Judul Buku: Aku Lupa Bahwa Aku Wanita
Penulis: Ikhsan Abdul Quddus
Penerbit: Alvabet
Tahun: 1, April 2012
Tebal: 228 halaman
Tebal: 228 halaman
Harga: Rp 40.000
Selama ini dunia politik acapkali dipandang
sebagai dunianya kaum laki-laki. Menurut pandangan sebagian orang, dunia
politik penuh intrik dan lobi. Wanita kurang layak berada di dalamnya. Memang sudah banyak wanita menjadi Menteri dan Politisi namun masih dalam skala kecil. Sempitnya
ruang yang diberikan kepada wanita membuat posisi strategis seperti jabatan
publik banyak di dominasi oleh kaum laki-laki. Selama berabad-abad wanita juga selalu
mendapatkan ruang gerak yang sempit baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Konon, dahulu wanita hanya diberikan
kewenangan dalam tiga hal yakni, urusan dapur,
sumur, dan kasur. Tak pelak, diskriminatif terhadap wanita tak terelakan. Bukankah, wanita juga berhak menetukan
kariernya?
Novel ini, mengisahkan kisah
perjuangan Suad, politikus wanita dari Mesir. Sebagai tokoh politisi ia
berusaha untuk merubah paradigma keluarga dan masyarakat yang hidup di
sekitarnya, bahwa kaum wanita itu tidak lemah. Dan berhak menentukan karirnya
dalam kehidupan sosial. Wanita bukan sebuah pabrik yang menopang keberlangsungan masyarakat. Salah satu faktor yang membuatnya ingin
tampil berbeda dengan wanita pada umumnya yakni, supaya menjadi pribadi yang memimpin.
Sebab, “ia tidak mau menjadi wanita hanya sekadar menunjukan ketaatan kepada
perintah, melainkan atas sikap memerintah yang argumentatif ”.(hal, 5) Baik
dalam wilayah keluarga maupun sosial. Bukankah, wanita juga memiliki hak yang
sama dengan kaum laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan berkontribusi dalam
ranah sosial?
Bagi Suad, ikut andil dalam pergerakan sosial memang
dianggap tidak lazim. Namun, sampai kapan hal
semacam itu akan tetap berlangsung?
Sebagai wanita tentu memiliki rasa yang sama dengan kaum laki-laki untuk
mewujudkan karirnya dalam ranah sosial. Ia, memulai memulai membangun kariernya sebagai aktifis
dan tokoh politik berawal dari perkumpulan di dalam kampusnya. Yang akhirnya,
menambah jaringan dengan para politisi, praktisi hukum, dan ahli sosial diluar
kampus.
Hidup dalam budaya patriakhi
tak dapat dipungkiri bahwa peran wanita sangat sempit. Bahkan, selalu tidak
mendapatkan ruang untuk menentukan pilihan hidup yang sesuai dengan pilihannya.
Bagi Suad, mengembangkan karier untuk menjadi politisi merupakan pilihan hidup
yang tidak lazim khususnya di negara seperti Mesir. Ia pun terkadang harus
melarikan diri dari tabiatnya sebagai seorang wanita. Demi, mengejar ambisi dan
kariernya menjadi wakil rakyat tak ada yang mampu menghalanginya. Sekalipun
keluaraganya. Setidaknya ada beberapa persoalan krusial yang menjadi tantangan
bagi wanita karier. Terlebih, pasca membangun keluarga.
Setidaknya, ada beberapa tantangan berat yang harus
dihadapi wanita dalam memperjuangkan
kariernya sebagai tokoh pergerakan sosial. Terlebih, ketika si wanita sudah berkeluarga. Diantaranya, bertanggungjawab
dalam urusan keluarga. Sebab, beban itu menjadi
sebuah tuntutan dan kewajiban bagi kaum wanita dalam urusan mendidik dan
bertanggungjawab kepada anak. Ironisnya, laki-laki menuntut sepenuhnya kepada wanita.
Padahal, pelbagai masalah keluarga seperti anak merupakan tanggungjawab kedua
belah pihak.
Kedua, sosial. Membangun
hubungan sosial dengan masyarakat luas diluar merupakan hal terpenting bagi
seorang aktifis. Untuk membangun jaringan. Stigma negatif masyarakat mengenai wanita di
ruang publik selalu di penuhi muatan negatif dan kecurigaan. Tentunya, untuk mengembangkan
jaringannnya menjadi susah. Bagi Suad, kehidupan pribadi dan rumah tangga tidak
lebih mudah dibanding mengembangkan karier dan pekerjaan.
Namun,
ia tak pernah kendur dalam berjuang menentukan kariernya du dunia perpolitikan.
Salah satu capaian kesuksesan yang Suad raih saat mewujudkan kariernya yakni, menjadi
salah satu anggota perwakilan rakyat dari kaum wanita. Walaupun, ia sempat
mendapat pertentangan dari keluarga dan masyarakat namun ia telah mengukir
sejarah dalam menciptakan kemerdekaan bagi “Mesir”negerinya.
Pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun di Mesir kaum wanita tidak pernah
mendapatkan ruang gerak baik dalam keluarga maupun sosial.
Buku
setebal 228 halaman ini, merupakan sebuah refleksi tuntutan kesetaraan jender, di
kemas dalam bahasa sederhana dan mengesankan serta kaya akan muatan filsafat
membuat pembaca mudah mencernanya. Sebagai buah dari andil pergerakan
kaum wanita di Mesir, kini ruang gerak kebebasan wanita semakin terbuka.
Selamat membaca!
Peresensi Ahmad Faozan,
Bergiat di Renaisant Instute, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar