Dimuat Koran Duta Masyarakat 11 Mei 2014
Judul
buku : Guru Sejati Hasyim Asy’ari:
Pendiri Pesantren yang mengaklhiri era
kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak
Penulis :
Masyamsul Huda
Tahun Terbit : 1
Maret 2014
Penerbit :
Pustaka Inspira
Tebal :
267 halaman
Harga :
RP. 50.000
Novel ini, mencoba menguraikan mengenai sejarah pra
Tebuireng. Lewat hasil penelitiannya, Masyamsul, penulis mencoba menepis
pemahaman lama mengenai asal usul Tebuireng yang sebelumnya diambil dari nama
hewan kerbau yang masuk kubangan di perkebunan tebu, dimana didalamnya penuh
lintah. Menurutnya, nama Kebo Ireng diadopsi dari simbol kebrobokan masyarakat.
Yang ditinjau dari agama Islam kotor dan menjijikan. Pasalnya kebiasaan masyarakat
Jahiliah, yakni, Mabok, Madon, Berjudi melekat kuat dikalangan
masyarakat.
Surontanu seorang Kiai kampung dan santri-santrinya dari
pesantren Sumoyono yang notabene wilayahnya berdekatan, tak bisa membiarkan
segala kemaksiatan didaerah sekitar Pabrik. Sejak awal sudah aktif menolak
pembangunan Pabrik. Semakin geram semenjak berdirinya pabarik gula dan wilayah
sekitarnya diracuni hal-hal negatif.”Kerajaan Kebo Kicak telah merusak akidah
dan mental masyarakat yang dampaknya semakin meluas.”(halaman 117)
Joko Tulus mantan santri Surontanu yang semula santri juga
jago silat memilih jalan sesat. Matanya dibutakan oleh kemewahan dan kesenangan
duniawi. Akhirnya, masyarakat yang jijik melihat ulah bejatnya menjulukinya
Kebo Kicak. Ia dikendalikan oleh Wiro
alias Joko Rumpun, seorang Dalang masyhur dan Joyo Rumpun. Sedangkan Sang
Dalang sangat menuruti Sartini. Seorang penari terkenal. Karena acapkali
membawa perempuan-perempuan muda yang dibawa dari berbagai daerah untuk dijual
dilkoasi Kebo Ireng.
Kebo Kicak, panggilan akrab Joko Tulus menjadi raja kecil
di Kebo Ireng, amat tersohor dikalangan masyarakat. Ia tak pernah tersentuh
oleh hukum Belanda. Ia direkrut oleh Belanda untuk menjadi kepala keamanan. Surantanu dan santri-santrinya merasa tertantang dengan ulah
Joko Tulus dkk dikawasan Kebo Ireng. Perang antar pendekar silat pun ditabuh.
Wilayah Kebo Ireng di grebeg oleh Surontanu dan santri-santrinya. Hukum.
Dengan dalih melalukan tindak kekerasan, Pemerintah Belanda lantas menangkapi
para santri pesantren Sumoyono.
Sang Kiainya berhasil kabur begitupun Joko
Tulus, alias Kebo Kicak melarikan diri melihat tak kuas dengan kesaktian
Surontanu. Kebo Kicak, Wiro, dan
Joyo Rumpun yang sejak awal di cetak oleh pemerintah Belanda mampu
menyingkirkan Surantanu dan santri-santrinya. Tak pelak, perjuangan menegakan
kebenaran dan keadilan terhenti ditengah jalan. Belanda pun lantas memenangkan
strategi politiknya. Ketiadaanya penentang seperti Surantanu membuat Belanda
mampu menanamkan berbagai macam aksinya.
Masyarakat yang masih awam pun
mengadopsi budaya luar yang jauh dari nilai-nilai Islami. Nah, inilah yang kemudian menggugah Hasyim Asy’ari, dari
Keras berdakwah, mengubah peradaban gelap, jauh dari pancaran sinar agama
menuju peradaban religius. Nama Tebuireng yang dipilihnya merupakan sebuah nama
yang tepat. Tebu yang paling baik jenisnya adalah
tebu ireng, batang tebu yang berwarna hitam. Dari tebu jenis yang paling baik
inilah kita berharap dan atas izin Allah akan menghasilkan gula yang paling
bermutu dan bernilai jual tinggi.
Beliau bekerja sama dengan masyarakat sekitar menjalankan
tugas sesuai jobdisnya. ”kita harus sepakat, mempunyai pemikiran dan tindakan
yang sama agar peradaban gelap disini diubah menjadi peradaban yang
berlandaskan etika moral sesuai ajaran Al Qur’an dan Sunnah yang di contohkan
Rasulullah”(halaman 145) Ia pun kemudian dibantu dengan warga masyarakat Cukir
yang sama-sama memiliki misi dan visi sama, yakni menegakan amar maruf nahi
munkar. Kang Muridan membantu mengurus masalah operasional
pembangunan pesantren.
Sedangkan Dulhadi urusan pengorganisasian ke luar.
Muridan, Amir, Amin, dan Saridin menyiapkan segala kebutuhan pesantren.
Syakiban yang membantu menemukan lokasi
yang akan digunakan mendirikan bangunan. Setelah siap semuanya, tepat pada 5 Agustus 1889 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren. Strategi ‘mangan dan waras’ perlu
digunakan untuk mengajak masyarakat ke jalan yang benar. Jika masalah ‘mangan
dan waras’ sudah selesai masyarakat akan lebih mudah di didik dan diarahkan,
seperti pemahaman agama. Tidak ada salahnya kita mencontoh metode yang baik.
Yang penting bukan meniru akidahnya.(halaman 168)
Belanda pun semakin menaruh curiga kepada Hasyim Asy’ari, karena
secara perlahan-lahan mampu menarik simpatik masyarakat luas. Berbagai cara
dilakukan oleh Belanda termasuk ancama untuk membubarkan dakwahnya. Terbukti,
ancaman tersebut sangat serius. Pasukan
Belanda mulai meneror, membakar pondok, dan menembaki siapa saja yang
berusaha menghalangi. Meskipun berjuang dalam tekanan Belanda tak membuat
Hasyim Asy’ari surut untuk berjuang tanpa kekerasan. Justeru membuatnya semakin
disegani dan dikenal oleh kalangan luas.
Menurut Hasyim Asy’ari, menyiarkan
agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang
akan diperbaiki lagi dari padanya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan
memberikan pengorbanan”. “Kita tidak boleh surut akibat kejadian ini”(halaman 265)
Buku setebal 167 halaman ini, menawarkan pemahaman yang
berbeda mengenai sejarah asal usul Tebuireng. Lewat buku ini pula kita dapat
belajar akan perjuangan Sang Pendiri NU yang telah sukses mengubah peradaban
masyarakat gelap menuju masyarakat Religius berbasiskan santri hingga sekarang
ini. Selamat membaca!
Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis
Muda Tebuireng, tinggal di Jombang, Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar