Judul Buku:
Teten Masduki: Panglima Domba Melawan Korupsi
Penulis:
Ahmad Arif dan Ilham Khoiri
Penerbit: Naura
Book
Tahun: 1,
Februari 2013
Tebal: 384 halaman
Tebal: 384 halaman
Harga:RP. 50.000
Korupsi
menjadi salah satu persoalan yang kompleks di negeri bernama Indonesia. Pasalnya
korupsi banyak dilakukan dengan melibatkan banyak oknum. Jika tak sabar dalam memberantasnya aparat penegak hukum pun dapat bersikap pesimis. Meskipuan, sudah
banyak koruptor yang tertangkap ada saja wajah-wajah baru yang mencuatnya. Tak
heran, jika dari mulai pejabat tingkat paling rendah hingga tinggi terkuak
kebrobokannya. Bahkan, pejabat dari aparat penegak hukum pun tak sedikit ikut
berkorupsi. Begitu kronisnya penyakit korupsi.
Nah, inilah yang menggugah Teten
Masduki, aktivis ICW untuk ikut berjuang menyelematkan negaranya dari kepungan
koruptor. Menurutnya, walaupun sudah banyak kasus
korupsi yang disampaikan, belum ditindak lanjuti secara hukum. Terpenting
adalah gerakan sosial antikorupsi bisa lebih efektif dengan mengembankan sanksi
sosial kepada koruptor. Pasalnya, yang paling ditakuti koruptor adalah
dipermalukan.
Dalam buku, “Teten Masduki: Panglima Domba Melawan Korupsi” ini, menguraikan jejak kehidupan aktivis senior ICW. Pria yang awalnya bercita-cita menjadi guru ini, semasa studi
di IKIP Bandung pernag mencicipi dunia aktivis pergerakan sebelum akhirnya menjadi aktivis sejati.
Pada tahun 1980, ia bersama teman-temannya selain aktif berdiskusi gagasan
kritis juga membangun jaringan intelektual antar mahasiswa di berbagai daerah
seperti, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Pasca menamatkan
studinya, ikut kegiatan kelompok studi di LBH dan menjadi anggota. Dari
keaktifannya di LBH menjadikan ia mengetahui dan memahami masalah hukum serta
pemecahannya. Melalui LBH juga menjadi sarana untuk membela hak-hak rakyat yang
sering terdholimi. Tentunya bertolak belakang dengan cita-citanya saat masuk
bangku perkuliahan. Sungguhpun demikian, ia justeru menikmati perannya menjadi
aktivis sosial. Setelah lama di LBH, ia bersama teman-temannya merintis lembaga
anti korupsi (ICW). Lembaga antikorupsi
ini bisa lebih efektif dengan mengembangkan sanksi sosial kepada
koruptor.(halaman 214)
Bagi Teten, menjadi pejuang sosial merupakan jalan hidup yang
tak gampang dan harus memiliki mental baja. Selain sering mendapati ancaman dari luar seperti teror dan dari dalam yakni masalah ekonomi. Wajar, jika ia tak menguatkan
imannya, bisa mudah tersihir dengan harta yang melimpah. Betapa koruptor dapat
membungkam siapa saja, baik dengan iming-iming mobil, rumah, maupun
tumpukan uang. Tak jarang, sebagai aktifis anti korupsi, juga harus
berpindah-pindah rumah. Ia dan
keluarganya dipaksa siap menghadapi tekanan yang lebih besar.(halaman 231)
Ditengah merebahnya para tangan-tangan jahil di negeri ini, tak cukup hanya sekedar mengandalkan KPK sebagai salah satu
institusi yang bergerak menegakan hukum. Mengingat, berkorupsi pun sistematis melibatkan banyak orang. Tak mengherankan, jika
antar pejabat negara yang diindikasikan korupsi 'bersama-sama' saling menutupi perbuatan buruknya serapih
mungkin. Bahkan, para koruptor juga kerapkali menggoda aparat penegak hukum
dengan segala kemewahan hidup, seperti, mobil, rumah, dan uang miliaran bahkan
triliunan untuk mengehentikan penegakan hukum.
Korupsi yang konon sudah ada semenjak
zaman kolonial, tak mungkin diberantas tanpa terbangunnya kesadaran masyarakat.
Ironisnya, antar lembaga penegak hukum pun kerap bersitegang. Seharusnya,
lembaga penegak hukum seperti kepolisan dan kejaksaan serius menegakan hukum.
Penting sekiranya, membangun kebersaman dan penyadaran bersama. Rakyat kita 200
juta jiwa. Masa sih tidak bisa melawan pejabat korup yang mungkin jumlahnya
hanya 6 juta.(halaman 206)
Gerakan sosial dalam menciptakan gerakan anti korupsi dengan
menekankan sanksi sosial kepada koruptor memang sebuah keharusan. Salah satu andil besar dalam membangun opini
publik yang cukup profokatif yang dilakukannya semasa di ICW yakni, ketika ia memberikan
dukungan kepada KPK. Dimana, saat kasus cicak melawan buaya KPK sebagai lembaga
penegak hukum dalam memberantas korupsi dilemahkan oleh pimpinan lembaga
kepolisian, Susno Duadji. Melalui artikel
tulisannya di media masa berjudul”Cicak-cicak bersatulah.” Sontak, mampu
menarik simpati publik, terbukti 1.000.000 Faceboker memberikan dukungan kepada
pimpinan KPK Bibit Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Selain sibuk dalam
memperjuangkan anti korupsi, Teten, juga memiliki kegiatan diluar aktivitasnya
sebagai pejuang sosial, yakni berternak domba. Dengan modal awal 75 juta, dia membangun kandang dan menarik
50 ekor indukan domba. Selain bersemangat mendiskusikan soal-soal anti korupsi,
ia juga bersemangat berdiskusi soal domba. Tak pelak, panglima domba plus
pejuang anti korupsi pun semakin populer melekat padanya. Pengabdiannya kepada
bangsa dan rakyat Indoneisia tidak terhenti, dan puas ditengah jalan menjadi
pejuang antikorupsi.
Buku setebal 384 halaman ini, mengajak kita mengenal lebih
dekat sosok pejuang antikorupsi. Semangatnya dalam menggelorakan kebenaran dan
membangun masyarakat yang sadar akan bahaya korupsi patut untuk dilanjutkan
generasi muda bangsa ini. Tanpa adanya upaya menggerakan kesadaran bersama
dalam memberantas korupsi tentunya akan semakin menyulitkan bangsa ini
melepaskan diri lilitan penyakit korupsi.
Persensi Ahmad Faozan, pegiat pustaka Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar