Judul Buku: Kekerasan
Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui
Sastra dan Film
Penulis: Wijaya Herlambang
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: 1 November 2013
Tebal:
xii+ 334 halaman
Harga: Rp. 70.00
ISBAN: 978-979126026-8
Semasa Orde
Baru menguasai panggung sejarah Indonesia. Beragam cara dilakukan guna
melanggengkan kekuasaan. Tidak hanya itu, berbagai propaganda guna memanipulasi
suatu kebenaran. Baik melalui jalur politik maupun kebudayaan. Diantara agen
kebudayaan yang paling kental dengan selera Orde Baru, yakni pembuatan Film
G30S/PKI. Yang digunakan sebagai senjata paling ampuh untuk mengelabuhi rakyat
Indonesia.
Lewat film
tersebut kesucian dari nilai kebudayaan sangat ternodai. Pasalnya mengaburkan
nilai-nilai kebenaran. Dalam film tersebut hanya melukiskan Soeharto sebagai
tokoh terpenting dalam proses berdirinya bangsa Indonesia semasa Revolusi.
Mengutip Graeme Turner, bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni
melainkan sebagai medium praktik sosial dimana ideologi dan praktik kebudyaan
beriteraksi..
Pemerintah
Orde Baru dan para agen kebudayaan, termasuk para penulis liberal pro-Barat,
memperluas upaya dan sumber-sumber kekuatan mereka untuk meligitimasi
pembangunan rezim fasis-kapitalistik diatas darah kaum komunis. Melalui
produk-produk budaya seperti ideologi negara(pancasila), museum, monumen,
hari-hari peringatan, penataran, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan
karya sastra, muatan ideologis narasi utama di transformasikan ke dalam
bentuk-bentuk seni.
Terbukti,
jurus tersebut sangat jitu untuk menebarkan kebencian terhadap ideologi
komunisme di kalangan masyarakat Indonesia hingga sekarang. Ideologi dan
produksi kebudayaan, di masa sebelum maupun selama Orde Baru, telah
berkontribusi besar dalam membentuk pandangan umum seluruh lapisan masyarakat
Indonesia bahwa PKI, komunisme, dan praktik kebudayaan kiri seperti pendekatan
yang dilakukan oleh Lekra adalah entitas iblis.
Dalam buku
ini, Wijaya Herlambang, menguak agen-agen kebudayaan yang di ciptakan
pemerintah Orde Baru. Misalnya, klaim kebenaran dalam Film dan novel
penghianatan G30S PKI merupakan dokumen sosial yang dianggap kebenaran faktual
dengan dalih sebuah upaya kreatif. Kemudian melalui berbagai program pemerintah
seperti kurikulum pendidikan dan penatar Pancasila dan antikomunisme dijadikan
landasan penting untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
Pada saat yang sama, praktik kebudayaan juga telah dibentuk dalam kerangka
ideologis ini dimana gagasan kiri, yang menonjolkan komitmen politik di dalam
berkesenian, di tolak.
Pada masa
puncak ketegangan perang dingin 1950an dan 1960, kekuatan-kekuatan politik dan
kebudayaan pro-Barat, dengan dukungan pemerintah AS, berupaya menciptakan medan
pertempuran ideologis untuk menantang laju komunisme di Indonesia. Demi meraih
simpatik pemerintah Indonesia, pemerintah AS bersikap bermurah hati. Misalnya,
bantuan militer dan ekonomi, memperluas pengaruhnya dengan membantu aktivitas
pendidikan’ antara Tahun 1951-1955 saja, sekitar 900 mahasiswa Indonesia dari
berbagai disiplin menerima beasiswa pelatihan tekhnik di As’ dan kebudayaan
melalui institusi-institusi filantropi dan kebudayaan untuk membangun aliansi
antikomunisme dikalangan intelektual Indonesia.
Buku ini
semakin menarik, karena mampu membongkar misi politik dalam bungkusan
kebudayaan. Dimana, pemerintah AS berhasil menyusup melalui institusi-instusi
kebudayaan, filantrofi, dan pemerintahannya seperti CIA, yang sangat berperan
dalam menginfiltrasi dan membentuk perkembangan politik dan kebudayaan di
Indonesia sejak masa Revolusi 1945 hingga berdirinya Orde Baru menyusul
penghancuran PKI1965-1966.” Penggunaan produk-produk kebudayaan sebagai
instrumen propaganda, secara khusu terlihat pada masa pembentukan ideologi anti
komunis baik di dalam domain kebudayan yaitu sendiri maupun di dalam politik,
baik sebelum maupun sesudah 1965 terjadi”.(hal.45)
Pembentukan
ideologi kebudayaan anti-komunis yang secara bersamaan dengan bangkitnya rezim
orde baru pada 1965-1966, memainkan peranan besar dalam mendukung pandangan
pemerintah terhadap komunisme. Situasi dan kondisi saat itu, dimana kebangkitan
kekuataan nasionalis dan komunis di Asia pada akhir perang Dunia II telah
memaksa AS untuk bersiaga memperluas pengaruhnya di negara-negara Asia termasuk
Indonesia. Sukarno presiden pertama Indonesia yang kian dekat dengan blok
komunisme membuat negara-negara Barat seperti AS geram dan sinis.
Dalam hal
ini, setidaknya ada dua misi pemerintah AS di Indonesia. Pertama, kesadaran
pemerintah AS tentang masalah kekayaan Indonesia yang berpengaruh pada
kepentingannya(misalnya Indonesia saat itu berpotensi memproduksi 20 miliar
barel minyak). Kedua, kewaspadaan pemerintah AS akan bangkitnya PKI sejak 1950
partai komunis terbesar di Asia di luar Cina.
Pendeklrasian
Manifest Kebudayaan pada Tahun 1963 merupakan bentuk nyata dari aktivis liberal
yang melakukan perlawanan secara langsung terhadap kebudayaan kiri. Para
penulis dan seniman anti komunis seperti H.B Jasin, Wiratmo Soekito, Goenawan
Muhammad, Arif Budiman, dan Taufik Ismai secara tegas membela keyakinan mereka
menentang anti komunis. Mereka memetik
inspirasi dari ide-ide CCF tentang kebebasan intelektual dan artistik yang
secara efektif menyentuh titik saraf doktrin kiri:politik sebagai pangllima.
Menurutnya, kebudayaan hanya ada di dalam kebebasan. Merujuk kepada Deklrasi
CCF “Manifestaso of Intellectual Liberty”, bahwa “Kami..berpendirian bahwa
tidak ada ras, bangsa, kelas atau agama yang dapat mengklaim sebagai
satu-satunya yang berhak untuk mewakili gagasan kebebsan, tidak juga berhak
untuk menafikan kebebasan kelompok lain atau kredo atas nama cita-cita yang
paling agung atau tujuan tertinggi.”(hal85)
Kampanye
kebudayaan ini merupakan bagian dari agresi simbolik yang digunakan untuk
menyerang, bukan terhadap bentuk fisik dari produksi kebudayaan kiri, namun
terhadap pengertian atas ide-ide dibelakang pendekatan kebudayaan kiri yang
dianggap oleh lawan-lawannya sebagai bahaya untuk kehidupan kebudyaan secara
demokratis. Pada titik inlah gagasan kebebesan berekspresi menjadi konsep
mujarab untuk melawan kecenderungan totalirianisme pemerintahan Soekarno dan
partai pendukunganya, yakni partai PKI(dengan LEKRA sebagai sayap kebudyaan)
dan PNI(dengan LKN sebagai sayap kebudayaan). Ideologi tersebut digunakan
sebagai slogan dan rumusan untuk menghujat, menghantam, menjatuhkan, ide-ide
kebudayaan kiri, dengan berpihak kepada ide-ide Barat tentang liberalisme dan
demokrasi.
Buku
setebal 334 halaman ini membantu kita memotretmengenai pembangunan politik dan
kebudayaan, baik sebelum maupun setelah peristiwa 30 September 1965 yang
menunjukan bahwa hal itu merupakan hasil pergulatan panjang di era Perang
Dingin. Elemen-elemen sayap kanan seperti kaum intelektual, politisi, ekonom
dan angkatan Darat pro-Barat melakukan konsolidasi dan agresi politik serta
kebudayaan, politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, para intelektual
Indonesia pro-Barat telah memanipulasi gagasa”kebebasan berekspresi”
dan”demokrasi” dengan cara mencitrakan komunisme sebagai gerakan politik dan
kebudayaan upaling berbahaya yang mengancam demokrasi.
Diresensi
Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng),
tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar