Minggu, 16 Februari 2014

Potret Perebutan Ruang Kota di Surabaya


Judul buku      : Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an
Penulis               : Purnawan Basundoro
Tahun Terbit   : 2013
Penerbit            : Marjin Kiri
Tebal                    : 337 halaman
Harga                  : RP. 69.000
ISBN               : 978-979-1260-22-0



 Buku ini mencoba memotret persitiwa perebutan tata ruang kota  antara tahun 1900-1960. Kota Surabaya yang notabene salah satu kota terbesar di Indonesia sekaligus pernah menggeser Batavia, ibukota Hindia Belanda menjadi  bahan objek penelitian. Pada masa kolonial 1906 Surabaya digunakan untuk tiga kategori, yakni administratif,  yaitu keresidenan, kabubaten , dan distrik. Keresidenan Surabaya terletak di ujung Timur Surabaya, menghadap ke laut Jawa dan selat Madura. Sebelah barat berbatasan dengan keresidenan Kediri dan keresidenan Rembang, dan selatan berbatasan dengan Pasuruan. Keresidenan ini membawahi enam kabupaten, yakni Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Lamongan, dan Gresik.

Perlu diketahui bahwa konflik kepentingan mengenai tata ruang hampir terjadi di  kota-kota Besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya. Pengosongan  lahan dengan cara penggusuran rumah-rumah warga yang menempati tanah negara dan partekelir sudah sering dilakukan oleh Satpol PP namun hingga kini tak jua menyelesaikan permasalahan. Surabaya memiliki akar sejarah panjang mengenai persoalan tata ruang.  Sekumpulan manusia dari  mulai percampuran antara orang-orang Bumiputra(orang jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi, Ambon, Sasak, dll), para pendatang dari Eropa, Arab, Cina, dan Timur Asing menghuni kota Surabaya.  

Tentu saja, hingga kini jumlah penduduknya semakin berkembang pesat.  Pada tahun 1900 saja jumlah penduduk di Keresidenan Surabaya mencapai  2.360.909 orang. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu.  Tak pelak, ruang kota pun semakin padat dan tak tersisa. Tak sedikit diantara rakyat miskin harus bertempat tinggal di hunian yang bukan selayaknya. Penduduk yang tidak mendapatkan tempat di ruang privat akhirnya terdesak ke ruang publik.” Semestinya ruang publik di peruntukan untuk masyarakat yang bersifat temporer, akhirnya banyak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang bersifat permanen.”(hal. 199)

Lahirnya orang-orang miskin dan terbatasnya ruang kota menjadi problem baru yang rumit yang menyangkut ruang untuk hidup bagi mereka.  Konsep gagasan ruang kota yang di cetuskan oleh ahli sosial untuk mengklaim bidang-bidang tanah di perkotaan. Bagi mereka yang memiliki uang lebih dapat memperoleh tempat tinggal yang layak. Sebaliknya, bagi mereka yang miskin harus hidup dan tinggal tempat-tempat yang sejatinya bukan diperuntukan  untuk dibangun dan didirikan.  Misalnya,  kolong  jembatan, dan pinggiran kali. Bahkan juga kuburan. Ketika ruang kota menjadi amat mahal, berbagai hal tabu seperti kesakralan pemakaman menjadi rontok dengan sendirinya. Makam bisa menjadi ruang profan dan menjadi kawasan tinggal dan batu nisannya menjadi pondasi.

Masalah tersebut bermula sejak liberalisasi ekonomi mengejala di berbagai perkotaan. Liberalisasi ekonomi pasca di UU Agaria dan UU Gula pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan dan industri, memperluas administrasi sipil, dan mengakibatkan kenaikan cepat jumlah penduduk di perkotaan di Jawa.  Dalam kasus  perebutan ruang kota, Ramlan Surbakti membagi beberapa pola. Pertama, pemertintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan.

Kedua, pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakn menyerobot tanah miliki pemerintah kota. Ketiga, pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum. Keempat, warga dengan pengembang berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum di pemukiman. Persaingan untuk mendapatkan ruang kota melibatkan semua unsur utamanya mereka yang berkepentingan atas ruang tersebut. ”Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya terjadi karena kenaikan jumlah penduduk”(hal.15)

Selama tahun 1900-1960 an masyarakat Bumiputera di Surabaya melakukan perlawanan. Demi untuk mendapatkan tanah mereka.  Pertama, ketika para tuan tanah menghendaki para penghuni tanah partikelir meninggalkan tempat bermukim. Kedua, perlawanan dalam bentuk perluasan tempat tinggal secara merangkak dan perlahan. Jika pada masa kolonial negara berkolusi dengan kekuatan modala, maka pada awal kemerdekaan negara berperan sebagai pemain tunggal karena kekuatan modal belum bangkitt akibat keterputusan sejarah pada periode Jepang.   

Menurut Purnawan Basundoro, penulis buku ini, secara faktual bahwa perebutan ruang di kota Surabaya yang terjadi antara tahun 1900-1960 an dibagi menjadi dua macam. Pertama, periode bertahan(defensive period) bagi rakyat miskin. Yaitu peride yang berlangsung menjelang periode Jepang. Kedua periode menyerang(Offensive period) bagi rakyat miskin, yang dimulai sejak awal kemerdekaaan sampai 1960 an.  

Kajian sejarah ini, penting untuk dijadikan rujukan. Sekiranya, kedepan persoalan ini menjadi kajian yang serius bagi pemerintah kota. Sehingga, persoalaan tata ruang kota tidak kembali terjadi. Bukan mustahil, jika konflik-konflik di perkotaan yang disebabkan oleh perebutan ruang berpotensi untuk terus membesar, jika tidak ada upaya pencegahan yang lebih serius.

Diresensi Ahmad Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar