Judul Buku:
Doa Untuk Anak Cucu
Penulis: W.S Rendra
Penerbit:
Bentang
Tahun: 2013
Tebal: 94
halaman
ISBN
978-602-8811-12-5
“Ya, Allah,
ampunilah dosa-dosa hamba
supaya
bersih jiwa hamba.
Sehingga
dengan begitu mata hamba
Bisa
melihat cahaya-Mu.
Telinga
hamba bisa mendengar bisikan-Mu.
Dan
nafas-Mu membiimbing kelakuanku.
Amin, Ya
Robal alamin.”( W. S Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, hlm. 5)
Itulah
sebuah penggalan doa seorang W. S Rendra, dalam sebuah bait puisinya yang
menggambarkan isi buku ini. Willy, nama panggilan untuknya, dikenal sebagai seseorang
multitaletnta, dalam berbagai bidang, misalnya, dunia seniman. Dikalangan masyarakat
Indonesia namanya sudah sangat masyhur. Kelebihannya dalam menyusun puisi
tidak sekedar mengedepankan keindahan
kata-kata dan bahasa puitis semata,
namun juga sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Pembacanya dibuat tak
berdaya dengan hasil karya imajinasinya.
Ayahnya,
Sugeng (panggilan saat kecil), tidak mengharapkan menjadi seorang seniman.
Sedari kecil, Rendra dididik melalui cara-cara modern dan ala Barat. Pasalnya,
kedua orangtuanya menaruh harapan besar kelak untuk menjadi orang besar. Demi
cita-cita yang mulia itu, ia dirumahnya juga mendapatkan pendidikan tambahan,
yakni ilmu olah jiwa. Mas Janadi, cucu
dari selir Eyang Sosrowinoto, guru privatnya, mencekoki ajaran tentang
kebatinan,”kesadaran pancaindera” dan “kesadaran naluri”.
Sebuah ajaran yang masih berhubungan erat
dengan tradisi spiritualisme orang Jawa, yang notabene racikan dari berbagai
ajaran agama seperti, Taoisme, Hiduisme, dan Budiesme. Serta berpautan dengan budaya kultural
masyarakat kuno Jawa, kemudian menjelama menjadi keunikan sejati dari Kejawen.
Nah, inlah yang dikemudian hari, ikut membentuk jatidirnya sebagai seorang
penyair dan seniman sejati yang memiliki gaya tersendiri. Meskipun, awalnya
ayahnya tak percaya dengan jalan hidup anaknya seorang seniman. Mengingat,
menjadi seorang seniman kala itu minim materi.
Tetap
saja, ayahnya tak mampu mengendorkan semangatnya menjadi seorang seniman.
Sejakduduk di SMP, Rendra sudah mampu menulis sebuah puisi yang cemerlang.
Bahkan, pada sekolah lanjutan pertama, tulisannya sudah dimuat majalah”Siasat”.
Barulah, saat hidup di kota pendidikan, Yogyakarta, ia mulai melakukan
pengembangannya dalam karya-karyanya. Misalnya,
cerita pendek. Konon, melalui sebuah karya cerita pendeknya membantu
membiayai hidupnya. Diantara kumpulan sajaknya yang pernah diterbitkan pada
Tahun 1957 yakni, berjudul; “Balada
Orang-Orang Tercinta”. Nah, pada periode 1955-1956 mendapatkan penghargaan
sebgai penyair terbaik oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.
Beragam
masalah kehidupan menghampirinya. Ia tetap teguh dengan perjuangan hidupnya di
dunia seniman. Sebagai seorang penyair sejati, Rendra, sangat produktif dalam
mengelurakan karya-karya terbaiknya. Dan hingga sekarang ini, masih relevan.
Misalnya, penggalan puisi yang berjudul”Kesaksian
Akhir Abad” di buku ini, “O, Indonesia! Ah Indonesia! Negara yang
kehilangan makna! Rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya. Berarti sudah
dirusak dasar peradabannya. Dan akibatnya dirusak pula kemanusiannya. Maka
sekarang negara tinggal menjadi peta itupun peta yang lusuh dan hampir sobek
pula. Pendangkalan kehidupan berbangsa telah terjadi. Tata nilai rancu. Dusta,
pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal.”(hal 38)
Buku
setebal 94 halaman ini, tidak hanya berisikan puisi-puisi pendiri bengkel
Teater semata, namun juga menambahkan sekilas mengenai kisah hidupnya. Sedari
kecil hingga ia membangun kariernya sebagai kepala keluarga. Misalnya, ia
pernah menjadi seorang yang mampu hidup serumah bersama ketiga isterinya secara
rukun. Dari ketiga isterinya, Rendra memiliki sebelas anak, yakni, Lima dari
sunarti(Teddy, Andre, Daniel, Samuel, dan klara Sinta), Sitoresmi(Yonas, Sarah,
Naomi, Rachael Saraswati), dan dari Ida( Issais Sadewa dan Maryam Supraba).
Setelah sukses berpoligami, ia tidak mampu mempertahankannya.”mereka menganggap
Rendra lebih menarik menjadi pacar ketimbang sebagai suami”(halaman 61)
Meskipun
telah berpisah dengan isteri-istrinya, hubungannya masih tetap terjalin
harmonis. Menurut pria yang mendapat predikat burung Merak dari Parangtritis
ini, perpisahan tidak menjadikannya hubungan ketegangan batin, namun justeru
melepas ketegangan. Sebagaimana kerja sama dalam pementasan Panembahan Reso, 1986. Antara Rendra dan
mantan isterinya dapat saling bahu-membahu menyukseskan sebuah acara kesenian.
“Wanita itu sebagai imbangannya untuk bisa menembusi alam semesta ini dalam
kebulatannya”.(halaman. 92) Tentunya, dari hal demikian sangat jarang kita
temukan bukan?
Sebagai
seorang seniman sejati yang hidup dalam zaman orde baru tidak membuatnya juga
menjadi seorang penyendiri dan menyepi dari keramaian orang. Ia terus
berkeliling melakukan berbagai macam pementasan. Bahkan, ikut juga melakukan
aksi bersama mahasiswa untuk ikut menyuarakan aspirasinya. Salah satu sajaknya
yang masih bertautan dengan hal ini, yakni mengenai hukum dan
ketatanegaraan.”Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” dan “Kesaksian Akhir Abad”.
Meskipun, ia akatif dalam berbagai
gerakan sosial, ia sama sekali tidak tertarik dan tergoda untuk terjun ke dunia
politik. Nah, dalam konteks inilah, buku kumpulan puisi pilihan Rendra ini,
layak untuk dibaca. Selamat membaca!
Oleh
Ahmad Faozan St, bergiat di Pustaka Tebuireng, Jombang, Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar