16, Desember 2012
Judul Buku: Taira no Masakado
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Oktober 2012
Tebal: 635 Halaman
Dalam sejarah Jepang Timur, pada abad ke-10 menyisakan sebuah cerita hidup pangeran Shimosa yang fenomenal. Kojiro pangilan Masakado, sang pangeran dari Bando memiliki
pengalaman hidup yang banyak membuat penasaran sebagaian orang. Sosok pangeran
yang dikenal baik hati, gagah, dan perkasa menjadi tokoh legenda di Jepang
sepanjang masa. Pasalnya, sebagai orang yang memiliki hubungan darah dari
Kaisar Kanmu harus mengalami derita hidup. Kebahagiaan hidup pangeran
muda ini, direnggut oleh pamannya pasca ayahnya meninggal dunia, ketika itu ia
baru berusia 14 tahun, atau sekitar tahun 916 Masehi.
Peristiwa tersebut telah merubah jalan hidup Kojiro
secara drastis, dari seorang pangeran muda kaya raya menjadi sosok yatim piatu
yang miskin dan kerdil. Pangeran muda akhirnya dikirim pamannya ke Kyoto untuk
menimba pengalaman hidup. Maka, berangkatlah Kojiro ke Kyoto, sebuah kota yang
menjadi wujud nyata kebanggan klan Fujiwara yang saat itu tengah berkuasa. Demi
untuk menopang kehidupannya, Ia bekerja menjadi pelayan kelas rendah di tempat
kediaman Fujiwara no Tadahira, menteri kiri di pemerintahan.
Hidup di ibukota, membuat Kojiro banyak memahami seluk beluk kehidupan
kota dan mengetahui apa yang yang harus ia kerjakan. Berada di kota, selama tiga belas tahun
lamanya, banyak pelajaran hidup yang ia petik. Sekaligus, mengantarkan Masakado
berkenalan dan bersahabat dekat dengan Yasaka no Fujito, pemimpin dari gerobolan
pengacau Ibukota serta Fujiwara no Sumitomo, si penguasa Laut Selatan. Selain
itu, ia juga bertemu dengan saudaranya dari Kunika, pamannya, Shigemori dan
Tadamori.
Setelah merasa
cukup hidup di Ibukota, Kojiro merasa tak nyaman. Ia pun lantas memutuskan
untuk kembali ke Toyoda, kampung halamannya di Bando. Sosok pangeran muda gagah
perkasa siap untuk meneruskan pengabdiannya di kampung halamannya. Tentu saja, kepulangannya menjadi pewaris bagi
di wilayah Bando. Sesampainya dikampung halaman ia melihat dan merasakan
kondisi yang telah banyak perubahan.
Terlebih, setelah ia mengetahui seluruh harta
beserta keluarga, dikuasai oleh ketiga
pamannya; Kunika, Yoshikane, dan Yoshimasa yang mendapat wasiat untuk menjaga
Kojiro dan adik-adiknya hingga dewasa kelak. Usaha mengembalikan kejayaan
keluarga pun mulai dilakukan. Menurutnya, tugas pokok yang paling berat dalam
hidup adalah bertanggungjawab kepada keluarga.”(hlm, 181)
Bencana alam tidak seberapa justeru bencana perbuatan
manusalah yang tak boleh dibiarkan, keadaan ini tidak boleh dibiarkan. Demi mempertahankan
wilayah dan kehormatannya, lantas spirit dalam jiwannya mulai dikibarkan. Ia pun menuntut, pamannya
untuk mengembalikan semua harta peninggalanan ayahnya. Tak pelak, pamananya pun
menudingnya tidak tahu berterimakasih. Ketegasan dan tak kenal kompromi
Masakado terhadap pamannya memunculkan babak baru yakni, Perang paman dengan keponakan pun akhirnya tak
terhindarkan.
Sebagai pemimpin
yang dekat dengan rakyatnya membuat ia banyak dicintai dan dihormati. Kehiduapannya terasa sepi tanpa keberadaan
wanita di sampingnya. Lantas, membuat Masakado jatuh cinta kepada Kikyo,
putri perajin baju zirah yang pernah ditolong ayahnya. Cinta bersambut dan
mendapat persetujuan kedua orangtua Kikyo. Ironisnya, tragedi baru terus
mengintip. Dua putra Minamoto no Mamoru dari klan Hitachi Genji, tuan tanah di
Dataran Bando, juga menginginkan Kikyo.
Dua putra Minamoto dibakar cemburu buta. Hasutan
ketiga paman Masakado mendorong mereka untuk membuat gerakan yang memunculkan
perang antarklan berkepanjangan yang selalu dimenangi Masakado. Tek pelak, perang
antarklan pun berkembang menjadi pemberontakan, diiringi hembusan isu yang
menyebut Masakado sebagai kaisar baru. Akhirnya, Soma no Kojiro Masakado
meninggal dalam perang pada 14 Februari 940 M.
Menurut Eji Yoshikawa, masakado memiliki dua
kepribadian, mirip sisi depan dan belakang perisai. Pada sisi yang satu sebagai
pemimpin yang dengan ganas menaklukan kedelapan negeri Bando. Pada sisi yang
lain, ia selalu dikuasai kegelesihan. Kehadirian buku setebal 635 halaman ini, membantu Anda mengenal jejak perjalanan hidup
Taira no Masakado, sedari kecil hingga kematian menjemput. Selamat membaca!
Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar