http://wasathon.com/
Ditulis tanggal : 21 - 12 - 2012
Judul: Agama, Budaya, dan Bencana
Penulis: Agus Indiyanto, dkk.
Penerbit: Mizan dan CRCS UGM
Tahun: 1, Maret 2012
Tebal: 280 halaman
Harga:Rp. 42.000
Bagi sebagaian masyarakat Indonesia, notabenya
merupakan masyarakat religius, persepsi dan keyakinan keagamaannya acapkali
menjadi tolak ukur dalam memandang dan mensikapi suatu persoalan, seperti
tatkala memandang sebuah bencana alam, yang seringkali mengaitkan dengan
kemarahan Tuhan. Pemahaman yang sedemikian juga dapat kita temukan pada aliran
teologi kaum Jabbariyah, yang mempunyai konotasi bahwa tindakan atau perbuatan
manusia itu sebenarnya adalah salah satu bentuk paksaan dari luar dirinya,
yakni dari Allah.
Jika bencana hanya dipahami melalui sudut pandang
teologis, maka akan selalu menyiratkan sebuah pesan moral kepada umat manusia,
yakni Tuhan sedang menguji umat tertentu dan menghukum umat yang lain, demi
untuk meningkatkan ketkwaannya mengingat, kemarahan Tuhan akibat manusia tidak
taat. Kendati demikian, belum mampu menyelesaikan persoalan bencana.
Buku ini, secara spesifik menggali kajian lebih
mendalam mengenai persoalan bencana di Indonesia dari berbagai segi seperti,
segi teologis. Mulai dari pandangan ulama, lembaga keagamaan, para penganut
agama hingga teks suci. Menurut Indiyanto dkk, bencana memiliki spektrum yang
luas dan kompleks. Bencana alam terjadi bisa bersumber dari peristiwa alami
seperti, angin ribut dan gempa bumi hingga yang disebabkan akibat ulah perilaku
manusia sendiri.
Seperti,
penjarahan kayu di gunung dan limbah. Orang beragama biasanya lebih percaya
pada doktrin tertentu agama, misalnya tentang hukuman dan takdir, dan pada
agamawan yang dianggap memiliki otoritas penafsiran teks keagamaan. Dalam
memahami dan menjelaskan kejadian bencana, para tokoh agamawan selalu merujuk
langsung kitab-kitab fiqih klasik. Dalam fiqh, bencana diartikan dengan
makna, fiqh al ba’sa(kesengsaraan)
fiqh al-darra(penderitaan), fiqh al-su(bencana), dan takhlukah(kebinasaan)”.(halaman
33)
Penting sekiranya mensinergikan antara faktor
agama dan kemanusiaan. Sehingga, dapat terbangun sebuah aktivisme individual
dan aktivisme sosial. Yang nantinya berperan dalam mengorganisasi dan
memobilisasi manusia, demi mempersiapkan tingkat kewaspadaan sebelum terjadinya
bencana Alam. Bukankah, kenyataan fiqh sebagai narasi dari Abad pertengahan dan
berasal dari tempat-tempat yang jarang terkena bencana? Semestinya,
pengembangan fiqh yang aktual untuk memahami masalah bencana perlu dikembangkan
kembali saat ini. Pasalnya, jika mengkaji bencana hanya dari perspektif agama
saja baru mengungkap sebuah makna ujian, peringatan, dan siksaan semata.
Tentu, hal itu belum menunjukan pada tingkat
paling dasar mengenai potensi yang dimiliki agama dan masyarakat lokal dalam
membangun dasar-dasar masyarakat yang tangguh bencana saat ini dan ke depan.
Sekiranya, berusaha untuk menemukan
sebuah alternatif-alternatif terbaik untuk mengatasi problem kebencanaan amat
mendesak.
Menurut penulis buku ini, fiqh bencana belum
memiliki rumusan tersendiri yang komprehensif melainkan baru sekedar menjadi
bagian dari fiqh pertanahan atau lebih populer dengan fiqh lingkungan(fiqh al-bi’ah).
Keterkaitan antara paham dan keagamaan
serta aktivisme sosial perlu diupayakan. Mendorong para kaum agamawan untuk
melakukan perumusan secara spesifik
tentang teologi bencana dan secara umum dalam pembentukan gerakan ekologis dan
aktivisme sosial humanitarian Muslim yang sistematis penting dilakukan.
Mengingat, manusia memiliki peran sebagai wakil Tuhan secara ekologis karena
Tuhan menciptakan alam semesta dengan teratur dan sinergis; pengaturan Nya
adalah salah satu sistem kerja yang saling mendukung dan senantiasa serasi dan
tepat.
Ikhtiar para penulis, untuk melacak titik temu
antara Sains, Agama, dan Budaya dalam memaknai, mengantisipasi, dan mengelola
masalah bencana perlu mendapat dorongan. “Dalam banyak kasus seperi penjarahan
hutan atau aksi pembalakan liar yang mengakibatkan bencana, baik yang dilakukan
oleh aparat pemerintah maupun masyarakat
dapat dihukumi melalui konsep fiqh.”(halaman 47)
Kehadiran buku ini semakin menarik dibaca karena
ikut serta memberikan masukan-masukan berharga bagi pemerintah misalnya,
pemerintah ke depan harus menggagas beberapa hal yaitu: Melalui buku setebal
280 halaman ini, para intelektual muda ini, seakan menawarkan teori baru guna
memahami persoalan masalah kebencanaan secara mendalam. Dan diharapkan menjadi
salah satu refrensi bagi siapa saja yang ingin memahami dan merespon bencana
lebih komprehensif dan multiperspektif.
Diresensi Ahmad Faozan, pembaca buku, tinggal di
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar