Kamis, 06 Desember 2012

Ulama Ditengah Modernitas



Judul:  Ulama dan Kekuasaan: Pengumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
Penulis: Jajat Burhanudin
Penerbit: Naura Book
Tahun: 1, Juni 2012
Tebal: 481 halaman
Harga:Rp. 75.000



Dalam lintasan sejarah, ulama memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Selain menjadi juru dakwah ajaran Islam dan menuntun umat, ulama juga ikut serta dalam membangun satu kekuatan sosial-politik yang menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan, sebelum bangsa”Indonesia” ini terlahir  pada zaman kerajaan, ulama menjadi kelompok sosial utama yang terlibat dalam kehidupan istana kerajaan. Wajar, jika para raja memberikan jabatan tertinggi kepada para ulama seperti, sebagai penasihat kerajaan.

 Dibawah bendera Islam tradisional, ulama mampu mengetangahkan dan memberi rumusan baru yang relevan terhadap pemikiran dan praktik Islam, khusunya dikalangan kaum santri untuk di sesuaikan dengan situasi dan kondisi.Sehingga ulama mampu mempertahankan posisi penting dalam sendi kehidupan masyarakat, politik Indonesia, dan menjaga perannya dalam masyarakat Indonesia modern. Tentunya, melalui perjuangan panjang para ulama dalam melewati berbagai proses perubahan sosial politik dalam sejarah Indonesia bukan?

Buku yang merupakan Disertasi Jajat Burhanudin di Universitas Leiden, Belanda  ini, berusaha menelusuri upaya para ulama dalam membangun peran dan legitimasi sosi-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Menurut penulis, ulama memiliki fondasi kuat, baik secara kultural maupun sosial, yang membuat mereka mampu merespon berbagai perubahan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 hingga sekarang ini.

Misalnya, pada masa ketika Islam baru muncul sebagai sebuah ideologi politik yang mapan di kerajaan, dan ulama dilembagakan ke dalam kadi dan Syaikhul Islam, absolutisme raja memperoleh momentumnya dalam sejaah Indonesia. Pola hubungan ulama dan raja ini tetap terpelihara hingga panorama politik Nusantara berubah. Dalam konsep politik, ulama mampu menunjukan otoritas politik raja berbasiskan agama. Konsep  kedaulatan yang notabenya berasal dari bahasa Arab, “D, W, L,” dengan makna bergilir dan berganti. Kemudian, berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti dan akhirnya sebuah kerajaan.(halaman 25) 

Salah satu ulama yang memiliki peran dan sumbangsih besar bagi umat, agama, dan bangsa Indonesia yakni, sosok KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Tebuireng. Selain dikenal sebagai Mahagurunya para ulama Nusantara, beliau juga memiliki jaringan intelektual Muslim di kancah internasional yang sangat luas. Mantan pendiri NU itu,  telah mempelopori pembentukan komunitas ulama yang sadar akan dirinya, diatas landasan yang memungkinkan mereka memasuki panggung intelektual dan sosial Hindia Belanda yang modern di awal abad ke-20. 

Konon, Hasyim Asy’ari sudah melahirkan 20.000  ulama lewat pesantrennya”Tebuireng”. Beliau juga mampu melibatkan ulama pesantren dalam kondisi modernitas Indonesia masa itu. Pasca, ketiadaan Hasyim Asy’ari perjuangan sosial politiknya dianjutkan kembali oleh keturunannya seperti Wahid Hasyim”Puteranya” dan Gus Dur”Cucunya”. Ditengah mencuatnya tokoh-tokoh pembaharu Muslim baru, “Intelektual Muslim” yang mempunyai agenda berbeda dengan para ulama, tentunya menjadi tantangan atas kepemimpinan para ulama sekarang ini. 

Pasalnya, para pemuka Muslim baru diakui maupun tidak kini telah mengambil peran aktifis dengan mengatasnamakan berbagai istilah keislmanan. Bahkan, juga telah memegang peranan penting dalam pembentukan wacana keIslaman di Indonesia kontemporer. Mengapa para ulama yang dikenal memiliki pengaruh sosial yang sangat kuat di masyarakat justeru menjadi tokoh dibalik layar saat ini?

Masuknya beberapa gerakan Islam radikal pasca jatuhnya Orde Baru pada Tahun 1998 seperti, di wakili oleh Fron Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad( LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Yang memperjuangkan Islam radikal dan mencita-citakan penerapan hukum Islam(syari’ah) di lingkungan sosial-politik Indonesia bertolak belakang dengan visi para ulama . Ironisnya, dakwah mereka banyak di gambarkan  masyarakat dengan wajah sangar dan garang, bukan melainkan dengan wajah Islam yang santun "Rahmatan lil alamin"sebagaimana yang di dakwahkan para ulama.

Selain itu, meskipun para pemuka Muslim kontemporer saat ini berhasil merebut  peran dan posisi penting dari para ulama, namun ulama masih memiliki kekuatan sosial politik yang tak bisa dikalahakan. Merujuk hasil hasil survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat(PPIM) UIN Jakarta(2004-2006) membuktikan, bahwa ulama masih memiliki kedudukan yang penting di masyarakat.

Dari survei tahun 2004 dengan 1.880 responden hampir di seluruh wilayah Indonesia sekitar 44,6 persen responden masih sering mendatangi ulama untuk meminta nasihat. Dan hanya 12, 8 persen responden yang tak mendatangi ulama.  Sedangkan, Tahun 2006 jumlahnya meningkat, dengan 850 responden di seluruh wilayah yang bermayoritas Muslim Indonesia 63,9 persen responden diantarnya mengatakan sering meminta nasihat keagamaan kepada para ulama. 

Dengan demikian, ulama masih memegang peranan strategis dalam pembentukan religiositas umat Muslim Indonesia.  Tentu, menjadi sebuah gambaran sosial-politik Indonesia di masa depan bagi mayoritas penduduk Muslim Indonesia. Ditengah modernasi seperti sekarang ini, mengapa para ulama kini semakin meredup baik dalam dunia politik maupun akademis dalam menggulirkan wacana keIslaman modern?

Buku setebal 481 halaman ini, menggugah kembali para ulama untuk ikut serta menyelematkan bangsa ini, dari ancaman para pendatang baru yang berkoar-koar bersikeras mendirikan negara Islam. Dan, membimbing umatnya menuju kesalihan sosial. Bukankah, saat ini  juga dunia politik tanpa peran ulama sudah semakin berjalan tanpa arah? Selamat membaca!
  
Oleh  Ahmad Faozan, Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar