Judul: Ulama dan Kekuasaan: Pengumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia
Penulis: Jajat Burhanudin
Penerbit: Naura Book
Tahun: 1, Juni 2012
Tebal: 481 halaman
Harga:Rp. 75.000
Dalam lintasan sejarah, ulama memiliki peran
penting dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Selain menjadi juru dakwah
ajaran Islam dan menuntun umat, ulama juga ikut serta dalam membangun satu
kekuatan sosial-politik yang menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Bahkan, sebelum bangsa”Indonesia” ini terlahir
pada zaman kerajaan, ulama menjadi kelompok sosial utama yang terlibat
dalam kehidupan istana kerajaan. Wajar, jika para raja memberikan jabatan
tertinggi kepada para ulama seperti, sebagai penasihat kerajaan.
Dibawah
bendera Islam tradisional, ulama mampu mengetangahkan dan memberi rumusan baru
yang relevan terhadap pemikiran dan praktik Islam, khusunya dikalangan kaum
santri untuk di sesuaikan dengan situasi dan kondisi.Sehingga ulama mampu
mempertahankan posisi penting dalam sendi kehidupan masyarakat, politik
Indonesia, dan menjaga perannya dalam masyarakat Indonesia modern. Tentunya,
melalui perjuangan panjang para ulama dalam melewati berbagai proses perubahan
sosial politik dalam sejarah Indonesia bukan?
Buku yang merupakan Disertasi Jajat Burhanudin di
Universitas Leiden, Belanda ini,
berusaha menelusuri upaya para ulama dalam membangun peran dan legitimasi
sosi-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Menurut penulis, ulama
memiliki fondasi kuat, baik secara kultural maupun sosial, yang membuat mereka
mampu merespon berbagai perubahan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 hingga
sekarang ini.
Misalnya, pada masa ketika Islam baru muncul
sebagai sebuah ideologi politik yang mapan di kerajaan, dan ulama dilembagakan
ke dalam kadi dan Syaikhul Islam, absolutisme raja memperoleh
momentumnya dalam sejaah Indonesia. Pola hubungan ulama dan raja ini tetap terpelihara
hingga panorama politik Nusantara berubah. Dalam konsep politik, ulama mampu
menunjukan otoritas politik raja berbasiskan agama. Konsep kedaulatan yang notabenya berasal dari bahasa
Arab, “D, W, L,” dengan makna bergilir dan berganti. Kemudian,
berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti
dan akhirnya sebuah kerajaan.(halaman 25)
Salah satu ulama yang memiliki peran dan
sumbangsih besar bagi umat, agama, dan bangsa Indonesia yakni, sosok KH. Hasyim
Asy’ari, pendiri Tebuireng. Selain dikenal sebagai Mahagurunya para ulama
Nusantara, beliau juga memiliki jaringan intelektual Muslim di kancah
internasional yang sangat luas. Mantan pendiri NU itu, telah mempelopori pembentukan komunitas ulama
yang sadar akan dirinya, diatas landasan yang memungkinkan mereka memasuki
panggung intelektual dan sosial Hindia Belanda yang modern di awal abad ke-20.
Konon, Hasyim Asy’ari sudah melahirkan 20.000
ulama lewat pesantrennya”Tebuireng”. Beliau juga mampu melibatkan ulama
pesantren dalam kondisi modernitas Indonesia masa itu. Pasca, ketiadaan Hasyim Asy’ari perjuangan sosial
politiknya dianjutkan kembali oleh keturunannya seperti Wahid Hasyim”Puteranya”
dan Gus Dur”Cucunya”. Ditengah mencuatnya tokoh-tokoh pembaharu Muslim baru,
“Intelektual Muslim” yang mempunyai agenda berbeda dengan para ulama, tentunya
menjadi tantangan atas kepemimpinan para ulama sekarang ini.
Pasalnya, para
pemuka Muslim baru diakui maupun tidak kini telah mengambil peran aktifis
dengan mengatasnamakan berbagai istilah keislmanan. Bahkan, juga telah memegang
peranan penting dalam pembentukan wacana keIslaman di Indonesia kontemporer.
Mengapa para ulama yang dikenal memiliki pengaruh sosial yang sangat kuat di
masyarakat justeru menjadi tokoh dibalik layar saat ini?
Masuknya beberapa gerakan Islam radikal pasca
jatuhnya Orde Baru pada Tahun 1998 seperti, di wakili oleh Fron Pembela Islam
(FPI), Laskar Jihad( LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Yang memperjuangkan Islam radikal dan mencita-citakan
penerapan hukum Islam(syari’ah) di lingkungan sosial-politik Indonesia bertolak belakang dengan visi para ulama . Ironisnya, dakwah mereka banyak
di gambarkan masyarakat dengan wajah sangar dan garang, bukan melainkan dengan wajah Islam yang santun "Rahmatan lil alamin"sebagaimana
yang di dakwahkan para ulama.
Selain itu, meskipun para pemuka Muslim kontemporer saat ini berhasil
merebut peran dan posisi penting dari
para ulama, namun ulama masih memiliki kekuatan sosial politik yang tak bisa dikalahakan.
Merujuk hasil hasil survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat(PPIM) UIN Jakarta(2004-2006) membuktikan, bahwa ulama masih memiliki
kedudukan yang penting di masyarakat.
Dari survei tahun 2004 dengan 1.880 responden hampir
di seluruh wilayah Indonesia sekitar 44,6 persen responden masih sering
mendatangi ulama untuk meminta nasihat. Dan hanya 12, 8 persen responden yang
tak mendatangi ulama. Sedangkan, Tahun
2006 jumlahnya meningkat, dengan 850 responden di seluruh wilayah yang
bermayoritas Muslim Indonesia 63,9 persen responden diantarnya mengatakan
sering meminta nasihat keagamaan kepada para ulama.
Dengan demikian, ulama masih memegang peranan
strategis dalam pembentukan religiositas umat Muslim Indonesia. Tentu, menjadi sebuah gambaran sosial-politik
Indonesia di masa depan bagi mayoritas penduduk Muslim Indonesia. Ditengah
modernasi seperti sekarang ini, mengapa para ulama kini semakin meredup baik
dalam dunia politik maupun akademis dalam menggulirkan wacana keIslaman modern?
Buku setebal 481 halaman ini, menggugah kembali
para ulama untuk ikut serta menyelematkan bangsa ini, dari ancaman para
pendatang baru yang berkoar-koar bersikeras mendirikan negara Islam. Dan,
membimbing umatnya menuju kesalihan sosial. Bukankah, saat ini juga dunia politik tanpa peran ulama sudah
semakin berjalan tanpa arah? Selamat membaca!
Oleh
Ahmad Faozan, Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar