Jumat, 01 November 2013

Rendra Berdoa Lewat Puisi




Judul Buku: Doa Untuk Anak Cucu
Penulis:  W.S Rendra
Penerbit: Bentang
Tahun: 2013
Tebal: 94 halaman
Harga: Rp 25.000
ISBN 978-602-8811-12-5


“Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa hamba
supaya bersih jiwa hamba.
Sehingga dengan begitu mata hamba
Bisa melihat cahaya-Mu.
Telinga hamba bisa mendengar bisikan-Mu.
Dan nafas-Mu membiimbing kelakuanku.
Amin, Ya Robal alamin.”( W. S Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, hlm. 5)

Itulah sebuah penggalan doa seorang W. S Rendra, dalam sebuah bait puisinya yang menggambarkan isi buku ini. Willy, nama panggilan untuknya, dikenal sebagai seseorang multitaletnta, dalam berbagai bidang, misalnya, dunia seniman. Dikalangan masyarakat Indonesia namanya sudah sangat masyhur. Kelebihannya dalam menyusun puisi tidak  sekedar mengedepankan keindahan kata-kata dan bahasa puitis semata,  namun juga sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Pembacanya dibuat tak berdaya dengan hasil karya imajinasinya. 

Ayahnya, Sugeng (panggilan saat kecil), tidak mengharapkan menjadi seorang seniman. Sedari kecil, Rendra dididik melalui cara-cara modern dan ala Barat. Pasalnya, kedua orangtuanya menaruh harapan besar kelak untuk menjadi orang besar. Demi cita-cita yang mulia itu, ia dirumahnya juga mendapatkan pendidikan tambahan, yakni ilmu olah jiwa.  Mas Janadi, cucu dari selir Eyang Sosrowinoto, guru privatnya, mencekoki ajaran tentang kebatinan,”kesadaran pancaindera” dan “kesadaran naluri”.

 Sebuah ajaran yang masih berhubungan erat dengan tradisi spiritualisme orang Jawa, yang notabene racikan dari berbagai ajaran agama seperti, Taoisme, Hiduisme, dan Budiesme.  Serta berpautan dengan budaya kultural masyarakat kuno Jawa, kemudian menjelama menjadi keunikan sejati dari Kejawen. Nah, inlah yang dikemudian hari, ikut membentuk jatidirnya sebagai seorang penyair dan seniman sejati yang memiliki gaya tersendiri. Meskipun, awalnya ayahnya tak percaya dengan jalan hidup anaknya seorang seniman. Mengingat, menjadi seorang seniman kala itu minim materi.

Tetap saja, ayahnya tak mampu mengendorkan semangatnya menjadi seorang seniman. Sejakduduk di SMP, Rendra sudah mampu menulis sebuah puisi yang cemerlang. Bahkan, pada sekolah lanjutan pertama, tulisannya sudah dimuat majalah”Siasat”. Barulah, saat hidup di kota pendidikan, Yogyakarta, ia mulai melakukan pengembangannya dalam karya-karyanya. Misalnya,  cerita pendek. Konon, melalui sebuah karya cerita pendeknya membantu membiayai hidupnya. Diantara kumpulan sajaknya yang pernah diterbitkan pada Tahun 1957 yakni, berjudul; “Balada Orang-Orang Tercinta”. Nah, pada periode 1955-1956 mendapatkan penghargaan sebgai penyair terbaik oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

Beragam masalah kehidupan menghampirinya. Ia tetap teguh dengan perjuangan hidupnya di dunia seniman. Sebagai seorang penyair sejati, Rendra, sangat produktif dalam mengelurakan karya-karya terbaiknya. Dan hingga sekarang ini, masih relevan. Misalnya, penggalan puisi yang berjudul”Kesaksian Akhir Abad” di buku ini, “O, Indonesia! Ah Indonesia! Negara yang kehilangan makna! Rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya. Berarti sudah dirusak dasar peradabannya. Dan akibatnya dirusak pula kemanusiannya. Maka sekarang negara tinggal menjadi peta itupun peta yang lusuh dan hampir sobek pula. Pendangkalan kehidupan berbangsa telah terjadi. Tata nilai rancu. Dusta, pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal.”(hal 38)

Buku setebal 94 halaman ini, tidak hanya berisikan puisi-puisi pendiri bengkel Teater semata, namun juga menambahkan sekilas mengenai kisah hidupnya. Sedari kecil hingga ia membangun kariernya sebagai kepala keluarga. Misalnya, ia pernah menjadi seorang yang mampu hidup serumah bersama ketiga isterinya secara rukun. Dari ketiga isterinya, Rendra memiliki sebelas anak, yakni, Lima dari sunarti(Teddy, Andre, Daniel, Samuel, dan klara Sinta), Sitoresmi(Yonas, Sarah, Naomi, Rachael Saraswati), dan dari Ida( Issais Sadewa dan Maryam Supraba). Setelah sukses berpoligami, ia tidak mampu mempertahankannya.”mereka menganggap Rendra lebih menarik menjadi pacar ketimbang sebagai suami”(halaman 61)

Meskipun telah berpisah dengan isteri-istrinya, hubungannya masih tetap terjalin harmonis. Menurut pria yang mendapat predikat burung Merak dari Parangtritis ini, perpisahan tidak menjadikannya hubungan ketegangan batin, namun justeru melepas ketegangan. Sebagaimana kerja sama dalam pementasan Panembahan Reso, 1986. Antara Rendra dan mantan isterinya dapat saling bahu-membahu menyukseskan sebuah acara kesenian. “Wanita itu sebagai imbangannya untuk bisa menembusi alam semesta ini dalam kebulatannya”.(halaman. 92) Tentunya, dari hal demikian sangat jarang kita temukan bukan?

Sebagai seorang seniman sejati yang hidup dalam zaman orde baru tidak membuatnya juga menjadi seorang penyendiri dan menyepi dari keramaian orang. Ia terus berkeliling melakukan berbagai macam pementasan. Bahkan, ikut juga melakukan aksi bersama mahasiswa untuk ikut menyuarakan aspirasinya. Salah satu sajaknya yang masih bertautan dengan hal ini, yakni mengenai hukum dan ketatanegaraan.”Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” dan “Kesaksian Akhir Abad”. Meskipun, ia akatif  dalam berbagai gerakan sosial, ia sama sekali tidak tertarik dan tergoda untuk terjun ke dunia politik. Nah, dalam konteks inilah, buku kumpulan puisi pilihan Rendra ini, layak untuk dibaca. Selamat membaca!

Oleh Ahmad Faozan St, bergiat di Pustaka Tebuireng, Jombang, Jatim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar