Dimuat Majalah Tebuireng
edisi Nov-Desember 2014
Penulis
: Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit
: Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Sudah sekian lama
Muhammadiyah dan NU berjalan sesuai dengan kepentingan politisnya sendiri. Tak
pelak, membuat keduanya acakali perang urat saraf. Misalnya, mengenai masalah
penentuan Hari Raya Idul Adha, dll. Meskipun perbedaan merupakan suatu rahmat
namun acapkali kurang dimaknai secara bijak, akhirnya nampak di permukaan umat
Islam kelihatan tak kompak dan mudah diadu domba.
Sesungguhnya
Muhammadiyah dan NU memiliki akar yang sama. Sejarahnya sama, satu saudara,
pendirinya seperguruan, dan tunggal ilmu. Merebahnya aliran-aliran keagamaan
dasawarsa ini yang menampilkan agama kolot, kaku, dan ekstrem seperti ISIS.
Muhammadiyah dan NU memiliki pengikut paling banyak di Indonesia. Keduanya,
tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa Indonesia.
Ali Shadiqin lewat buku
bertajuk “Muhammadiyah Itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan” ini, mencoba
membuka kembali akar sejarah fiqh Muhammadiyah. Yang notabene menjadi landasan
kehidupan utama dalam beragama, bersosial, dan bernegara kaum Muhammadiyah pada
periode awal. Lantas, mengapa pasca KH. Ahmad Dahlan tiada Muhammadiyah seolah
meninggalkan Fiqh yang diajarkan ulama pesantren? Menurut penulis, sebenarnya
Muhammadiyah memiliki dasar-dasar yang sama dengan ulama pesantren, NU dalam
menjalani kehidupan beragama. Sebagaiamana, termaktub dalam kitab fiqh
muhammadiyah 1924. Kitab yang ditertibkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah
Yogyakarta.
Kiai Dahlan yang
notabene pendiri Muhammadiyah ini juga berpaham mahzab Syafi’i.. Beliau sendiri
seperguruan dengan Pendiri NU, Hasyim Asy’ari. Keduanya merupakan keturunan
Sunan Giri putera Maulana Ishak yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti
Rasulullah. Keduanya sama-sama memegang kunci gerakan dakwah. Gerakan dakwah
Ahmad Dahlan bertujuan mengajarkan Islam dan menghalaui kristenisasi yang
didukung oleh kolonial Belanda. Saat itu, beliau dan warga Muhammadiyah
mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan jum’ at dua kali, dan
takbiran tiga kali. Mereka shalat id di masjid bukan di lapangan(halaman 14 ).
Aktualisasi Fiqh
Dalam sejarah
Muhammadiyah ada beberapa perubahan dalam berfiqh.
Pertama, masa Syafii(1925-1967). Pada masa ini mahzab syafii masih menjadi
pegangan. Kedua, masa pembaruan Syafii-wahabi(1925-1967). HPT(1967-1995); dan
masa pembauran HPT- Globalisasi (1995-sekarang). Sejak berdiri 1912 hingga
tahun 1967 mahzab syafi’i masih digunakan. Lewat Muktamar 1972 di Pekalongan
mulai mengalami perubahan, shalat shubuh tak berqunut pada masa orde baru.
Selanjutnya, pada tahun
1972 Muhammadiyah merubah besar-besaran haluan fiqhnya. Tak pelak, Muhammadiyah
pun lantas kehilangan ulama, namun berisikan kumpulan para cendekiawan. Salah
satu perbedaan Muhammadiyah dengan NU di masa awal-awal, yakni Kiai Ahmad
Dahlan mau menerima cara-cara Belanda yang lebih bersih dan tertib, berupa
ruang kelas dengan meja kursi dan papan tulis, serta organisasi berbadan hukum
Belanda dan mengajarkan huruf latin yang disertai bahasa belanda sedangkan NU
tidak.
Menurut pendiri
Muhammadiyah, dasar beragama adalah beramal dengan memedomani Al Qur an dan As
Sunnah kemudian disertai pengorbanan harta dan jiwa untuk ridha Allah. ” Dakwah
kiai Ahmad Dahlan dalam memberantas tahayul, bid’ah, dan khufarat sama
sebagaimana dilakukan ulama nusantara “(halaman 32). Tumbuhnya pergesekan
antara Muhammadiyah dan NU dimulai sejak banyaknya kaum pembaharu yang masuk ke
tubuh Muhammadiyah. Yang memunculkan pembahasan bab khilafiyah.
Perdebatan masalah
khilafiyah yang notabene sudah ditutup sejak ratusan lalu dibuka kembali.
Pihak-pihak yang merasa tersakiti oleh fatwa kemudian balik menentang dan
berujung pada sikap saling menyalahkan. Padahal sedari awal para ulama
pesantren sangat mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah. Pasca dipersalahkan dan
dianggap kolot karena tak mau melepas dari mahzab dan khazanah keilmuan lama
menimbulkan ketegangan. Siapakah yang diuntungan dalam hal ini?
Tentunya membangun
kebersamaan kembali dalam hal ini penting dilakukan. Sehinga, semangat
persatuan dan kesatuan sesama umat Islam amat kokoh. Bahkan, semangat
kebersamaan ini juga dapat diimplemntasikan dalan tatanan yanag lebih luas,
misalnya membangun bangsa. Sebagaiamana perjuangan para pendahulunya mereka dalam
mengusir penjajah. Mengguggah kesadaran para elitnya menjadi penting untuk
bersatu guna bersama-sama merancang masa depan bangsa Indonesia yang lebih
baik. “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Karena itu, aku akan senantiasa berdoa setiap saat sehingga saat-saat terakhir
aku akan menghadap kepada Ilahi Rabi. Aku juga berdoa berkat dan keridhaan
serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa
memberi manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman
“(halaman 28 ).
Ikhtiar penulis dalam
membuka kembali fiqh lama Muhammadiyah patut sekiranya untuk dijadikan spirit
dalam membangun kebersamaan. Jika perbedaan adalah rahmat, kenapa kita mudah
emosi membela keegoisan dan arogansi masing-masing. Selamat membaca!
Ahmad Faozan
Tik
BalasHapus