Minggu, 02 Februari 2014

Gus Dur sebagai Laboratorium Kemanusiaan

Judul Buku:Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita: Kenangan, Wawancara Imajiner dan Guyonan Gus Durian
Penulis: As Hikam
Penerbit: Yrama Widya
Cetakan:  2013
Tebal:  312halaman
Harga   : RP. 50.000
ISBN   : 978-602-277-117-3



Gus Dur merupakan salah satu diantara sekian guru bangsa yang tak pernah surut di perbincangkan. Bahkan, sekarang ini, beliau bak laboratorium kemanusiaan. Yang mengundang seseorang untuk meneliti dan menulisnya. Seorang tokoh yang memiliki banyak predikat seperti humaris dan humanis tak cukup hanya di teliti dan dibaca dari satu aspek semata. Kita semua yang sempat menjadi saksi sejarah hidup beliau mengetahui bahwa seluruh hidup Gus Dur didesikasikan untuk perjuangan kemanusiaan.

Sosoknya yang humoris dan bersahabat kepada siapa saja. Pengikutnya yang berbasis di masyarakat bawah sangat setia kepadanya. Sikap dan perlakuan Gus Dur yang baik menjadikannya dapat diterima oleh semua kalangan. Dari mulai agamawan, rakyat kecil, tekhnokrat, ilmuan, dan wartawan. Bahkan, pasca kepergiannya ke alam barzah orang yang datang berduyun-duyun mendoakannya tiada henti saban harinya. Menjadi sebuah bukti bahwa ia mendapatakan penghormatan yang tinggi utamanya bagi masyarakat bawah bukan?

 Buku ini, merupakan kisah kenangan hidup As Hikam bersama Gus Dur. As Hikam, seorang mitra kerja Gus Dur di rezim pemerintahannya, yakni menjadi Menristeknya. Menurutnya, Gus Dur berposisi tidak saja sebagai presiden semata, namun juga sebagai orangtua dan guru dalam kehidupannya. Diantara pengalaman yang berharga, misal kisah saat bercanda mengenai masalah izin penggunaan nama Gus Dur untuk menjadi nama institusi perguruan tinggi. Kala itu, ia duduk bersama Gus Dur, Ghofar, dan jamaah NU.  “Gus, nanti nama panjenengan boleh enggak untuk nama sekolah atau universitas?”

Jawab GD. Ah, nama saya paling untuk TK saja.. sembari tertawa”. Kenapa Gus,? Si orang ini bertanya lagi.”tanya aja ke pak Ghofar(Rahman) ini..Dia kan Ketua PP Maarif NU. Kata Gus Dur dengan senyam-senyum”. Hehehe..” kata pak Ghofar sebelum melanjutkan.  Kata Gus Dur, kalau nama universitas, itu sudah jadi milik Mbah Hasyim, makanya ada UNHAS(Universitas Hasyim Asy’ari), seperti yang di jombang itu. Kalau untuk SMA dan Aliyah sudah menjadi milik Kiyai Wahid Hasyim(makanya banyak SMA Wahid Hasyim), kalau SMP dan Tsanawiyah pakai nama Mbah Bisri atau Mualimat Wahab Hasbullah). 

Kalau pak Ud nanti wafat, paman GD dipakai untuk nama SD, kan GD kebagian TK, TK Abduramhan Wahid, hehehe.”(Semua orang tertawa ngakak). GD lalu menyambung, kasihan nama-nama beliau yang begitu besar kita pasang universitasnya ternyata Cuma untuk tombo pengen saja, alias UTP. Semestinya kalau membawa nama besar, harus mutunya sama besarnya.” NU Tidak penting menciptakan banyak sekolah atau universitas, selama belum menunjukan kualitas.  (hal. 29)

Bagi As Hikam, Gus Dur banyak mengajarkan dan mendorong supaya dirinya memiliki  pengalaman dan pengetahuan luas dalam kehidupan. Sebagaimana dukungannya, yakni keikutsertaannya mengikuti pelatihan yang dilakukan sahabatnya. Alkisah, pada suatu kesempatan, ia pernah mengikuti pelatihan di Ashram Ajarn Sulak Sivakarsa (tokoh LSM yang bergerak dalam masalah advokasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, kebebasan berpolitik dan perlindungan HAM, di Thailand) yang notabene juga seorang sahabat GD. Sebelum berangkat, ia menghadap GD untuk meminta izin terlebih dahulu. GD pun merestuinya, “datang saja kang biar kamu mendapatkan pengalaman dan pengetahuan”. Sesampainya di India, ia tinggal di Ashram Budhis selama 7 hari. 

Tempat kegiatan yang diselenggarakan penuh sederhana, dimana ia harus bermandikan air hujan yang ditampung dalam gentong dikamar mandi, dan makan nasi sayur(vegetarian), dan tidurnya penuh gangguan nyamuk selama seminggu. Merasa tak diberitahu sejak awal oleh GD bahwa kegiatan tersebut sangat menyusahkan para peserta, sempat memunculkan rasa kejengkelan di dalam diri Hikam. Walaupun begitu, ia segera sadar bahwa pelatihan tersebut penting baginya. Ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yakni konsep hidup sederhana. Hidup sederhana justeru menjadi senjata ampuh untuk melawan budaya konsumurisme.  “yang penting kamu lulus, karena tidak semua orang yang baru dan sudah lama tinggal di Barta, tahan tinggal di Ajran Sulak”(hal. 87)

Apresiasi patut kita haturkan kepada As Hikam, yang telah membagikan kisah bersama Gus Dur dalam bentuk buku. Dan tentu menjadi sesuatu yang berharga utamanya bagi GusDurian.  Buku setebal 312 halaman ini, menjadi sarana mengobati kerinduan kita akan Gus Dur. Semoga kita dapat meneladani dan memperjuangkan warisan agungnya. Baik dalam wilayah pemikiran maupun perjuangan sosialnya, membela kaum tertindas dan wong cilik.  Selamat Membaca!


Oleh Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, Komunitas Penulis Muda Tebuireng, tinggal di Jombang, Jatim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar