Dilansir dari Tebuireng org.
Judul
buku : Profil Tebuireng
Penyusun
: A. Mubarak Yasin dan Fathurahman Karyadi
Tebal
: 242 halaman
Penerbit
: Pustaka Tebuireng
Harga
: RP. 160. 000
Perhatikan
sejarahmu untuk hari esok”(Qs: Al- Hasyr ( 59) :18)
Sejak
berdirinya pesantren Tebuireng pada 28 Rabiul Awal 1317 H( bertepatan dengan
tanggal 3 Agustus 1899 M) hingga sekarang ini telah mencetak ribuan ulama.
Bahkan, santrinya juga tak hanya menjadi tokoh agamawan saja, namun juga
dibidang lainnya. Ikut serta mengubah peradaban masyarakat berbasis santri.
Kehadiran Pesantren ditengah-tengah masyarakat sempat mendapatkan respon kurang
baik. Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat justru bangga akan kehadiran
Pesantren Tebuireng.
Kesemua
itu tidak terlepas dari kesungguhan, kegiggihan, dan perjuangan Hadratussyaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng dalam perkembangannya telah menjadi
pusat pendidikan keagamaan dan politik yang menentang penjajah. Dari Pesantren
Tebuirenglah lahir partai-partai besar Islam di Indonesia. Misalnya,
Nahdlatu Ulama( NU), Majelis Islam A’la Indonesia(MIAI), dan lasykar-lasykar
perjuangan seperti Hizbullah dan Sabililah. Menunjukan betapa Tebuireng memilih
pengaruh cukup besar. Tidak hanya bagi masyarakat sekitar, namun juga bangsa
Indonesia.
Merujuk
data dari Pemerintah Jepang, tepatnya pada tahun 1942, jumlah santri dan ulama
di Pulau Jawa sebanyak 25.000 orang. Kesemuanya pernah menyantri di Tebuireng.
Menunjukan betapa Tebuireng pada awal abad 20 yang di pimpin
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang besar. Diantara
santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dikemudian hari menjadi ulama
besar, pendiri, dan pengasuh pondok, misal, KH. Wahab Hasbullah(juga pernah
menjadi lurah di Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Bisri Syansuri, Pendiri PP.
Denayar, KH. Chudori, Pendiri PP. Tegalrejo, KH. Abdul Karim, Pendiri PP
Lirboyo, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Maksum Ali, Pendiri Pesantren Seblak,
KH. Adlan Ali, pendiri PP. Walisanga Cukir, dll.
Lewat
buku “Profil Sejarah Tebuireng” ini, Mubarak Yasin, dan Fathurahman Karyadi,
mencoba mengurai sejarah Pesantren Tebuireng. Dari mulai awal berdiri hingga
masa sekarang ini. Pada masa awal keberadaan Pesantren Tebuireng kemudian
dianggap menebar ancaman oleh pihak Belanda. Belanda pun kemudian memata-matai
santri dan kiainya Tebuireng, dan menebar fitnah. Pada tahun 1913 lewat
provokasi Belanda dengan cara menyusupkan pencuri akhirnya tewas ditangan
santri. Peristiwa tersebut berbuntut panjang. Dimana Pondok Pesantren Tebuireng
harus diluluhlantakan oleh Belanda. Banyak kitab yang dirampas dan dimusnahkan.
Walaupun tak sampai memakan korban jiwa namun, hal ini sangat merugikan. Dari
peristiwa ini Pesantren Tebuireng menjadi lebih dikenal. Hadratussyaikh KH. M.
Hasyim Asy’ari pun bahu membahu membangunnya kembali.
Semula
jumlah santri yang belajar ke Tebuireng hanya 28 orang. Pada tahun 1899,
bertambah menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan sepuluh tahun kemudian
meningkat sekitar 2000 ribuan sastri. Para santrinya tidak hanya berasal dari
daerah di Indonesia melainkan juga Singapura dan Malaysia. Kebesaran Pesantren
Tebuireng selalu melekat dengan pengasuh pertamanya, Hadratussyaikh KH. M.
Hasyim Asy’ari. Beliau yang dikenal luas ilmunya atas kepakarannya dalam bidang
hadis membuat nama Tebuireng semakin moncer dan banyak diminati. Guru Besar
Tanah Jawa KH. Kholil Bangkalan pun mengakuinya dan ikut mengaji hadis kepada
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng.
Pada
akhir tahun 1920 jumlah santri mencapai seribu orang dan 1930 bertambah menjadi
2000 orang. Kala itu memecahkan rekor. Pasalnya belum ada pesantren yang
memiliki santri sebanyak Pesantren Tebuireng. Model pembelajaran yang diadopsi
oleh pesantren Tebuireng, yakni sistem sorogan dan bandongan. Kemudian ditambah
dengan sistim musyawarah. Seiring berjalannya waktu kemudian sistim pendidikan
tersebut mengalami perkembangan lagi dalam bentuk madrasah yang dikepalai
langsung oleh KH. Maksum Ali, suami dari Nyai Khairiyah Hasyim. Madrasah
tersebut dinamakan dengan Madrasah Salafiah Syafiiyah. Menyediakan dua kelas.
pertama sifir awal dan sifir tsani. Serta sekolah persiapan selama lima tahun.
Inovasi tersebut berjalan dengan baik.
Percontohan
Pesantren
Setelah
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berhasil mempersiapkan putranya KH. A.
Wahid Hasyim. Maka majulah KH. A. Wahid Hasyim melakukan perubahan akan sistem
pondok. Beliau berduet dengan KH. M. Ilyas(dikemudian hari menjadi Menteri
Agama) yang menggantikan kepala madrasah sebelumnya di pimpin KH. Masum Aly.
Tebuireng pun kemudian beradaptasi dengan cepat dan tepat. Lewat pendirian
Madrasah Nizamiyah menjadi sarana menumpahkan ide KH. A. Wahid Hasyim.
Setidaknya
ada tiga strategi khusus yang diimplementasikan. Pertama, memperluas
pengetahuan santri. Kedua, memasukan pengetahuan modern. Ketiga, meningkatkan
pengajaran secara aktif. Dalam berupaya mendukung proyek besar tersebut.
Pesantren Tebuireng mulai berlangganan sejumlah surat kabar, buku, dan majalah
berbaga bahasa. Santri pun kemudian banyak mendapatkan kesempatan untuk
menambah wawasan secara luas. Menjadi nilai tambahan yang tepat. Pasalanya jika
santri hanya mendalami kitab fiqh saja misalnya akan ketinggalan dengan penetahuan
dibidang pengetahuan lain.
Misalnya,
filsafat, politik, agaria, sosiologi dll. Terlebih kehidupan modern menuntut
seseorang memiliki pengetahuan luas tentunya akan keteteran jika tidak mampu
menyeimbangkan. Ide yang progresif dari seorang KH. A. Wahid Hasyim kala itu.
Berani menerapkan sistem pondok pesantren yang sesuai dengan zamannya.
Walaupun toh awalnya banyak mendapatkan penolakan karena dianggap tak sesuai
berkat dukungan ayahdanya sistem tersebut dapat bejalan dengan baik.
Bahkan
menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai representasi pondok pesantren yang
mampu mengintregrasikan nilai budaya pesantren dengan budaya lain. Sehingga
kader kader pesantren dapat tersalurkan dalam berbagai bidang. Artinya
alumnus pesantren Tebuireng tidak hanya menjadi kiai yang hanya lihai
dalam masalah fiqh semata namun juga luas dalam berbagai pengetahuan. manakala
negara membutuhkan Pesantren Tebuireng sudah mempersiakan. Tak sedikit, dari
lembaga pesantren lain yang merujuk kepada Pesantren Tebuireng
Menjaga
Spirit Perubahan
Pesantren
Tebuireng sebagai pondok pesantren yang adaptif dan dinamis, dituntut untuk
mampu mengaktualisasikan diri secara cepat dan tepat. Terlebih di era modern
seperti sekarang ini, dimana lembaga pendidikan sudah menjamur. Jika lembaga
pendidikan klasik seperti Pesantren Tebuireng tak mampu meningkatkan kualitas
akan tertinggal dan mengalami kemunduran. Salahuddin Wahid, putra KH. Abdul
Wahid Hasyim, sebagai generasi penerus Pengasuh Tebuireng berusaha memoles
Tebuireng dengan lebi baik lagi. Misalnya, mendirikan Lembaga
Penerbitan(Majalah, Pustaka, dan Website), Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng,
LSPT, pengembangan kampus UNHASY, kesehatan, puskestren, lembaga Penelitian,
PKPM, dll. Bahkan, kini Pesantren Tebuireng juga melebarkan sayapnya, yakni
membuka cabang di sejumlah tempat seperti, Pesantren Sains Tebuireng II
didaerah Jombok. Menunjukan bahwa Pesantren Tebuireng selalu adaptif dan
dinamis.
Buku
ini penting untuk dibaca. Baik oleh santri dan alumni maupun masyarakat
luas yang hendak mengetahui secara mendalam mengenai sejarah Pesantren
Tebuireng. Selamat membaca!
Peresensi
Ahmad Fao, Pengelola Sanggar Kepoedang, komunitas penulis muda Tebuireng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar