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu disyukuri.
Membangun suasana batin yang di topang dengan sikap sabar dan rasa syukur yang
kokoh seperti ini akan mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi
menimbulkan kegelisahan dalam hidup. (hlm.14)
Pada dasarnya kebahagiaan tidak
sama dengan kumpulan kenikmatan, mengingat begitu banyak orang yang dalam kehidupannya
dipenuhi kenikmatan tetapi tidak merasa menikmati. Di tengah kondisi kehidupan
yang penuh hiruk pikuk seperti sekarang ini, di mana banyak orang bersikap
egois dan merasa paling hebat, belajar menaklukkan sikap egoisme dalam diri
sendiri terlebih dahulu menjadi sesuatu yang sangat penting. Bukankah sebagai
manusia, kita tak bisa hidup sendiri dan pasti senantiasa membutuhkan bantuan
orang lain. Bukankah, dengan membantu orang lain dapat membukakan pintu
kebahagiaan yang abadi bagi diri kita kelak?
Dengan menaklukan kekakuan dan
egoisme dalam diri, menjadikan seseorang kembali menyatu dengan Tuhan. Paling
tidak, seseorang akan dapat meraih kebahagiaan lahir batinnya sendiri. Belajar
mengurangi suplai bagi pengumbaran nafsu diri akan membantu seseorang
menaklukkan sikap keegoisan dalam diri. Sebab musuh utama dalam diri manusia
yang egois adalah berkorban dan memberi kepada orang lain.
Kehadiran buku setebal 213
halaman ini, membantu Anda merenungi lebih jauh tentang makna hidup dan
mengajak diri kita untuk rajin mengisi mensuplai spiritualitas. Selamat
membaca!
Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar