Judul: Republik
Galau: Presiden Bimbang Negara Terancam Gagal
Penulis: Bambang Soesatyo
Penerbit: Ufuk Press
Tahun: 1, 2012
Tebal: 358 halaman
Harga:Rp. 59.000
Siapa yang tak gelisah, melihat para pemimpin
bangsa ini galau, khususnya Presiden SBY selaku kepala pemerintahan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, seperti kasus korupsi, kemiskinan,
konflik antar umat beragama, dll yang tak kunjung berakhir hingga hari ini.
Padahal mereka yang menentukan maju mundurnya bangsa ini. Merebahnya kasus korupsi
khususnya yang menjerat kepala daerah, politisi, aparat penegak hukum membuat
kita semakin prihatin.
Seharusnya, seorang pemimpin bangsa tahu betul terhadap apa yang
sudah menjadi kewajibannya. Bukankah, para pemimpin kita dahulu telah berjanji,
jika mereka terpilih menjadi pemimpin, akan memperjuangkan nasib bangsa dan
rakyatnya. Tak pelak, rakyat pun resah dan menaruh ketidakpercayaan kepada para
pemimpinnya. Wajar jika, persoalan kekerasan antar umat beragama, tawuran antar
pelajar, perpecahan antar lembaga penegak hukum dll meningkat tajam.
Sesungguhnya, beragam persoalan seperti sekarang
ini, yang konon dianggap sulit untuk diatasi oleh para pemimpin kita, bukanlah suatu
alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan
fundamental. Semestinya, dalam
perjalanan setiap negeri, seperti apapun tujuan yang dicapai, itu sangat
bergantung pada kepemimpinan dan institusi negara.
Jadi, apabila indikator
pencapaian Indonesia belum mencapai tujuannya, yang bertanggungjawab pasti
pemimpin negara dengan institusinya. Padahal, seorang yang dipilih menjadi
pemimpin negara selain harus amanah dan bertanggungjawab juga mampu menciptakan
kehidupan yang harmonis dan penuh kesejahteraan. Sebaliknya, kalau berhasil,
tentu yang sukses adalah pemimpinnya.
Buku ini, merupakan catatan kritis Bambang Soesatnya akan
kiprah SBY selama menjadi pemimpin di
negeri ini. Konon, selama tujuh tahun
lebih kepemimpinannya, negara Indonesia selalu berada dalam ketegori
negara”dalam peringatan” (warming). Menurut Bambang Soesatyo, sudah saatnya,
kita menyalakan lampu peringatan kepada para pemimpin kita. Sehingga, mereka
tidak melenceng dari jalur kebenaran. Pasalnya, sudah terlalu banyak keringat
darah, keringat, air mata, dan pengorbanan para pendiri bangsa serta pemimpin
dan rakyat di masa silam demi untuk tegaknya Indonesia.
Sebenarnya, peringatan dini pun dari para kaum agamawan kepada pemimpin
bangsa khususnya Presiden sebagai kepala pemerintahannnya berserta jajarannya, tak
dihiraukan. Padahal, niat mereka sekadar mengingatkan, bukan untuk menjatuhkan
pemerintahan. Ironis memang, para
pemimpin kita justeru lebih sibuk melakukan pencitraan, ketimbang mengubah
situasi dan kondisi bangsa dan rakyatnya menuju yang lebih baik.
Bahkan, mereka
’para pemimpin kita’ justeru terus mencari aneka pembenaran, manakala pihak
luar ikut memberikan peringatan, bahwa negara ini terancam tergelincir ke dalam
negara gagal. Anggota komisi III ini, menuturkan, bahwa negara
ini butuh pemimpin tegas dan kuat untuk membawa perubahan bangsa.
Pasalnya,
negara kita sudah benar-benar diambang kegagalan. Ia mencirikan dengan beberapa
hal yakni, pemerintah pusat yang lemah, atau tidak efektif dalam mengendalikan
kabinet dan pemerintah daerah kelumpuhan pelayanan publik, merajalelanya
korupsi dan kriminalitas, serta memburuknya kesenjangan ekonomi. Merujuk
hasil publikasi The Found For Peace 2012,
yang dimana posisi Indonesia dalam Failed States Indeks terus memburuk,
dari urutan ke-64 tahun lalu menjadi peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh
dunia tahun ini.
Menurut penulis buku ini, Presiden sebagai kepala negara acapkali bimbang dalam
mengambil sikap dalam memutuskan berbagai perosalan. Kata-katanya ‘bersayap’
kurang lugas dan tegas. Misalnya,
dalam masalah pemberantasan korupsi yang sedang mengemuka. Dimulai dari
keragu-raguan dalam melaksanakan proses hukum skandal Bank Century, mafia
pajak, kasus wisma Atlet SEA Games, dan kasus Sport Center Hambalang. Memang,
sang panglima perang’SBY’ nampak sunguh-sungguh ingin menuntaskan setiap kasus
hukum. Namun pada saat bersamaan dia, seperti membiarkan saja sikap setengah
hati para penegak hukum.
Semestinya, para pemimpin kita bertindak sesuai
dengan fitrahnya sebagai pemimpin yakni, memberikan teladan, arahan, serta
sikap yang tegas dan jelas untuk mengantarkan bangsa ini menuju kejayaaan.
Menjadi pemimpin di negeri ini, memang bukan pekerjaan ringan. Menjadi pemimpin
negara berarti harus siap mengangkat kesejahteraan rakyat, jujur, dan amanah.
Menurut Sayafii Maarif, dalam pengantar buku ini,
salah faktor kenapa bangsa ini terus merosot, tidak lain yakni karena masalah
kepemimpinan yang lemah. Tidak ada tindakan yang berarti dari pemimpin bangsa
ini karena perencanaan aksinya juga sangat lemah. Indonesia membutuhkan
pemimpin yang kuat, tegas, dan berani bertindak walaupun toh tidak populer.
Wajar jika negara ini berada dalam kondisi kritis.” Pemerintah seharusnya
memerintah, bukan sekadar memberikan imbauan”.(hal,xxxiv)
Lewat buku
setebal 358 halaman ini, menjadi sebuah catatan kegelisahan kita bersama.
Sekaligus memberikan peringatan kepada kepala pemerintah, Presiden SBY, yang
sudah memasuki periode akhir untuk menunjukan komitmennya dalam memimpin bangsa
ini. Penting, sekiranya meluruskan para pemimpin kita untuk tidak salah langkah
dan arah dalam menjalankan roda pemerintahan. Selamat membaca!
Oleh Ahmad Faozan, Pembaca buku tinggal di
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar