Minggu, 02 Februari 2014

Menguliti Tradisi Penghancuran Buku

Dimuat Media 02/02/2014 
http://www.rimanews.com/
Judul buku      : Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa
Penulis               : Fernando Baez
Tahun Terbit   : 1, September 2013
Penerbit            : Marjin Kiri
Tebal                    : 339 Halaman
Harga                  : RP 73.000
Issbn                    : 978-979-126024-4


Buku pertama kali muncul di daerah Sumeria,(Mesopotamia), Irak selatan. Hingga kini usiannya sudah mencapai 5.300 tahun. Buku memberikan sumbangsih besar bagi sejarah peradaban umat manusia. Meskipun demikian, kehadiran buku dalam perjalan umat manusia tak berjalan secara mulus. Banyak buku dimusnahkan dan dihanyutkan. Bahkan, kaum penghancur buku tidak saja dari kalangan tentara saja melainkan juga kaum intelektual, yang notabene melek pengetahuan.


Uniknya, penghancuran dan pemusnahan buku dalam sejarah manusia sudah berlangsung sepanjang abad. Penyebabnya tak pernah jelas terungkap. Bahkan, ancaman penghancuran buku masih akan terus berlangsung kedepan. Menunjukan, penghancuran buku telah menjadi ritual abadi bagi umat manusia. Lantas, sampai kapan hal ini terus dilestarikan. Mungkinkah, hal ini bisa dihentikan?


Buku  “Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa”, karya Fernando Baez ini, menguliti secara mendalam setiap peristiwa pembakaran buku. Mulai dari abad klasik hingga modern. Fernando Baez, merangkumnya dengan lengkap. Dari hasil rangkumannya, ia menemukan kesimpulan mengenai sejarah pembakaran buku, diantaranya semakin terpelajar suatu bangsa atau seseorang, semakin besar keinginannya untuk menyingkirkan buku-buku dibawah tekanan mito-mitos apokaliptis.(hal 17)


Dalam hal ini, ia membagibeberapa hal yang dapat dijumpai dalam konteks pembakaran buku. Pertama,zaman pergolakan(sebagaimana aksi pembakaran perpustakaan Baghdad pada abad 455 SM yang notabene berada dalam abad kebebasan dan posmodernisme). Kedua, penanda sebuah rezim baru. Ketiga,kebencian terhadap buku. Seperti halnya, di ujung Revolusi Perancis, dimana empat juta buku termasuk 25 ribu manuskrip dimusnahkan. Keempat, ulah para bibioklase modern dan penghancuran buku yang mendapat sponsor dari negara dalam situasi normal. Seseorang yang menghancurkan buku, berarti ia sedang membunuh rasionanya sendiri. Buku menjilid memori manusia. Setiap buku yang dihancurkan adalah paspor menuju neraka. (Hal. 8)


Hasil penelitian Arkeolog pada 1924 mengungkapkan, ada 100.000 ribu bangkai buku tua.Para penghancur buku adalah orang yang dogmatis, karena melekat padanya suatu pandangan dunia yang seragam, tak terbantahkan, bersifat autarkis, ada dengan sendirinya, serba tak cukup, tak terbatas, bebas dari batasan waktu, dan sederhana, yang tampil sebagai aktualitas murni dan abadi. (halaman 15) Dalam konteks Indonesia, aksi penghancuran dan penghangusan buku juga terjadi. Sebagaimana yang dilakukan salah satu penerbit terbesar di negeri ini,pada Juni 2012, melakukan aksi pembakaran secara sukarela.


Padahal semua mengetahui, pembakaran dilakukan atas tekanan ormas. Menegakan pengadilan bukumenjadi penting untukditegakan sebelum sebuah buku dianggap sesat dan tak senonok. Menegakan pengadilan buku merupakan langkah yang tepat untuk meminimalisir terjadinya aksi brutalisme.Nah, inilah yang nampaknya belum ditegakan. Dan menjadi tanggungjawab kaum intelektual dan penerbit. Menurut Fernando Baes, budaya menghacurkan buku menjangkit suatu kelompok atau setiap bangsa, manakala ingin menguasai kelompok atau bangsa lain.  Semakin terpelajar suatu bangsa atau seseorang semakin besar pula keinginannya untuk menyingkirkan buku-buku dibawah tekanan apokolatis.(hal. 17)


Pada 14 April 2003 sejuta buku di perpustakaan Nasional  Baghdad dibakar. Bahkan, arsip nasional juga ikut dibakar, lebih dari sepuluh juta entri dari zaman Utsmaniyah dan Republik tak ter sisa. Selanjutnya pembakaran di perpustakan-perpustakaan Baghdad, Awqaf, dan lainnya. Tentu saja, membuat kita merinding mendengarnya. Seolah buku menjadi makhluk Tuhan paling sial. Padahal karya seseorang yang berbentuk buku merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, suatu bentuk tanggungjawab seseorang yang berpendidikan.


Pada dasarnya aksi penghancuranbukusudah pasti menjadikan keterkaitan buku dengan produks intelektual dan kaum terpelajar termasuk sejarawan menjadi terputus. Semestinya, penulis maupun penerbit berhak untuk melakukan pembaruan, tanpa melakukan penghancuran total. Menurut penasehat UNESCO ini, aktor pembakar buku masuk kategori orang yang dogmatis. Mereka tak ingin berada dalam dunia yang beragaam, absolut, autarkis, terbatas, dll.


Buku setebal 373 halaman ini, menggugah kesadaran bersama mengenai masa depan peradaban manusia. Setidaknya, lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi, pasal 1 ayat I UU No.4 PNPS/1963 menjadi suatu langkah yang maju bagi bangsa Indonesia.  Membantu mencegah aksi-aksi kaum bibioklas secara brutal dan berkelanjutan. Pengadilan buku memang harus ditegakan.  Selamat membaca!

Peresensi Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang, (Komunitas Penulis Muda Tebuireng) Jombang, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar