Jumat, 11 Januari 2013

Memahami Bencana Sebagai Ujian Tuhan


http://wasathon.com/
Ditulis tanggal : 21 - 12 - 2012


Judul:  Agama, Budaya, dan Bencana
Penulis: Agus Indiyanto, dkk.
Penerbit: Mizan dan CRCS UGM
Tahun: 1, Maret 2012
Tebal: 280 halaman
Harga:Rp. 42.000              

                                          
Bagi sebagaian masyarakat Indonesia, notabenya merupakan masyarakat religius, persepsi dan keyakinan keagamaannya acapkali menjadi tolak ukur dalam memandang dan mensikapi suatu persoalan, seperti tatkala memandang sebuah bencana alam, yang seringkali mengaitkan dengan kemarahan Tuhan. Pemahaman yang sedemikian juga dapat kita temukan pada aliran teologi kaum Jabbariyah, yang mempunyai konotasi bahwa tindakan atau perbuatan manusia itu sebenarnya adalah salah satu bentuk paksaan dari luar dirinya, yakni dari Allah. 

Jika bencana hanya dipahami melalui sudut pandang teologis, maka akan selalu menyiratkan sebuah pesan moral kepada umat manusia, yakni Tuhan sedang menguji umat tertentu dan menghukum umat yang lain, demi untuk meningkatkan ketkwaannya mengingat, kemarahan Tuhan akibat manusia tidak taat. Kendati demikian, belum mampu menyelesaikan persoalan bencana.

Buku ini, secara spesifik menggali kajian lebih mendalam mengenai persoalan bencana di Indonesia dari berbagai segi seperti, segi teologis. Mulai dari pandangan ulama, lembaga keagamaan, para penganut agama hingga teks suci. Menurut Indiyanto dkk, bencana memiliki spektrum yang luas dan kompleks. Bencana alam terjadi bisa bersumber dari peristiwa alami seperti, angin ribut dan gempa bumi hingga yang disebabkan akibat ulah perilaku manusia sendiri.

 Seperti, penjarahan kayu di gunung dan limbah. Orang beragama biasanya lebih percaya pada doktrin tertentu agama, misalnya tentang hukuman dan takdir, dan pada agamawan yang dianggap memiliki otoritas penafsiran teks keagamaan. Dalam memahami dan menjelaskan kejadian bencana, para tokoh agamawan selalu merujuk langsung kitab-kitab fiqih klasik. Dalam fiqh, bencana diartikan dengan makna,  fiqh al ba’sa(kesengsaraan) fiqh al-darra(penderitaan), fiqh al-su(bencana), dan takhlukah(kebinasaan)”.(halaman 33) 

Penting sekiranya mensinergikan antara faktor agama dan kemanusiaan. Sehingga, dapat terbangun sebuah aktivisme individual dan aktivisme sosial. Yang nantinya berperan dalam mengorganisasi dan memobilisasi manusia, demi mempersiapkan tingkat kewaspadaan sebelum terjadinya bencana Alam. Bukankah, kenyataan fiqh sebagai narasi dari Abad pertengahan dan berasal dari tempat-tempat yang jarang terkena bencana? Semestinya, pengembangan fiqh yang aktual untuk memahami masalah bencana perlu dikembangkan kembali saat ini. Pasalnya, jika mengkaji bencana hanya dari perspektif agama saja baru mengungkap sebuah makna ujian, peringatan, dan siksaan semata. 

Tentu, hal itu belum menunjukan pada tingkat paling dasar mengenai potensi yang dimiliki agama dan masyarakat lokal dalam membangun dasar-dasar masyarakat yang tangguh bencana saat ini dan ke depan. Sekiranya, berusaha untuk  menemukan sebuah alternatif-alternatif terbaik untuk mengatasi problem kebencanaan amat mendesak. 

Menurut penulis buku ini, fiqh bencana belum memiliki rumusan tersendiri yang komprehensif melainkan baru sekedar menjadi bagian dari fiqh pertanahan atau lebih populer dengan fiqh lingkungan(fiqh al-bi’ah). Keterkaitan  antara paham dan keagamaan serta aktivisme sosial perlu diupayakan. Mendorong para kaum agamawan untuk melakukan  perumusan secara spesifik tentang teologi bencana dan secara umum dalam pembentukan gerakan ekologis dan aktivisme sosial humanitarian Muslim yang sistematis penting dilakukan. Mengingat, manusia memiliki peran sebagai wakil Tuhan secara ekologis karena Tuhan menciptakan alam semesta dengan teratur dan sinergis; pengaturan Nya adalah salah satu sistem kerja yang saling mendukung dan senantiasa serasi dan tepat.  

Ikhtiar para penulis, untuk melacak titik temu antara Sains, Agama, dan Budaya dalam memaknai, mengantisipasi, dan mengelola masalah bencana perlu mendapat dorongan. “Dalam banyak kasus seperi penjarahan hutan atau aksi pembalakan liar yang mengakibatkan bencana, baik yang dilakukan oleh aparat  pemerintah maupun masyarakat dapat dihukumi melalui konsep fiqh.”(halaman 47)

Kehadiran buku ini semakin menarik dibaca karena ikut serta memberikan masukan-masukan berharga bagi pemerintah misalnya, pemerintah ke depan harus menggagas beberapa hal yaitu: Melalui buku setebal 280 halaman ini, para intelektual muda ini, seakan menawarkan teori baru guna memahami persoalan masalah kebencanaan secara mendalam. Dan diharapkan menjadi salah satu refrensi bagi siapa saja yang ingin memahami dan merespon bencana lebih komprehensif dan multiperspektif.
Diresensi Ahmad Faozan, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar