Judul
Buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis:
Charles Kimball
Penerbit:
Mizan
Cetakan:
1 Juni 2013
Tebal: 471 halaman
Harga: Rp. 62.900
ISBAN:978-979-433-752-3
Krisis
spiritualitas dikalangan umat beragama menjadi penanda abad ke 21. Ajaran agama
semakin ditinggalkan. Bahkan, kini juga banyak orang yang dikendalikan oleh
tekhnologi. Para tokoh agamawan seolah tak mampu memberikan pencerahan kepada
umatnya. Jika manusia hendak menjadikan agama sebagai penuntun kehidupan, maka
membangun kedewasan dalam kehidupan sosial berbangsa dan beragama penting ditunjukan
para pemeluknya. Memasuki awal milienium baru, memetik spirit ajaran agama,
untuk mendorong pemeluknya menuju harapan positif bagi kehidupan manusia modern
menjadi sangat penting. Bukankah, lewat jalur agama menjadi satu-satunya jalan
mencari keselamatan hidup?
Memang benar,
sekarang ini banyak orang dari pemeluk agama berjuang menjaga kesucian agama
dan bersemangat berdakwah. Namun, mereka hanya sukses menampakan”agama” secara
kaku, kolot, dan tak mampu berdialektika dengan kehidupan kontemporer. Padahal ajaran agama senantiasa relevan sesuai
dengan zamannya. Tentu saja melalui pemahaman yang tepat. Mengingat, berbagai
persoalan kontemporer semakin kompleks. Agama harus mampu memberikan jawaban
aktual. Nah, peran tokoh agamawan dalam hal ini amat dibutuhkan.
Charles Kimbal,
Pendeta Kristen Baptis lulusan Harvad, mengkaji masalah keagamaan secara
komprehensif dalam buku ini. Ia mengulas secara kritis beberapa persoalan utama
yang berkaitan agama, yang menimbulkan bencana kemanusiaan baik di tingkat
lokal maupun global. Diantaranya, Klaim Kebenaran Mutlak, Kepatuhan Buta,
Tujuan Menghalalkan Segala Cara, Menyerukan Perang Suci, dll. Kajian ini tentu membantu kita
mencairkan berbagai persoalan. Terlebih, masalah kehidupaan beragama khususnya
di Indoneisa yang sekarang ini mudah membara. Membangun pemahaman yang mendasar
penting dilakukan.
Menurut Kimbal, dalam
lintasan sejarah kehidupan manusia, agama sudah mampu menjadi salah satu
kekuatan superdahsyat dan berpengaruh dimuka bumi ini. Mendorong manusia berbuat apa saja atas nama agama yang
diikutinya. Misal saja, karena agama, seseorang bisa saling mencintai,
berkorban, dan melakukan pengabdian kepada orang lain.
Bahkan, juga bisa menjadi manusia jahat. Sebagaimana peritiwa 11 September
2001. Karena agama, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan.(halaman 1)
Hakikat beragama
sejatinya menghantarkan seseorang menjadi pribadi mulia dan mewujudkan
terciptanya kehidupan masyarakat yang harmoni. Sudah pasti setiap agama
memiliki banyak perbedaan, namun mereka memiliki kesamaan dalam mengajarkan
orientasi Tuhan dan hubungan trasenden, konstruktif, dan selaing menghargai
antarsesama di dunia ini. Semua agama dunia harus mawas diri terhadap
penghayatan imannya dan ajaran agamannya, lalu bersana-sama mencari
pemecahannya.(halaman xxxix)
Salah satu
persoalan yang seringkali menjadi pemicu adalah sikap mengklaim bahwa atas nama
agama mereka beraksi. Seperti, berjihad. Jika sedemikian sempitnya pemahaman
seseorang mengenai kata jihad tentu saja menjadikan agama nampak kaku,
keras, dan tertutup. Lantas, memunculkan berbagai tindakan yang
rancu. Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks suci yang sepotong-potong
menyebabkan berbagai penyelewengan agama. Dalam hal ini, Kimbal
menawarkan sebuah transformasi dalam kehidupan beragama, yakni mendorong umat
Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Sikh, dan penganut agama lain untuk mencoba
melakukan sesuatu yang lebih besar penting dilakukan.
Kimbal mengajak kita untuk
menafsirkan secara intelektual semua iman manusia, baik iman diri sendiri
maupun iman orang lain, secara komprehensif dan seadil-adilnya. Dengan
demikian, bencana atas nama agama dapat terhindarkan dalam kehidupan manusia.
Setiap agama memiliki solusi untuk membawa umatnya menuju jalan kehidupan penuh
kedamaian. Setiap agama pula bisa menyumbangkan apa yang paling dituntut untuk
mengatasi krisis bangsa, yakni perdamaian dan kesatuan antar warga negara. Perwujudan dari kemawaspadaan diri amat
penting.
Masih mudahnya umat beragama
kehilangan pemahaman atas ajaran yang paling mendasar dalam satu agama,
khususnya ketika kondisi ekonomi, sosial, dan politik represif serta begitu
dominan mendorong tribalisme yang mengakibatkan orang-orang tulus ikut terlibat
dalam dihumanisasi pola perilaku, bahkan perang. Tentu saja membuat kita yang
beragam semakin miris bukan? ”Orang beragama harus meninggalkan kepentingan
pribadi yang sempit dan berusaha menemukan cara baru untuk melaksanakan apa
yang terbaik dan mulia menurut tradisi iman mereka.”(halaman 322) mengingat
dalam setiap agama ada kesaman-kesamaan, yang tidak hanya dalam hal
penghayatan, tetapi uga dalam ajarannya.
Menurut anggapan
saya, lewat buku ini, penulis mencoba mengajak untuk bersemangat melakukan perubahan.
Sudah tidak relevan, jika kita yang beragama menodai kesucian agama-agama
Tuhan. Shindunata dalam pengantar buku ini, mengajak kita untuk belajar
kepada Mahatama Gandhi, dalam merealisasikan suatu tujuan, ia tidak pernah
mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain untuk membantu
kelompoknya untuk mengejar tujuannya. Dengan demikian, ia tidak pernah mengubah
tujuan menjadi sarana, dan memutlakan saran menjadi tujuan.
Oleh FAO, Intelektual
Muda SALIK(Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme), Tebuireng, Jombang, Jatim
terimakasih min semoga mimin masih bergiat di blogspot
BalasHapus