Senin, 22 Juli 2013

Panglima Domba Melawan Koruptor



Judul Buku: Teten Masduki: Panglima Domba Melawan Korupsi
 Penulis:   Ahmad Arif dan Ilham Khoiri
Penerbit: Naura Book
Tahun: 1, Februari 2013
Tebal: 384 halaman
Harga:RP. 50.000



Korupsi menjadi salah satu persoalan yang kompleks di negeri bernama Indonesia. Pasalnya korupsi banyak dilakukan dengan melibatkan banyak oknum. Jika tak sabar dalam memberantasnya aparat penegak hukum pun dapat bersikap pesimis. Meskipuan, sudah banyak koruptor yang tertangkap ada saja wajah-wajah baru yang mencuatnya. Tak heran, jika dari mulai pejabat tingkat paling rendah hingga tinggi terkuak kebrobokannya. Bahkan, pejabat dari aparat penegak hukum pun tak sedikit ikut berkorupsi. Begitu kronisnya penyakit korupsi.

Nah, inilah yang menggugah Teten Masduki, aktivis ICW untuk ikut berjuang menyelematkan negaranya dari kepungan koruptor. Menurutnya, walaupun sudah banyak kasus korupsi yang disampaikan, belum ditindak lanjuti secara hukum. Terpenting adalah gerakan sosial antikorupsi bisa lebih efektif dengan mengembankan sanksi sosial kepada koruptor. Pasalnya, yang paling ditakuti koruptor adalah dipermalukan.

Dalam buku, “Teten Masduki: Panglima Domba Melawan Korupsi” ini, menguraikan jejak kehidupan aktivis senior ICW. Pria yang awalnya bercita-cita menjadi guru ini, semasa studi di IKIP Bandung pernag mencicipi dunia aktivis pergerakan sebelum akhirnya menjadi aktivis sejati. Pada tahun 1980, ia bersama teman-temannya selain aktif berdiskusi gagasan kritis juga membangun jaringan intelektual antar mahasiswa di berbagai daerah seperti, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. 

Pasca menamatkan studinya, ikut kegiatan kelompok studi di LBH dan menjadi anggota. Dari keaktifannya di LBH menjadikan ia mengetahui dan memahami masalah hukum serta pemecahannya. Melalui LBH juga menjadi sarana untuk membela hak-hak rakyat yang sering terdholimi. Tentunya bertolak belakang dengan cita-citanya saat masuk bangku perkuliahan. Sungguhpun demikian, ia justeru menikmati perannya menjadi aktivis sosial. Setelah lama di LBH, ia bersama teman-temannya merintis lembaga anti korupsi (ICW). Lembaga antikorupsi ini bisa lebih efektif dengan mengembangkan sanksi sosial kepada koruptor.(halaman 214)

Bagi Teten, menjadi pejuang sosial merupakan jalan hidup yang tak gampang dan harus memiliki mental baja. Selain sering mendapati ancaman dari luar seperti teror dan dari dalam yakni masalah ekonomi. Wajar, jika ia tak menguatkan imannya, bisa mudah tersihir dengan harta yang melimpah. Betapa koruptor dapat membungkam siapa saja, baik dengan iming-iming mobil, rumah, maupun tumpukan uang. Tak jarang, sebagai aktifis anti korupsi, juga harus berpindah-pindah rumah. Ia dan keluarganya dipaksa siap menghadapi tekanan yang lebih besar.(halaman 231)

 Ditengah merebahnya para tangan-tangan jahil di negeri ini,  tak cukup hanya sekedar mengandalkan KPK sebagai salah satu institusi yang bergerak menegakan hukum. Mengingat, berkorupsi pun sistematis melibatkan banyak orang. Tak mengherankan, jika  antar pejabat negara yang diindikasikan korupsi 'bersama-sama' saling menutupi perbuatan buruknya serapih mungkin. Bahkan, para koruptor juga kerapkali menggoda aparat penegak hukum dengan segala kemewahan hidup, seperti, mobil, rumah, dan uang miliaran bahkan triliunan untuk mengehentikan penegakan hukum. 

 Korupsi yang konon sudah ada semenjak zaman kolonial, tak mungkin diberantas tanpa terbangunnya kesadaran masyarakat. Ironisnya, antar lembaga penegak hukum pun kerap bersitegang. Seharusnya, lembaga penegak hukum seperti kepolisan dan kejaksaan serius menegakan hukum. Penting sekiranya, membangun kebersaman dan penyadaran bersama. Rakyat kita 200 juta jiwa. Masa sih tidak bisa melawan pejabat korup yang mungkin jumlahnya hanya 6 juta.(halaman 206)

Gerakan sosial dalam menciptakan gerakan anti korupsi dengan menekankan sanksi sosial kepada koruptor memang sebuah keharusan. Salah satu andil besar dalam membangun opini publik yang cukup profokatif yang dilakukannya semasa di ICW yakni, ketika ia memberikan dukungan kepada KPK. Dimana, saat kasus cicak melawan buaya KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi dilemahkan oleh pimpinan lembaga kepolisian, Susno Duadji. Melalui artikel tulisannya di media masa berjudul”Cicak-cicak bersatulah.” Sontak, mampu menarik simpati publik, terbukti 1.000.000 Faceboker memberikan dukungan kepada pimpinan KPK Bibit Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. 

Selain sibuk dalam memperjuangkan anti korupsi, Teten, juga memiliki kegiatan diluar aktivitasnya sebagai pejuang sosial, yakni berternak domba. Dengan modal awal 75 juta, dia membangun kandang dan menarik 50 ekor indukan domba. Selain bersemangat mendiskusikan soal-soal anti korupsi, ia juga bersemangat berdiskusi soal domba. Tak pelak, panglima domba plus pejuang anti korupsi pun semakin populer melekat padanya. Pengabdiannya kepada bangsa dan rakyat Indoneisia tidak terhenti, dan puas ditengah jalan menjadi pejuang antikorupsi.

Buku setebal 384 halaman ini, mengajak kita mengenal lebih dekat sosok pejuang antikorupsi. Semangatnya dalam menggelorakan kebenaran dan membangun masyarakat yang sadar akan bahaya korupsi patut untuk dilanjutkan generasi muda bangsa ini. Tanpa adanya upaya menggerakan kesadaran bersama dalam memberantas korupsi tentunya akan semakin menyulitkan bangsa ini melepaskan diri lilitan penyakit korupsi.

Persensi Ahmad Faozan, pegiat pustaka Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar