Sabtu, 10 Mei 2014

Potret Kekerasan Budaya Pasca 1965

Judul Buku: Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film
Penulis: Wijaya Herlambang
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: 1 November 2013
Tebal: xii+ 334 halaman
Harga: Rp. 70.00
ISBAN: 978-979126026-8



Semasa Orde Baru menguasai panggung sejarah Indonesia. Beragam cara dilakukan guna melanggengkan kekuasaan. Tidak hanya itu, berbagai propaganda guna memanipulasi suatu kebenaran. Baik melalui jalur politik maupun kebudayaan. Diantara agen kebudayaan yang paling kental dengan selera Orde Baru, yakni pembuatan Film G30S/PKI. Yang digunakan sebagai senjata paling ampuh untuk mengelabuhi rakyat Indonesia.

Lewat film tersebut kesucian dari nilai kebudayaan sangat ternodai. Pasalnya mengaburkan nilai-nilai kebenaran. Dalam film tersebut hanya melukiskan Soeharto sebagai tokoh terpenting dalam proses berdirinya bangsa Indonesia semasa Revolusi. Mengutip Graeme Turner, bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni melainkan sebagai medium praktik sosial dimana ideologi dan praktik kebudyaan beriteraksi..

Pemerintah Orde Baru dan para agen kebudayaan, termasuk para penulis liberal pro-Barat, memperluas upaya dan sumber-sumber kekuatan mereka untuk meligitimasi pembangunan rezim fasis-kapitalistik diatas darah kaum komunis. Melalui produk-produk budaya seperti ideologi negara(pancasila), museum, monumen, hari-hari peringatan, penataran, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan karya sastra, muatan ideologis narasi utama di transformasikan ke dalam bentuk-bentuk seni.

Terbukti, jurus tersebut sangat jitu untuk menebarkan kebencian terhadap ideologi komunisme di kalangan masyarakat Indonesia hingga sekarang. Ideologi dan produksi kebudayaan, di masa sebelum maupun selama Orde Baru, telah berkontribusi besar dalam membentuk pandangan umum seluruh lapisan masyarakat Indonesia bahwa PKI, komunisme, dan praktik kebudayaan kiri seperti pendekatan yang dilakukan oleh Lekra adalah entitas iblis.

Dalam buku ini, Wijaya Herlambang, menguak agen-agen kebudayaan yang di ciptakan pemerintah Orde Baru. Misalnya, klaim kebenaran dalam Film dan novel penghianatan G30S PKI merupakan dokumen sosial yang dianggap kebenaran faktual dengan dalih sebuah upaya kreatif. Kemudian melalui berbagai program pemerintah seperti kurikulum pendidikan dan penatar Pancasila dan antikomunisme dijadikan landasan penting untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Pada saat yang sama, praktik kebudayaan juga telah dibentuk dalam kerangka ideologis ini dimana gagasan kiri, yang menonjolkan komitmen politik di dalam berkesenian, di tolak.

Pada masa puncak ketegangan perang dingin 1950an dan 1960, kekuatan-kekuatan politik dan kebudayaan pro-Barat, dengan dukungan pemerintah AS, berupaya menciptakan medan pertempuran ideologis untuk menantang laju komunisme di Indonesia. Demi meraih simpatik pemerintah Indonesia, pemerintah AS bersikap bermurah hati. Misalnya, bantuan militer dan ekonomi, memperluas pengaruhnya dengan membantu aktivitas pendidikan’ antara Tahun 1951-1955 saja, sekitar 900 mahasiswa Indonesia dari berbagai disiplin menerima beasiswa pelatihan tekhnik di As’ dan kebudayaan melalui institusi-institusi filantropi dan kebudayaan untuk membangun aliansi antikomunisme dikalangan intelektual Indonesia. 

Buku ini semakin menarik, karena mampu membongkar misi politik dalam bungkusan kebudayaan. Dimana, pemerintah AS berhasil menyusup melalui institusi-instusi kebudayaan, filantrofi, dan pemerintahannya seperti CIA, yang sangat berperan dalam menginfiltrasi dan membentuk perkembangan politik dan kebudayaan di Indonesia sejak masa Revolusi 1945 hingga berdirinya Orde Baru menyusul penghancuran PKI1965-1966.” Penggunaan produk-produk kebudayaan sebagai instrumen propaganda, secara khusu terlihat pada masa pembentukan ideologi anti komunis baik di dalam domain kebudayan yaitu sendiri maupun di dalam politik, baik sebelum maupun sesudah 1965 terjadi”.(hal.45)

Pembentukan ideologi kebudayaan anti-komunis yang secara bersamaan dengan bangkitnya rezim orde baru pada 1965-1966, memainkan peranan besar dalam mendukung pandangan pemerintah terhadap komunisme. Situasi dan kondisi saat itu, dimana kebangkitan kekuataan nasionalis dan komunis di Asia pada akhir perang Dunia II telah memaksa AS untuk bersiaga memperluas pengaruhnya di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Sukarno presiden pertama Indonesia yang kian dekat dengan blok komunisme membuat negara-negara Barat seperti AS geram dan sinis.

Dalam hal ini, setidaknya ada dua misi pemerintah AS di Indonesia. Pertama, kesadaran pemerintah AS tentang masalah kekayaan Indonesia yang berpengaruh pada kepentingannya(misalnya Indonesia saat itu berpotensi memproduksi 20 miliar barel minyak). Kedua, kewaspadaan pemerintah AS akan bangkitnya PKI sejak 1950 partai komunis terbesar di Asia di luar Cina.

 Liberalisme Kebudayaan

Pendeklrasian Manifest Kebudayaan pada Tahun 1963 merupakan bentuk nyata dari aktivis liberal yang melakukan perlawanan secara langsung terhadap kebudayaan kiri. Para penulis dan seniman anti komunis seperti H.B Jasin, Wiratmo Soekito, Goenawan Muhammad, Arif Budiman, dan Taufik Ismai secara tegas membela keyakinan mereka menentang anti komunis.   Mereka memetik inspirasi dari ide-ide CCF tentang kebebasan intelektual dan artistik yang secara efektif menyentuh titik saraf doktrin kiri:politik sebagai pangllima. Menurutnya, kebudayaan hanya ada di dalam kebebasan. Merujuk kepada Deklrasi CCF “Manifestaso of Intellectual Liberty”, bahwa “Kami..berpendirian bahwa tidak ada ras, bangsa, kelas atau agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya yang berhak untuk mewakili gagasan kebebsan, tidak juga berhak untuk menafikan kebebasan kelompok lain atau kredo atas nama cita-cita yang paling agung atau tujuan tertinggi.”(hal85)

Kampanye kebudayaan ini merupakan bagian dari agresi simbolik yang digunakan untuk menyerang, bukan terhadap bentuk fisik dari produksi kebudayaan kiri, namun terhadap pengertian atas ide-ide dibelakang pendekatan kebudayaan kiri yang dianggap oleh lawan-lawannya sebagai bahaya untuk kehidupan kebudyaan secara demokratis. Pada titik inlah gagasan kebebesan berekspresi menjadi konsep mujarab untuk melawan kecenderungan totalirianisme pemerintahan Soekarno dan partai pendukunganya, yakni partai PKI(dengan LEKRA sebagai sayap kebudyaan) dan PNI(dengan LKN sebagai sayap kebudayaan). Ideologi tersebut digunakan sebagai slogan dan rumusan untuk menghujat, menghantam, menjatuhkan, ide-ide kebudayaan kiri, dengan berpihak kepada ide-ide Barat tentang liberalisme dan demokrasi.

Buku setebal 334 halaman ini membantu kita memotretmengenai pembangunan politik dan kebudayaan, baik sebelum maupun setelah peristiwa 30 September 1965 yang menunjukan bahwa hal itu merupakan hasil pergulatan panjang di era Perang Dingin. Elemen-elemen sayap kanan seperti kaum intelektual, politisi, ekonom dan angkatan Darat pro-Barat melakukan konsolidasi dan agresi politik serta kebudayaan, politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, para intelektual Indonesia pro-Barat telah memanipulasi gagasa”kebebasan berekspresi” dan”demokrasi” dengan cara mencitrakan komunisme sebagai gerakan politik dan kebudayaan upaling berbahaya yang mengancam demokrasi.


Diresensi Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar