Selasa, 19 Maret 2013

Kecerdikan Pangeran Yoritomo


Judul Buku: Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: 394 Halaman


                                                      
 Novel ini, menceritakan peristiwa sejarah konstelasi politik kaum samurai. Dimana para elit penguasa dari Klan Taira yang berusaha menanamkan politik kekerabatan tanpa melibatkan pihak-pihak dari luar. Sehingga, menimbulkan gejolak politik yang sangat dahsyat. Padahal  sejak Dinasti Sung di China mulai masuk ke Jepang. Rute Baru Laut Dalam Seto mulai di buka secara selebar-lebarnya, pelabuhan Hyogo pun lantas dibangun serta diperbaiki, sehingga di setiap pelabuhan menjadi ramai dengan kapal-kapal Jepang maupun Sung. Dan hal itu menjadi tonggak sejarah perubahan bagi bangsa Jepang. Pasalnya, bukan hanya barang dagangan semata yang di datangkan, tapi buku sejarah atau ekonomis di impor untuk di persembahkan ke Istana kekaisaran.

Tokoh yang paling berjasa dalam perubahan Jepang kala itu yakni, Kaisar nyuudou Kiyomori. Kendati demikian, Kaisar Kiyomori memiliki sisi kepribadian yang tidak lazim baginya sebagai tokoh perubahan Jepang. Ia menyelipkan pemikiran secara politik. Demi keuntungan sepihak yakni, klan Taira secara permanen, sehingga klan Minamoto selalu tersisihkan dan memiliki niatan untuk menumbangkan pemerintahan.

Para pemimpin dan politikus kerajaan dari klan Taira bersikap sesuka hati. Misalnya, sosok Kaisar Kiyomori adalah orang yang berdarah dingin, layaknya seorang dikator, jika kebenaran logisnya tidak dapat diterima pihak lain secara logis, dia selalu menggunakan kekuasaan dengan berseru, Habisi dia!. Kiyomori juga menjadi tokoh Jepang yang banyak menempatkan kerabatnya duduk di kursi Pemerintahan.

 Dari sepuluh keluarganya menduduki posisi tertinggi dalam Kementrian, tiga puluh orang lebih menjadi pejabat Istana, Misalnya, Tsunemori, adiknya menjadi Wakil Jenderal, Yorimori menjadi Penasihat Besar Istana, Shigemori, putra sulung Kiyomori, menjadi Jenderal Kanan Pengawal. Hal demikian, terpotret secara indah dari puisi karya Fujiwara no Michinaga. “Dunia ini adalah duniaku, karena itulah bulan purnama takkan menyusut,”(hal, 11)

Bagi orang yang bertahta sudah pasti memilki hak penuh untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan. Namun, bukan berarti dapat sesukannya hati bersikap demikian, selain dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat, sekaligus juga rawan perang saudara di masa depan.  Konon, Kiyomori juga seirngkali mencampuradukan hasrat duniawi dengan pemerintahan negara. 

 Walaupun toh dalam dirinya terdapat cita-cita besar, ide kreatif, dan ide inovatif besar, namun sangatlah berlebihan. Bukankah, dalam politik sejatinya untuk tujuan kemaslahatan luas. Wajar,  jika lantas banyak rakyat dan pembesar Istana yang tidak menaruh simpatik atas perilakunya dan sering menyebutnya orang biadab. Sebagaimana peristiwa pelepasan sejumlah pejabat Pemerintah yakni, terdiri dari  30 orang pejabat terdekat, mantan Kaisar, mengasingkan Mantan Wakil Kaisar Morofusa, To Dainagon Sanekuni, Azechu Dainagon dan keturunannya dari ibukota. Ratusan orang lantas membencinya.  Tanda-tanda perlawanan lantas mulai tumbuh-subur.

Klan Minamoto mulai menebar ancaman, melalui surat rahasia dari edaran Pangeran Singuu yang mengatasnamanakan Yoritomo berbunyi, “Saatnya telah tiba, bangkitlah, berkumpullah di bawah bendera Minamoto”.(hal, 46) Disebarakan ke seluruh klan Minamoto. Masih kuat nya pengaruh Klan Taira di negeri Izu, menjadikan sedikit orang yang berada di wilayah tersebut segan dan takut, apalagi berani berkorban untuk merelakan nyawanya demi perjuangan Klan Minamoto.

Dengan pasukan yang sedikit, sulit membayangkan sejumlah samurai kecil itu akan mampu membangkitkan kekuasaan yang menggulingkan kekuasaaan dunia”klan Taira”. Menurut para Samurai, bukan Klan Taira atau klan Minamoto yang harus dibela, melainkan demi kebenaran sejatinya yang harus dikibarkan. Berbagai cara dilakukan Pangeran Yoritomo, misalnya mengajak bergabung dengan banyak pihak dan menguasai wilayah terpencil seperti Kamakura. Yoritomo menyakinkan pandangannya kepada para komandan.

Menurutnya,  wilayah Kamakura adalah tempat strategis, yang juga memiliki hubungan historis dengan klan Minamoto. Pihak klan Taira yang lebih unggul dan tangguh, ibarat satu pasukan melawan sepuluh tentara klan Minomoto. Peperangan pun mulai membara di berbagai wilayah melawan pasukan dan pendukung utama klan Taira. Misalnya, peperangan yang tersebar dari kaki Gunung Fuji sampai ke Konshu. Dimana para penguasa daerah tersebut, seperti Takeda dan Ichijou yang membela gerakan Yoritomo melawan pasukan klan Taira yang di Pimpin Mokudai di Suruga, Tachibana no Tooshoge, Matano no Kagehisa.

Tak pelak, sepertiga dari pasukan Taira yang tersisa. Jumlah pasukan pun lantas semakin meningkar drastis. Dari perjuangan Pangeran Yoritomo akhirnya berhasil memperbanyak pasukannya. Dari 30.000 orang menjadi 50.000, kemudian menjadi 70.000, bahkan mencapai 100.000 pasukan yang siap tempur melawan klan Taira. Merasa tak cukup, Pangeran Yoritomo terus saja menggalang kekuatan, ia tak bosan-bosannya mengirim surat ke berbagai tempat. Yang akhirnya, dengan kekuatan besarnya mampu menaklukan dan meluluhlantakan klan Taira.

Menurut Eiji Yoshikawa, penulis buku ini, dibalik peristiwa konstelasi politik kaum Samura menyisahkan kisah perjuangan Pangeran Yoritomo dari klan Taira. Ia bepesan kepada pengikutnya untuk melakukan perubahan dengan merubah maindset terlebih dahulu. Pasalnya  bagi orang yang hendak memperbaiki dunia ini, dibutuhkan sekumpulan kaum yang bersemangat. Selain itu, jadilah orang yang dengan senang hati melaksanakan peran yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat berhasil kelak”mewujudkan perubahan”. 

Kehadiran buku setebal 394 halaman ini, membantu Anda mengarungi dunia politik kaum samurai dan menyelami tokoh perubahan kaum samuran yakni, Yoritomo. Baik saat mulai meyusun strategi, pergerakan masyarakat, berpolitik, dan memimpin negara. Selamat membaca.!

Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di Yogyakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar