Sabtu, 10 Mei 2014

Menziarahi Peradaban Tebuireng Tempo Doeloe

Dimuat Koran Duta Masyarakat 11 Mei 2014

Judul buku      : Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren  yang mengaklhiri era kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak
Penulis               : Masyamsul Huda
Tahun Terbit   : 1 Maret 2014
Penerbit            : Pustaka Inspira
Tebal                    : 267 halaman
Harga                  : RP. 50.000


 Novel  ini, mencoba menguraikan mengenai sejarah pra Tebuireng. Lewat hasil penelitiannya, Masyamsul, penulis mencoba menepis pemahaman lama mengenai asal usul Tebuireng yang sebelumnya diambil dari nama hewan kerbau yang masuk kubangan di perkebunan tebu, dimana didalamnya penuh lintah. Menurutnya, nama Kebo Ireng diadopsi dari simbol kebrobokan masyarakat. Yang ditinjau dari agama Islam kotor dan menjijikan. Pasalnya kebiasaan masyarakat Jahiliah, yakni, Mabok, Madon, Berjudi melekat kuat dikalangan masyarakat.

Surontanu seorang Kiai kampung dan santri-santrinya dari pesantren Sumoyono yang notabene wilayahnya berdekatan, tak bisa membiarkan segala kemaksiatan didaerah sekitar Pabrik. Sejak awal sudah aktif menolak pembangunan Pabrik. Semakin geram semenjak berdirinya pabarik gula dan wilayah sekitarnya diracuni hal-hal negatif.”Kerajaan Kebo Kicak telah merusak akidah dan mental masyarakat yang dampaknya semakin meluas.”(halaman 117) 

Joko Tulus mantan santri Surontanu yang semula santri juga jago silat memilih jalan sesat. Matanya dibutakan oleh kemewahan dan kesenangan duniawi. Akhirnya, masyarakat yang jijik melihat ulah bejatnya menjulukinya Kebo Kicak.  Ia dikendalikan oleh Wiro alias Joko Rumpun, seorang Dalang masyhur dan Joyo Rumpun. Sedangkan Sang Dalang sangat menuruti Sartini. Seorang penari terkenal. Karena acapkali membawa perempuan-perempuan muda yang dibawa dari berbagai daerah untuk dijual dilkoasi Kebo Ireng. 

Kebo Kicak, panggilan akrab Joko Tulus menjadi raja kecil di Kebo Ireng, amat tersohor dikalangan masyarakat. Ia tak pernah tersentuh oleh hukum Belanda. Ia direkrut oleh Belanda untuk menjadi kepala keamanan. Surantanu dan santri-santrinya merasa tertantang dengan ulah Joko Tulus dkk dikawasan Kebo Ireng. Perang antar pendekar silat pun ditabuh. Wilayah Kebo Ireng di grebeg oleh Surontanu dan santri-santrinya. Hukum. Dengan dalih melalukan tindak kekerasan, Pemerintah Belanda lantas menangkapi para santri pesantren Sumoyono. 

Sang Kiainya berhasil kabur begitupun Joko Tulus, alias Kebo Kicak melarikan diri melihat tak kuas dengan kesaktian Surontanu.  Kebo Kicak, Wiro, dan Joyo Rumpun yang sejak awal di cetak oleh pemerintah Belanda mampu menyingkirkan Surantanu dan santri-santrinya. Tak pelak, perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan terhenti ditengah jalan. Belanda pun lantas memenangkan strategi politiknya. Ketiadaanya penentang seperti Surantanu membuat Belanda mampu menanamkan berbagai macam aksinya. 

Masyarakat yang masih awam pun mengadopsi budaya luar yang jauh dari nilai-nilai Islami.  Nah, inilah yang kemudian menggugah Hasyim Asy’ari, dari Keras berdakwah, mengubah peradaban gelap, jauh dari pancaran sinar agama menuju peradaban religius. Nama Tebuireng yang dipilihnya merupakan sebuah nama yang tepat.  Tebu yang paling baik jenisnya adalah tebu ireng, batang tebu yang berwarna hitam. Dari tebu jenis yang paling baik inilah kita berharap dan atas izin Allah akan menghasilkan gula yang paling bermutu dan bernilai jual tinggi.

Beliau bekerja sama dengan masyarakat sekitar menjalankan tugas sesuai jobdisnya. ”kita harus sepakat, mempunyai pemikiran dan tindakan yang sama agar peradaban gelap disini diubah menjadi peradaban yang berlandaskan etika moral sesuai ajaran Al Qur’an dan Sunnah yang di contohkan Rasulullah”(halaman 145) Ia pun kemudian dibantu dengan warga masyarakat Cukir yang sama-sama memiliki misi dan visi sama, yakni menegakan amar maruf nahi munkarKang Muridan membantu mengurus masalah operasional pembangunan pesantren. 

Sedangkan Dulhadi urusan pengorganisasian ke luar. Muridan, Amir, Amin, dan Saridin menyiapkan segala kebutuhan pesantren. Syakiban  yang membantu menemukan lokasi yang akan digunakan mendirikan bangunan. Setelah siap semuanya, tepat pada 5 Agustus 1889 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren.  Strategi ‘mangan dan waras’ perlu digunakan untuk mengajak masyarakat ke jalan yang benar. Jika masalah ‘mangan dan waras’ sudah selesai masyarakat akan lebih mudah di didik dan diarahkan, seperti pemahaman agama. Tidak ada salahnya kita mencontoh metode yang baik. Yang penting bukan meniru akidahnya.(halaman 168)
Belanda pun semakin menaruh curiga kepada Hasyim Asy’ari, karena secara perlahan-lahan mampu menarik simpatik masyarakat luas. Berbagai cara dilakukan oleh Belanda termasuk ancama untuk membubarkan dakwahnya. Terbukti, ancaman tersebut sangat serius. Pasukan  Belanda mulai meneror, membakar pondok, dan menembaki siapa saja yang berusaha menghalangi. Meskipun berjuang dalam tekanan Belanda tak membuat Hasyim Asy’ari surut untuk berjuang tanpa kekerasan. Justeru membuatnya semakin disegani dan dikenal oleh kalangan luas. 

Menurut Hasyim Asy’ari, menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi dari padanya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan”. “Kita tidak boleh surut akibat kejadian ini”(halaman 265)

Buku setebal 167 halaman ini, menawarkan pemahaman yang berbeda mengenai sejarah asal usul Tebuireng. Lewat buku ini pula kita dapat belajar akan perjuangan Sang Pendiri NU yang telah sukses mengubah peradaban masyarakat gelap menuju masyarakat Religius berbasiskan santri hingga sekarang ini. Selamat membaca!


Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis Muda Tebuireng, tinggal di Jombang, Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar