Sabtu, 23 November 2013

Pendangkalan Agama



Judul Buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerbit: Mizan
Cetakan: 1 Juni 2013
Tebal: 471 halaman
Harga: Rp. 62.900
ISBAN:978-979-433-752-3


Krisis spiritualitas dikalangan umat beragama menjadi penanda abad ke 21. Ajaran agama semakin ditinggalkan. Bahkan, kini juga banyak orang yang dikendalikan oleh tekhnologi. Para tokoh agamawan seolah tak mampu memberikan pencerahan kepada umatnya. Jika manusia hendak menjadikan agama sebagai penuntun kehidupan, maka membangun kedewasan dalam kehidupan sosial berbangsa dan beragama penting ditunjukan para pemeluknya. Memasuki awal milienium baru, memetik spirit ajaran agama, untuk mendorong pemeluknya menuju harapan positif bagi kehidupan manusia modern menjadi sangat penting. Bukankah, lewat jalur agama menjadi satu-satunya jalan mencari keselamatan hidup? 

Memang benar, sekarang ini banyak orang dari pemeluk agama berjuang menjaga kesucian agama dan bersemangat berdakwah. Namun, mereka hanya sukses menampakan”agama” secara kaku, kolot, dan tak mampu berdialektika dengan kehidupan kontemporer.  Padahal ajaran agama senantiasa relevan sesuai dengan zamannya. Tentu saja melalui pemahaman yang tepat. Mengingat, berbagai persoalan kontemporer semakin kompleks. Agama harus mampu memberikan jawaban aktual. Nah, peran tokoh agamawan dalam hal ini amat dibutuhkan.

Charles Kimbal, Pendeta Kristen Baptis lulusan Harvad, mengkaji masalah keagamaan secara komprehensif dalam buku ini. Ia mengulas secara kritis beberapa persoalan utama yang berkaitan agama, yang menimbulkan bencana kemanusiaan baik di tingkat lokal maupun global. Diantaranya, Klaim Kebenaran Mutlak, Kepatuhan Buta, Tujuan Menghalalkan Segala Cara, Menyerukan Perang Suci, dll. Kajian ini tentu membantu kita mencairkan berbagai persoalan. Terlebih, masalah kehidupaan beragama khususnya di Indoneisa yang sekarang ini mudah membara. Membangun pemahaman yang mendasar penting dilakukan.

Menurut Kimbal, dalam lintasan sejarah kehidupan manusia, agama sudah mampu menjadi salah satu kekuatan superdahsyat dan berpengaruh dimuka bumi ini. Mendorong  manusia berbuat apa saja atas nama agama yang diikutinya. Misal saja, karena agama, seseorang bisa saling mencintai, berkorban, dan melakukan pengabdian kepada orang lain. Bahkan, juga bisa menjadi manusia jahat. Sebagaimana peritiwa 11 September 2001. Karena agama, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan.(halaman 1)

Hakikat beragama sejatinya menghantarkan seseorang menjadi pribadi mulia dan mewujudkan terciptanya kehidupan masyarakat yang harmoni. Sudah pasti setiap agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka memiliki kesamaan dalam mengajarkan orientasi Tuhan dan hubungan trasenden, konstruktif, dan selaing menghargai antarsesama di dunia ini. Semua agama dunia harus mawas diri terhadap penghayatan imannya dan ajaran agamannya, lalu bersana-sama mencari pemecahannya.(halaman xxxix)

Salah satu persoalan yang seringkali menjadi pemicu adalah sikap mengklaim bahwa atas nama agama mereka beraksi. Seperti, berjihad. Jika sedemikian sempitnya pemahaman seseorang mengenai kata jihad tentu saja menjadikan agama nampak kaku, keras, dan tertutup.  Lantas, memunculkan berbagai tindakan yang rancu. Klaim kebenaran yang didasarkan pada teks suci yang sepotong-potong menyebabkan berbagai penyelewengan agama. Dalam hal ini, Kimbal menawarkan sebuah transformasi dalam kehidupan beragama, yakni mendorong umat Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Sikh, dan penganut agama lain untuk mencoba melakukan sesuatu yang lebih besar penting dilakukan.

Kimbal mengajak kita untuk menafsirkan secara intelektual semua iman manusia, baik iman diri sendiri maupun iman orang lain, secara komprehensif dan seadil-adilnya. Dengan demikian, bencana atas nama agama dapat terhindarkan dalam kehidupan manusia. Setiap agama memiliki solusi untuk membawa umatnya menuju jalan kehidupan penuh kedamaian. Setiap agama pula bisa menyumbangkan apa yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa, yakni perdamaian dan kesatuan antar warga negara.  Perwujudan dari kemawaspadaan diri amat penting.

Masih mudahnya umat beragama kehilangan pemahaman atas ajaran yang paling mendasar dalam satu agama, khususnya ketika kondisi ekonomi, sosial, dan politik represif serta begitu dominan mendorong tribalisme yang mengakibatkan orang-orang tulus ikut terlibat dalam dihumanisasi pola perilaku, bahkan perang. Tentu saja membuat kita yang beragam semakin miris bukan? ”Orang beragama harus meninggalkan kepentingan pribadi yang sempit dan berusaha menemukan cara baru untuk melaksanakan apa yang terbaik dan mulia menurut tradisi iman mereka.”(halaman 322) mengingat dalam setiap agama ada kesaman-kesamaan, yang tidak hanya dalam hal penghayatan, tetapi uga dalam ajarannya.

Menurut anggapan saya, lewat buku ini, penulis mencoba mengajak untuk bersemangat melakukan perubahan. Sudah tidak relevan, jika kita yang beragama menodai kesucian agama-agama Tuhan. Shindunata dalam pengantar buku ini, mengajak kita untuk belajar kepada Mahatama Gandhi, dalam merealisasikan suatu tujuan, ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain untuk membantu kelompoknya untuk mengejar tujuannya. Dengan demikian, ia tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakan saran menjadi tujuan.

Oleh FAO, Intelektual Muda SALIK(Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme), Tebuireng, Jombang, Jatim



1 komentar: