Dilansir dari Media. Kompas.com
Rabu, 17 Oktober 2012
Judul: Kalender Islam Ke Arah Intregrasi Muhamadiyah dan NU
Penulis: Suskinan Azhari
Penerbit: Museum Astronomi
Tahun: 2012
Tebal: 336 halaman
Harga: Rp 50.000
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia menjadi cerminan
bagi semua negara Islam. Baik dalam membangun peradaban Islam maupun
mengelola segala macam perbedaan. Hal itu mengingat, di internal umat
Islam Indonesia terdapat puluhan ormas Islam dengan tampilan wajah yang
berbeda-beda. Keberadaan ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah,
baik diakui maupun tidak, memiliki andil besar dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah.
Kendati
demikian, mengelola perbedaan antar-ormas tidak selamanya berjalan
mulus. Pemerintah acap kali keteteran dalam merawatnya. Misalnya, saat
penentuan awal bulan kamariah “awal Ramadhan dan Syawal” yang acap kali
diwarnai hiruk pikuk. Dari mulai tingkat RT hingga nasional. Ironisnya,
perbedaan tersebut menjadi tradisi yang terus-menerus dipertahankan.
Tentunya, negara berhak campur tangan dalam masalah ini. Untuk itulah,
menciptakan kesatuan kalender Islam bermazhabkan negara sangat
dibutuhkan bangsa ini.
Buku ini secara spesifik mencoba untuk
menggugah kesadaran bersama dalam menciptakan kesatuan antar-ormas dalam
menentukan awal bulan Ramadhan dan Hari Raya. Penulis buku ini, Suskinan Azhari, memberikan ide dan gagasan cemerlang untuk pemerintah sebagai ulil amri di
negeri ini. Beliau mengajak untuk bersama-sama membangun dan
memformulasikan kalender Islam secara baku, yang kelak akan diikuti
semua umat Islam Indonesia tanpa membeda-bedakan latar belakang ormas
yang diikuti.
Salah satu faktor yang menjadi sumber perbedaan
antara NU, Muhammadiyah, dan Pemerintah, yakni perbedaan metodologis.
Misalnya, NU dengan metode hisab rukyat, sedangkan Muhammadiyah rukyatul hilal.
Sementara itu, pemerintah menggunakan kedua metode tersebut dalam
menetapkan awal buluan dan hari raya. Walupun demikian, pemerintah acap
kali merasa berjalan sendiri. Pasalnya, umat Islam Indonesia lebih taat
dan tunduk pada hasil kebijakan para pemimpin ormas keagamaan.
Menurut
pakar Astronomi UIN Sunan Kalijaga ini, setidaknya ada tiga persoalan
utama yang mencoba dibeberkan dalam buku ini yaitu, pertama, mengungkap
pemikiran tentang metode hisab dan rukyat untuk mencarikan titik
temunya. Kedua, mengembangkan metode hisab dan rukyat ke arah
intregrasi. Kajian yang mendalam dengan menekankan faktor sosial politik
diharapkan dapat merangsang perbincangan yang positif mengenai
penetapan awal puasa dan Hari Raya ke depan.
Upaya mewujudkan
mazhab negara melalui intregrasi antara metode yang dipakai ormas NU dan
Muhammadiyah ini untuk menciptakan kalender Islam Indonesia yang baku
patut untuk dilakukan semua elemen bangsa ini. Konon, selama tahun
2000-2012, pada penetapan Idul Fitri, 7 kelompok serempak dan 5 berbeda.
Walaupun pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia telah
menggabungkan dua metode hisab dan rukyat tersebut, tetap saja tiap-tiap
ormas Islam memiliki suatu kebijakan dalam menentukan sistem
penanggalannya sendiri. Tak pelak, perbedaan puasa dan Hari Raya tak
bisa dihindarkan. Sampai kapankah hal ini akan terus berkelanjutan?
Tidak
mengherankan, banyak desakan dari masyarakat untuk menyatukan metode
hisab dan rukyat untuk menghilangkan perbedaan yang mencuat. Metode
hisab dan rukyat sudah pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Hisab
memiliki kelebihan untuk menentukan posisi bulan tanpa terhadang oleh
mendung, kabut, dan sebagainya. Adapun rukyat merupakan metode ilmiah
yang akurat, mengingat para ahli falak pada zaman keemasan Islam secara
cermat dan serius melakukan pengamatan (hlm 106).
Sebenarnya,
wacana rumusan penggabungan kedua metode tersebut pernah dimusyawarahkan
pada tahun 1997 M/1397, tetapi masih telantar hingga sekarang ini.
Dengan demikian, menatap masa depan yang lebih indah patut digulirkan
kembali, mengingat metode keilmuan hisab dan rukyat sebenarnya memiliki
satu kesatuan. Kombinasi dan intregrasi antara nalar literal indrawi dan
nalar rasional ilmiah—menjadi nalar integrasi ilmiah—diharapkan menjadi
solusi alternatif untuk menciptakan formulasi kalender hijriah ala
Indonesia.
Meminjam istilah Ahmad Izzudin, menghisabkan NU dan
merukyatkan Muhammadiyah merupakan jalan menuju titik temu. Perbedaan
sudut pandang tidak hanya pada faktor akademik ilmiah semata, tetapi
juga dari faktor persoalan ideologis menciptakan kesatuan kalender Islam
bermazhabkan negara. Memang, sangat susah untuk menciptakan menyatukan
konsep kalender penanggalan Islam karena NU dan Muhammadiyah pernah
terjadi ketegangan politik. Wajar, jika hingga kini keduanya susah untuk
disatukan, khususnya dalam penentuan bulan puasa dan Hari Raya. Campur
tangan pemerintah amat dinantikan.
Kehadiran buku ini menyiratkan
sebuah pesan kepada pemerintah untuk turun campur guna mencarikan solusi
memecahkan masalah perbedan metode penentuan awal bulan dan Hari Raya.
Dengan berpedoman pada mazhab negara, beribadah puasa dan merayakan Hari
Raya secara bersama di negeri ini kelak tercapai. Memang, harus diakui,
itu sangat susah. Kendati demikian, perjuangan menciptakan mazhab
negara penting untuk diperjuangkan. Bukankah kita semua sudah bosan
mendengarkan perdebatan permasalahan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar