Judul Buku: Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: 394 Halaman
Novel ini, menceritakan peristiwa sejarah
konstelasi politik kaum samurai. Dimana para elit penguasa dari Klan Taira yang
berusaha menanamkan politik kekerabatan tanpa melibatkan pihak-pihak dari luar.
Sehingga, menimbulkan gejolak politik yang sangat dahsyat. Padahal sejak Dinasti Sung di China mulai masuk ke
Jepang. Rute Baru Laut Dalam Seto mulai di buka secara selebar-lebarnya,
pelabuhan Hyogo pun lantas dibangun serta diperbaiki, sehingga di setiap
pelabuhan menjadi ramai dengan kapal-kapal Jepang maupun Sung. Dan hal itu
menjadi tonggak sejarah perubahan bagi bangsa Jepang. Pasalnya, bukan hanya
barang dagangan semata yang di datangkan, tapi buku sejarah atau ekonomis di
impor untuk di persembahkan ke Istana kekaisaran.
Tokoh yang paling berjasa dalam perubahan Jepang
kala itu yakni, Kaisar nyuudou Kiyomori. Kendati demikian, Kaisar Kiyomori
memiliki sisi kepribadian yang tidak lazim baginya sebagai tokoh perubahan
Jepang. Ia menyelipkan pemikiran secara politik. Demi keuntungan sepihak yakni,
klan Taira secara permanen, sehingga klan Minamoto selalu tersisihkan dan
memiliki niatan untuk menumbangkan pemerintahan.
Para pemimpin dan politikus kerajaan dari klan
Taira bersikap sesuka hati. Misalnya, sosok Kaisar Kiyomori adalah orang yang
berdarah dingin, layaknya seorang dikator, jika kebenaran logisnya tidak dapat
diterima pihak lain secara logis, dia selalu menggunakan kekuasaan dengan
berseru, Habisi dia!. Kiyomori juga menjadi tokoh Jepang yang banyak
menempatkan kerabatnya duduk di kursi Pemerintahan.
Dari sepuluh keluarganya menduduki posisi
tertinggi dalam Kementrian, tiga puluh orang lebih menjadi pejabat Istana, Misalnya,
Tsunemori, adiknya menjadi Wakil Jenderal, Yorimori menjadi Penasihat Besar
Istana, Shigemori, putra sulung Kiyomori, menjadi Jenderal Kanan Pengawal. Hal
demikian, terpotret secara indah dari puisi karya Fujiwara no Michinaga. “Dunia
ini adalah duniaku, karena itulah bulan purnama takkan menyusut,”(hal, 11)
Bagi orang yang bertahta sudah pasti memilki hak
penuh untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan. Namun, bukan berarti
dapat sesukannya hati bersikap demikian, selain dapat menimbulkan kecemburuan
sosial di kalangan masyarakat, sekaligus juga rawan perang saudara di masa
depan. Konon, Kiyomori juga seirngkali
mencampuradukan hasrat duniawi dengan pemerintahan negara.
Walaupun toh
dalam dirinya terdapat cita-cita besar, ide kreatif, dan ide inovatif besar,
namun sangatlah berlebihan. Bukankah, dalam politik sejatinya untuk tujuan kemaslahatan luas. Wajar, jika lantas
banyak rakyat dan pembesar Istana yang tidak menaruh simpatik atas perilakunya
dan sering menyebutnya orang biadab. Sebagaimana peristiwa pelepasan sejumlah pejabat
Pemerintah yakni, terdiri dari 30 orang
pejabat terdekat, mantan Kaisar, mengasingkan Mantan Wakil Kaisar Morofusa, To
Dainagon Sanekuni, Azechu Dainagon dan keturunannya dari ibukota. Ratusan orang
lantas membencinya. Tanda-tanda
perlawanan lantas mulai tumbuh-subur.
Klan Minamoto mulai menebar ancaman, melalui surat
rahasia dari edaran Pangeran Singuu yang mengatasnamanakan Yoritomo berbunyi, “Saatnya
telah tiba, bangkitlah, berkumpullah di bawah bendera Minamoto”.(hal, 46)
Disebarakan ke seluruh klan Minamoto. Masih kuat nya pengaruh Klan
Taira di negeri Izu, menjadikan sedikit orang yang berada di wilayah tersebut
segan dan takut, apalagi berani berkorban untuk merelakan nyawanya demi
perjuangan Klan Minamoto.
Dengan pasukan yang sedikit, sulit membayangkan
sejumlah samurai kecil itu akan mampu membangkitkan kekuasaan yang
menggulingkan kekuasaaan dunia”klan Taira”. Menurut para Samurai, bukan Klan
Taira atau klan Minamoto yang harus dibela, melainkan demi kebenaran sejatinya
yang harus dikibarkan. Berbagai cara dilakukan Pangeran Yoritomo, misalnya
mengajak bergabung dengan banyak pihak dan menguasai wilayah terpencil seperti
Kamakura. Yoritomo menyakinkan pandangannya kepada para komandan.
Menurutnya,
wilayah Kamakura adalah tempat strategis, yang juga memiliki hubungan
historis dengan klan Minamoto. Pihak klan Taira yang lebih unggul dan tangguh,
ibarat satu pasukan melawan sepuluh tentara klan Minomoto. Peperangan pun mulai
membara di berbagai wilayah melawan pasukan dan pendukung utama klan Taira.
Misalnya, peperangan yang tersebar dari kaki Gunung Fuji sampai ke Konshu.
Dimana para penguasa daerah tersebut, seperti Takeda dan Ichijou yang membela
gerakan Yoritomo melawan pasukan klan Taira yang di Pimpin Mokudai di Suruga,
Tachibana no Tooshoge, Matano no Kagehisa.
Tak pelak, sepertiga dari pasukan Taira yang
tersisa. Jumlah pasukan pun lantas semakin meningkar drastis. Dari perjuangan
Pangeran Yoritomo akhirnya berhasil memperbanyak pasukannya. Dari 30.000 orang
menjadi 50.000, kemudian menjadi 70.000, bahkan mencapai 100.000 pasukan yang
siap tempur melawan klan Taira. Merasa tak cukup, Pangeran Yoritomo terus saja
menggalang kekuatan, ia tak bosan-bosannya mengirim surat ke berbagai tempat.
Yang akhirnya, dengan kekuatan besarnya mampu menaklukan dan meluluhlantakan
klan Taira.
Menurut Eiji Yoshikawa, penulis buku ini, dibalik
peristiwa konstelasi politik kaum Samura menyisahkan kisah perjuangan Pangeran
Yoritomo dari klan Taira. Ia bepesan kepada pengikutnya untuk melakukan perubahan
dengan merubah maindset terlebih dahulu. Pasalnya bagi orang yang hendak memperbaiki dunia ini,
dibutuhkan sekumpulan kaum yang bersemangat. Selain itu, jadilah orang yang
dengan senang hati melaksanakan peran yang tidak dapat dilakukan oleh orang
lain. Sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat berhasil kelak”mewujudkan
perubahan”.
Kehadiran buku setebal 394 halaman ini, membantu Anda mengarungi dunia
politik kaum samurai dan menyelami tokoh perubahan kaum samuran yakni, Yoritomo.
Baik saat mulai meyusun strategi, pergerakan masyarakat, berpolitik, dan
memimpin negara. Selamat membaca.!
Ahmad
Faozan, pembaca buku tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar