Selasa, 17 Juli 2012

Kisah Pertentangan Bathin Wanita



Judul Buku: Aku Lupa Bahwa Aku Wanita
Penulis: Ikhsan Abdul Quddus
Penerbit: Alvabet
Tahun: 1, April 2012
Tebal: 228  halaman
Harga: Rp 40.000


Selama ini dunia politik acapkali dipandang sebagai dunianya kaum laki-laki. Menurut pandangan sebagian orang, dunia politik penuh intrik dan lobi. Wanita kurang layak berada di dalamnya. Memang  sudah banyak wanita menjadi Menteri dan Politisi namun masih dalam skala kecil. Sempitnya ruang yang diberikan kepada wanita membuat posisi strategis seperti jabatan publik banyak di dominasi oleh kaum laki-laki. Selama berabad-abad wanita juga selalu mendapatkan ruang gerak yang sempit baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Konon, dahulu  wanita hanya diberikan kewenangan dalam tiga hal yakni, urusan dapur, sumur, dan kasur. Tak pelak, diskriminatif terhadap wanita tak terelakan. Bukankah, wanita juga berhak menetukan kariernya?

Novel ini, mengisahkan kisah perjuangan Suad, politikus wanita dari Mesir. Sebagai tokoh politisi ia berusaha untuk merubah paradigma keluarga dan masyarakat yang hidup di sekitarnya, bahwa kaum wanita itu tidak lemah. Dan berhak menentukan karirnya dalam kehidupan sosial. Wanita bukan sebuah pabrik yang menopang keberlangsungan masyarakat. Salah satu faktor yang membuatnya ingin tampil berbeda dengan wanita pada umumnya yakni, supaya menjadi pribadi yang memimpin. Sebab, “ia tidak mau menjadi wanita hanya sekadar menunjukan ketaatan kepada perintah, melainkan atas sikap memerintah yang argumentatif ”.(hal, 5) Baik dalam wilayah keluarga maupun sosial. Bukankah, wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan berkontribusi dalam ranah sosial?

Bagi Suad, ikut andil dalam pergerakan sosial memang dianggap tidak lazim. Namun, sampai kapan hal semacam itu akan tetap berlangsung?  Sebagai wanita tentu memiliki rasa yang sama dengan kaum laki-laki untuk mewujudkan karirnya dalam ranah sosial. Ia, memulai memulai membangun kariernya sebagai aktifis dan tokoh politik berawal dari perkumpulan di dalam kampusnya. Yang akhirnya, menambah jaringan dengan para politisi, praktisi hukum, dan ahli sosial diluar kampus.

Hidup dalam budaya patriakhi tak dapat dipungkiri bahwa peran wanita sangat sempit. Bahkan, selalu tidak mendapatkan ruang untuk menentukan pilihan hidup yang sesuai dengan pilihannya. Bagi Suad, mengembangkan karier untuk menjadi politisi merupakan pilihan hidup yang tidak lazim khususnya di negara seperti Mesir. Ia pun terkadang harus melarikan diri dari tabiatnya sebagai seorang wanita. Demi, mengejar ambisi dan kariernya menjadi wakil rakyat tak ada yang mampu menghalanginya. Sekalipun keluaraganya. Setidaknya ada beberapa persoalan krusial yang menjadi tantangan bagi wanita karier. Terlebih, pasca membangun keluarga.

Setidaknya, ada beberapa tantangan berat yang harus dihadapi wanita dalam memperjuangkan kariernya sebagai tokoh pergerakan sosial. Terlebih, ketika si wanita sudah berkeluarga. Diantaranya, bertanggungjawab dalam urusan keluarga. Sebab, beban itu menjadi sebuah tuntutan dan kewajiban bagi kaum wanita dalam urusan mendidik dan bertanggungjawab kepada anak. Ironisnya, laki-laki menuntut sepenuhnya kepada wanita. Padahal, pelbagai masalah keluarga seperti anak merupakan tanggungjawab kedua belah pihak.

Kedua, sosial. Membangun hubungan sosial dengan masyarakat luas diluar merupakan hal terpenting bagi seorang aktifis. Untuk membangun jaringan. Stigma negatif masyarakat mengenai wanita di ruang publik selalu di penuhi muatan negatif dan kecurigaan. Tentunya, untuk mengembangkan jaringannnya menjadi susah. Bagi Suad, kehidupan pribadi dan rumah tangga tidak lebih mudah dibanding mengembangkan karier dan pekerjaan.

Namun, ia tak pernah kendur dalam berjuang menentukan kariernya du dunia perpolitikan. Salah satu capaian kesuksesan yang Suad raih saat mewujudkan kariernya yakni, menjadi salah satu anggota perwakilan rakyat dari kaum wanita. Walaupun, ia sempat mendapat pertentangan dari keluarga dan masyarakat namun ia telah mengukir sejarah dalam menciptakan kemerdekaan bagi “Mesir”negerinya. Pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun di Mesir kaum wanita tidak pernah mendapatkan ruang gerak baik dalam keluarga maupun sosial.

Buku setebal 228 halaman ini, merupakan sebuah refleksi tuntutan kesetaraan jender, di kemas dalam bahasa sederhana dan mengesankan serta kaya akan muatan filsafat membuat pembaca mudah mencernanya. Sebagai buah dari andil pergerakan kaum wanita di Mesir, kini ruang gerak kebebasan wanita semakin terbuka. Selamat membaca!

Peresensi Ahmad Faozan, Bergiat di Renaisant Instute, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar