Penulis : Aguk Irawan
Tahun Terbit : 2013
Penerbit : Jalasutera Yogyakarta
Tebal :
434 halaman
Harga :
RP68.000
Seorang Sastrawan memiliki
keistimewaan dalam Islam. Mengingat dunia sastra di dataran Arab kala itu sangat digandrungi oleh masyarakat. Dimana kaum Arab saat itu menggantungkan karya-karya
terbaik seperti puisi di dinding Ka'bah. Sebagai simbol kebesaran dan
kebanggaan suku atau ras yang mengalir pada darah mereka. Bahkan, saat itu juga
seorang sastrawan amat disegani, melebihi hartawan, agamawan, maupun filusuf.
Mengutip Muhammad bin Sulam
al-Jumahi, pengamat sastra Arab, peran penyair semakin menjadi-jadi manakala
kitab suci Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad. Al Qur'an yang mengandung
nilai estetika yang luar biasa membuat para sastrawan kala itu berjuang
menandinginya. Padahal Al Qur an sendiri merupakan kitab suci Mahakarya Tuhan,
bukan sebuah kitab sastra.Setidaknya
kata penyair disebutkan secara khusus 10 kali dan 60 kali secara
istimewa oleh Al Qur an.
Ironisnya, sekarang ini dunia sastra
sedang digemparkan dengan sesuatu hal yang miring, yakni mengabaikan nilai-nilai
etika. Aroma kebebasan dalam menciptakan karya lebih dikedepankan. Dari mulai perilaku sastrawan yang tak bermoral karena berbuat asusila
dan liberalisme karya-karya sastra. Dimana karya sastra berisikan cerita-certi
seksual, yang jauh dari nilai edukasi. Aguk Irawan, penulis buku ini mencoba
menggugah kesadaran kaum sastrawan untuk mengedepankan nilai-nilai etika. Pasalnya dalam kitab suci Al Qur'an sudah banyak.
Al Qur’ an sebagai kitab suci umat
Islam, tidak menginginkan sebuah karya sastra seperti puisi hanya untuk
menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan atau mengumbar hawa nafsu dan
sejenisnya. Sudah selayaknya seorang sastrawan mementingkan ideologi(tentunya
dengan tidak melupakan estetika ), bagaiamana karya sastra harus memberikan
pencerahan, hikmah, kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa, demi sebuah
kebudayaan.
Teguran tersebut termaktub dalam Al
Qur’ an. “Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesar. Tidakah kau lihat
mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka
sering mebgujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali bagi mereka yang
beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan
pembelaab ketika didzalimi.”( Qs As Sy'ura, 224-227)
Kualitas karya sastra yang baik tidak
hanya terlukiskan dalam sebuah pilihan kata-kata semata. Namun, juga
menyiratkan pesan moral yang positif bagi pembacanya. Prasayarat tersebut yang
sejatinya diperhatikan oleh para sastrawan. Sehingga, kesucian sastra dapat
terjaga. Memang pada hakikatnya sastra adalah dunia rekaan. Ia frasa atau
kalimat yang berbalutkan daya imajinatif dan estetis. Karena mengandung
intensi, baik berupa pikiran, perasaan, pandangan, gagasan atau segenap
pengalaman kejiwaan.
Merujuk pendapatnya Profesor A. Teeuw, karya
sastra tidaklah terlahir dari kehampaan budaya. Ia adalah sesuatu yang terkait
antara tradisi, agama, dan filsafat ilmu sebagai cermin atas realitas sosial.
Karya sastra bukan kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan
terhadap kehidupan yang dilakukan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab sebagai sebuah karya seni.( halaman 52 )
Sekarang ini, karya satra banyak yang
dibuat sedemikain pornonya. Dengan dalil kebebasan mewujudkan ekspresi
kebebasan berkarya. Misalnya, berbau seksual
sekarang ini melimpah ruah. Misalnya
karya sastrawan perempuan seperti, Oka
Rusmini, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Clara Ng, Dinar Rahayu, Nova Riyanti dan
Herlinaties. Seks yang semula tabu dibicarakan mengemuka dalam bentuk-bentuk
sastra menjadi suatu hal yang biasa saja. Karya sastra tersebut di populerkan
sebagai bagaian dari bentuk perjuangan sastra perempuan yang selama ini
terpinggirkan. Walaupun toh cara demikian sah-sah saja, namun tidak
mengedepankan etika.Jika terus memunculkan karya sastra yang telanjang dan
vulgar, jelas berpengaruh meliarkan syahwat masyarakat dan tentu berdampak
negatif.
Buku karya Aguk Irawan ini, merupakan sebuah kumpulan tulisan yang sudah lama mendekam di sebuah folder. Penulis kemudian, membumbuinya kembali dan dijadikan buku. Terlepas dari kekurangan buku ini, yakni
masih sebatas tulisan reflektif. Sebagai buku kumpulan tulisan ini belum mencerminkan sebuah karya yang utuh. Akan
lebih menarik, jika penulis menghadirkan pesan suci ini, yang diambil dari kitab suci semua agama. Kendati
demikian, buku setebal 430 halaman ini amatlah penting. Ajakan menggugah kesadaran
para sastrawan untuk tidak seenaknya sendiri dalam menciptakan sebuah karya
sastra patut diapresiasi.
Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca
Dharama, sastrawan seharusnya dapat mengambil posisi untuk juga berpesan
meluaskan pemahaman manusia, karena dalam hal-hal tertentu ia juga
menyimpan'kebenaran ' dalam isi dan bentuknya, sebagai penyeimbang, dan sebagai
solusi alternatif acuan-acuan budaya modern yang terasa kian tak mencukupi.
Ahmad
Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di
PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
bukunya masih ada????
BalasHapusAssalammu'alaikum.. masih adakah buku nya? Mohon info nya.. terimakasih wassalammu'alaikum..
BalasHapusAssalammu'alaikum.. masih adakah buku nya? Mohon info nya.. terimakasih wassalammu'alaikum..
BalasHapus